Pimpinan Dayah Dukung Pemerintah Tangani Covid-19
Font: Ukuran: - +
Ribut soal pemangkasan dana untuk dayah, telah membuat para pemimpin dayah di Aceh menunjukan sikap jiwa besarnya. Mereka mau berkorban demi kepentingan ummat. Para pemimpin dayah turut merasakan penderitaan saat negeri ini sedang dilanda wabah.
Hampir semua pimpinan dayah yang memberi keterangan kepada media, mereka tidak mempersoalkan tentang anggaran dayah yang dipangkas untuk penanggulangan bencana wabah corona.
Bukan hanya tidak mempersoalkan tentang pemangkasan dana buat dayah, bahkan para pemimpin dayah menyatakan kesiapanya memerangi corona. Mereka menyiapkan lokasi dayah sebagai tempat karantina bila hal itu dibutuhkan.
Para pimpinan dayah menjawab Dialeksis.com, menyatakan sikapnya tidak mempersoalkan pemangkasan dana dayah, apalagi dipergunakan untuk kepentingan ummat, mengantisipasi wabah corona. Asalkan penggunaan dana itu proporsional, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa pimpinan dayah memberikan keterangan kepada Dialeksis.com seperti; Pimpinan pesantren Ummul Ayman Tgk H Nuruzzahri atau yang lebih dikenal Waled Nu Samalanga. Pimpinan dayah Al-Falah Abu Lam U, Tgk Saifuddin Sa'dan, M.Ag dan Tgk Faisal Ali Pimpinan Dayah Mahyal ‘Ulum Al-Aziziyah Aceh Besar.
Mereka semuanya sependapat tidak mempersoalkan adanya pemangkasan dana dayah untuk kepentingan Covid-19. Adanya polemik di media yang menuding pemerintah dengan beragam statemen, telah memunculkan kesan dayah tidak mendukung upaya pemerintah dalam menangani Covid-19.
“Abu-abu dayah sangat peduli dengan aksi kemanusian dan mendukung adanya pemotongan dana untuk penanganan Covid-19, tapi harus proporsional,” sebut Tgk Faisal pimpinan Dayah Mahyal ‘Ulum Al- Aziziyah Aceh Besar.
Pimpinan dayah yang juga dikenal dengan sebutan Lem Faisal ini menegaskan, adanya isu seakan-akan ulama tidak peduli dengan musibah wabah, itu tidak benar. Para ulama di Aceh sangat mendukung upaya pemerintah dalam pencegahan wabah virus corona.
“Ulama Aceh sependapat, apapun akan dilakukan untuk kemanusian. Tidak benar bila ada yang menyebutkan ulama tidak peduli aksi kemanusian. Kalau pemerintah memang tidak punya anggaran untuk pencegahan covid, silakan dipotong semua dana setiap dinas dan termasuk juga dinas pendidikan dayah. Kemudian harus dijelaskan untuk apa saja dana itu, berapa nilainya,” ujar Lem Faisal.
Lem Faisal menegaskan, ulama dayah bahkan membolehkan dayah-dayah di Aceh untuk dijadikan tempat karantina, bila tidak ada tempat yang lain. Dayah juga berperan memerangi wabah corona.
Hal senada juga disampaikan Tgk H Nuruzzahri (Waled Nu Samalanga). Pimpinan dayah ini menyerahkan kepada pemerintah bagaimana baiknya mengelola anggaran itu.Pihaknya tidak ambil pusing dengan persoalan ini, karena dananya bersumber dari pemerintah.
"Terserah dengan pemerintah. Dia punya duit, dia punya anggaran. Kalaupun ada disitu (untuk dayah) terima kasih, gak ada pun tidak apa-apa. Dipotong pun silahkan," ucap Waled Nu.
Demikian dengan Pimpinan Dayah Al-Falah Abu Lam U, Tgk Saifuddin Sa'dan, M.Ag, juga tidak mempersoalkan pemotongan anggaran tersebut, selama dana tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan umat. Dikelola dengan baik dan transparan.
Penegasan lebih rinci diungkapkan Lem Faisal. Menurutnya dayah sebagai sebuah institusi pendidikan, juga dituntut berpikir dan bersikap untuk kepentingan masyarakat.
"Kalau dayah itu ada namun bukan untuk masyarakat, saya kira gak perlu dayah itu ada. Masyarakat adalah segala galanya. Kalau enggak ada masyarakat ya tidak perlu ada dayah. Dayah itu untuk kepentingan masyarakat,” sebutnya.
Tgk Syaifuddin berharap agar semua pihak tidak mengatasnamakan masyarakat dan ada yang mengeruk kepentingan atas situasi ini. Saat negeri sedang dilanda wabah, tidak ada pihak yang mengedepankan kepentingan. Kalau untuk masyarakat, dana apapun boleh digunakan.
Untuk itu, Syaifuddin tidak mempersoalkan dana pembangunan dayah dialihkan guna penangangan Covid-19, asalkan anggaran yang dipersoalