Polemik MAA Diantara Martabat Lembaga dan Politisasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Setiap masalah akan ada jalan keluarnya bila kita mau menyelesaikannya. Namun bila ada kepentingan didalamnya dan membiarkan masalah itu berlarut-larut, sehingga memunculkan persoalan baru, masalah itu sampai kapanpun tidak akan pernah selesai.
Bermartabatkah Pemerintah Aceh, bila persoalan yang seharusnya sudah bisa diselesaikan pada tahun 2018, namun sampai kini bagaikan mengurai benang kusut. Bahkan Gubernur Aceh dikalahkan dalam gugatan. Persoalan itu menyangkut marwah rakyat Aceh yang mengurus persoalan adat.
Ketika ada kepentingan, masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah, justru dibiarkan bermasalah dan berlarut-larut. Polemik Majelis Adat Aceh (MAA) yang hingga kini belum mampu diselesaikan Pemerintah Aceh, banyak pihak yang menilai Pemerintah Aceh tidak bermartabat.
Di lain sisi Wali Nanggroe juga ikut bermain dalam memperkeruh suasana dengan mengirimkan “Surat Sakti” meminta orang yang diinginkan untuk memimpin MAA. Walau orang yang diusulkan Wali Nanggroe kalah dalam pemilihan.
Seharusnya Wali Nanggroe bersikap netral, tidak memihak sesuai dengan UU RI No 11 Tahun 2006 tentang UUPA, Qanun Aceh No 8 Tahun 2012, Qanun Aceh No 9 Tahun 2013 dan Qanun Aceh No 10 Tahun 2019.
Bagaimana hingar bingarnya persoalan MAA yang hingga kini belum mampu diselesaikan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Dialeksis.com merangkum pernyataan dan harapan berbagai pihak, agar persoalan itu sesegera mungkin diselesaikan.
Koordinator Pusat Kajian Advokasi Rakyat Aceh (PAKAR), Muhammad Khaidir meminta Gubernur Aceh untuk segera menyelesaikan polemik Majelis Adat Aceh (MAA).
"Polemik MAA ini menjadi satu konteks perhatian khusus kita bersama, dimana marwah Aceh itu sekarang berada ditangan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah,” ucap Khaidir kepada Dialeksis.com, Selasa (1/2/2022).
Sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang mengarah untuk menyelesaikan permasalah polemik MAA. Seperti diketahui kisahnya berawal dari terpilihnya H. Badruzzaman Ismail secara aklamasi pada tahun 2018. Namun Nova Iriansyah yang saat itu masih menjabat Plt Gubernur melantik Saidan Nafi sebagai Plt MAA. Kasusnya berlarut larut sampai adanya upaya hukum hingga turun putusan MA.
Gubernur kemudian mengukuhkan dan melantik Prof. Farid Wajdi, sebagai ketua MAA hasil Mubes MAA Jumat (27/11/2020) di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh. Prof Farid memimpin lembaga adat itu, untuk periode 2020-2025.
Namun gugatan Badruzzaman masih berlangsung dan setiap tingkatan pengadilan dia memenangkan perkara, sampai adanya putusan Mahkamah Agung yang dinyatakan sudah inkrah. Persoalan ini belum selesai.
Setelah Prof Warid Wajdi meninggal dunia pada 14 Agustus 2021, upaya menyelesaikan persoalan benang kusut di MAA belum diselesaikan Gubernur Aceh. Masih hingar bingar persoalan itu, kini dilangsungkan pemilihan ketua MAA dalam sebuah Mubes. Terpilihlah Dr Safrul Muluk.
Namun sehari setelah pemilihan Safrul Muluk, Wali Nanggroe mengirimkan surat ke Gubernur Aceh agar meng-SK-kan dan melantik Tgk Yusdedi sebagai Ketua MAA. Padahal Tgk Yusdedi kalah telak suaranya pada pemilihan ketua MAA. Dia hanya mengantongi 10 suara, sementara Safrul Muluk meraih 21 suara dan Prof. Dr. Syamsul Rizal hanya mendapatkan satu suara.
Semakin semrawut. Khaidir dari PAKAR menilai persoalan MAA sebenarnya sudah selesai dengan terpilihnya ketua baru, Dr Safrul Muluk. Bisa dijadikan win-win solution, walau di lain sisi masih ada upaya hukum. Dimana Badruzzaman menang dalam perkara gugatan.
Bila gubernur bijak dan mau menyelesaikan masalah ini, dengan terpilihnya Dr Safrul Muluk, bisa dilakukan musyawarah, diundang pihak Badruzzaman, dibicarakan baik-baik agar persoalan MAA di Aceh tidak lagi menjatuhkan marwah Aceh seperti kisah sebelumnya.
Kisah sebelumnya merupakan sejarah kelam, dimana Badruzzaman mengajukan gugatan PTUN di Banda Aceh. Putusan PTUN dimenangkan Badruzzaman, demikian dengan banding di PTUN Medan sampai kasasi ke MA, Badruzzaman tetap menang dalam perkara melawan keputusan gubernur ini.
Gubernur setelah melantik Plt Ketua MAA, kemudian mengukuhkan dan melantik Prof. Warid sebagai Ketua MAA, hasil Mubes November 2020. Namun perkara Badruzzaman tetap berlangsung sampai akhirnya ada putusan MA.
Setelah Profesor Farid dari UIN Ar-Raniry ini kembali ke Ilahi dan jabatan Ketua MAA yang sudah dilantik Gubernur Aceh menjadi kosong. Kini dilakukan pemilihan lagi, terpilihlah Dr. Safrul Muluk pengisi sisa waktu 2021-2022.
Berbagai elemen yang berhubungan dengan persoalan adat ini dan berhak memberikan suara hadir dalam Mubes MAA. Safrul Muluk menang telak mengantongi 21 suara dari 32 suara. Namun sehari setelah pemilihan, Wali Nanggroe pada 11 Januari 2022 mengirim surat ke Gubernur Aceh untuk meng-SK-kan dan melantik Tgk. Yus Dedi, kandidat peringkat kedua dalam pemilihan MAA.
Menyikapi keadaan ini, Khaidir dari PAKAR meminta agar Gubernur Aceh meninggalkan kesan yang bagus, menyelesaikan persoalan MAA. Hasil musyawarah yang sudah menetapkan ketua terpilih dan putusan hukum bisa dimusyawarahkan untuk menyelesaikan persoalan.
Hal yang sama juga disampaikan direktur Jaringan Survey Indonesia (JSI) Ratnalia Indrisari. Menurutnya hasil musyawarah MAA di Ruang Duk Meusapat MAA, Senin (10/1/2021), dimana Dr Safrul Muluk meraih 21 suara, merupakan keputusan tertinggi.
Namun sebelumnya juga sudah dilakukan pemilihan dan terpilihnya Badruzzaman (sampai ada upaya hukum, hingga kini masih belum tuntas), juga telah dilakukan pemilihan terpilihnya Prof Warid.
“Dr Safrul Muluk dipilih pengisi sisa waktu 2021-2022 dalam musyawarah yang dihadiri mereka yang berhak memberikan suara dan memenuhi kourum. Tentunya ini merupakan keputusan tertinggi dari lembaga. Di lain sisi masih adanya persoalan hukum yang menyatakan Badruzzaman menang, dapat dicarikan titik temunya dalam musyawarah,” jelas Indri.
“Bila persoalan ini diselesaikan dengan bijak, permasalahanya akan selesai. Gubernur harus menjunjung tinggi hasil Mubes 2022 dan harus menjunjung tinggi keputusan hukum. Keduanya bisa disatukan, dimusyawarahkan,” jelas Indri.
Pernyataan lainya juga disampaikan Muhajir dari akademisi. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Wali Nanggroe itu sudah salah, dalam hal ini Wali Nanggroe tidak bisa mengusulkan nama untuk calon Ketua MAA.
“Wali Nanggroe itu adalah lembaga penengah ketika adanya konflik atau permasalahan sepeti ini. Gubernur melantik, Wali Nanggroe mengkuhkan, tidak ada urusan Wali Nanggroe ikut campur atau mengusulkan nama sebagai calon Ketua MAA,” sebut Muhajir kepada Dialeksis.com.
Ketua MAA sudah terpilih dalam Mubes internal MAA, harus di SK kan dan harus dilantik. Jangan pengalaman pahit sebelumnya terulang kembali, dimana Gubernur Aceh menempuh upaya hukum dalam persoalan MAA.
Menurut Muhajir, seharusnya Wali Nangroe juga tidak mengirimkan surat ke Gubernur Aceh soal Ketua MAA. Apa yang dilakukan oleh Lembaga Wali Nanggroe hanya akan memperumit masalah yang ada.
“Pemerintah Aceh dalam hal ini tidak boleh mengobok-obok Lembaga MAA. Lembaga MAA itu bersifat Istimewa secara fungsionalnya dan tidak perlu ada intervensi,” sebutnya.
Demikian dengan Muhammad Hasbar Kuba, seorang aktivis, dia tidak terlalu berharap banyak pada Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Polemik MAA dari tahun 2018 masih belum mampu diselesaikan dengan baik.
“Sebenarnya, tidak hanya MAA saja yang menjadi masalah, banyak masalah lainya yang belum terselesaikan, seperti contohnya adalah pembangunan yang tak tepat sasaran,” sebutnya.
“Pembangunan di Aceh itu tidak tepat sasaran, banyak sekali pembangunan yang tidak selesai, dan sudah dibangun tak berfungsi dengan semestinya, ataupun tidak tepat sasaran yaitu, yang tidak dibutuhkan masyarakat,” katanya.
Kemudian juga dalam pengelolaan anggaran juga sama, Hasbar menyebutkan, Aceh mempunyai dana yang besar mencapai angka 10 Trilliun lebih setiap tahunnya, namun masih saja tak bisa mensejahterakan Aceh sama sekali.
“Bahkan sampai SiLPA dan terus meningkat setiap tahunnnya. Jadi tidak usah terlalu banyak berharap terhadap Gubernur Aceh,” sebutnya.
“Namun soal MAA ini tentang marwah Aceh. Gubernur dimasa akhir kepemimpinannya harus bisa meninggalkan sebuah legacy baik terhadap Aceh. Gubernur Aceh harus bisa segera memberikan solusi, agar ketua terpilih MAA segera di SK kan, dilantik dan dikukuhkan,” harapnya.
Sejarah Kelam
Persoalan Majelis Adat Aceh (MAA) pernah menjadi catatan kelam dalam persoalan budaya di Aceh. Pada tahun 2018 dalam sebuah Mubes terpilih Badruzaman sebagai ketua MAA. Namun terpilih Badruzzaman telah menciptakan sejarah carut marutnya MAA.
Gubernur Aceh tidak ikhlas Badruzzaman memimpin MAA, akhirnya Gubernur Aceh melantik Saidan Nafi sebagai Plt MAA. Tidak terima dengan keadaan itu, Badruzzaman melayangkan gugatan ke PTUN.
Kasus itu bergulir di pengadilan. Hasil putusan PTUN Banda Aceh menyatakan, H Badruzzaman terpilih secara sah. Hasil putusan banding ke PTUN Medan, sampai turunnya putusan Mahkamah Agung memenangkan Badruzzaman.
Bahkan Mendagri juga mengirimkan surat kepada Gubernur dengan Nomor: 180/165/SJ, agar persoalan MAA segera diselesaikan karena sudah ada putusan tetap (inkrah).
Dr Teuku Muttaqin Mansur MH, Dosen Hukum Adat, Fakultas Hukum USK. Dosen ini menyebutkan, pihaknya masih bersikukuh dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Teuku Muttaqin menilai, jika Wali Nanggroe mengusulkan nama untuk menjadi Ketua MAA, ini sama saja dengan mengulang cerita lama.
"Kalau kita mau bilang hal ini legal, maka yang jadi masalah adalah usulan yang diusulkan itu. Seharusnya yang diusulkan itu adalah orang yang mendapatkan suara terbanyak,” sebut Teuku Muttaqin.
Dosen Hukum Adat ini mengakui, permasalahan MAA ini sudah "mecat-cut sekali". "Ini sudah me cat-cut (kusut/rumit- Red) sekali, seperti jarum yang berada dalam benang kusut," ujarnya.
Menurut Dr Muttaqin, keputusan MA itu sudah legal formal dan itu sudah inkrah. Seharusnya, dalam hal ini semua pihak harus menghormati, menjunjung tinggi, dan dalam hal ini semuanya harus taat akan hukum termasuk Wali Nanggroe.
Soal Gubernur Aceh harus patuh hukum juga disampaikan Dosen Fakultas Hukum Unimal, Hadi Iskandar, S.H., MH. C.HLC., CM. NNLP. Menurut dosen ini, setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh siapa pun.
"Karena putusan bersifat erga omnes yang mengikat semua pihak bersifat publik dan sebagai negara hukum tindakan pejabat dalam hal ini Gubernur Aceh harus berdasarkan hukum dan perintah hukum wajib dilaksanakan walaupun bertentangan dengan kepentingan pribadi," sebutnya.
Menurut Hadi Iskandar, pengawasan terhadap putusan dilakukan oleh Pengadilan TUN (PTUN) Banda Aceh. Bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan PTUN, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administrative, dapat dilakukan upaya paksa sampai ke Presiden.
Diumumkan di media terhadap pejabat yang tidak patuh hukum serta termasuk pengenalan uang paksa dan ini juga kalau gubernur tak Patuh juga bagian dari perbuatan melawan hukum.
"Keberhasilan pelaksanaan putusan tergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat," sebutnya.
Dirinya berharap, Gubernur Aceh untuk menyudahi persoalan ini, dan MAA adalah lembaga kekhususan Aceh yang perlu dijaga martabat dan kewibawaannya oleh pemerintah.
"Pemimpin itu harus patuh hukum dan harus memberikan contoh. Ini diuji integritas dan ketaatan pada hukum, jangan buat persoalan ini karena politik tidak akan pernah selesai, gubernur patuhi saja putusan pengadilan, jika tak patuh pada putusan pengadilan, maka berdampak tidak baik pada pemerintah daerah saat ini," pungkasnya.
Kini selain persoalan hukum yang menyatakan Gubernur Aceh kalah dalam kepengurusan MAA, ternyata Mubes kembali digelar pada Januari 2022. Terpilihlah Dr Safrul Muluk sebagai ketua MAA pengisi sisa waktu 2021-2022.
Baagaimana kelanjutannya, banyak pihak berharap dengan adanya pemilihan ketua MAA pada Januari 2022 untuk melanjutkan roda organisasi sampai 2022 dan adanya putusan pengadilan yang sudah inkrah, persoalan MAA mampu diselesaikan dengan bijak.
Hasil Mubes bisa dimusyawarahkan dengan putusan pengadilan. Waktu untuk menjalankan organisasi ini hanya tersisa setahun lagi, kemudian baru dilakukan Mubes kembali.
Beragam pernyataan dari masyarakat yang muncul kepermukaan, menandakan masyarakat Aceh menaruh harapan yang besar agar Lembaga MAA ini bis menjadi lembaga yang mengangkat harkat dan marwah Aceh khususnya dalam persoalan adat.
Lembaga yang tidak dirasuki kepentingan politik. Biarkan lembaga adat ini berinovasi, berkembang dengan menunjukan ke dunia luar bahwa di Aceh itu memiliki lembaga adat yang dihormati, disegani dan dijadikan sebagai simbol Aceh berbudaya.
Bukan lembaga yang mudah diutak-atik untuk kepentingan politik. Apalagi dilakukan oleh mereka yang berkuasa. Lantas bagaimana kisah selanjutnya dari MAA ini, kita ikuti saja "tabuhan" rapai selanjutnya.
* Bahtiar Gayo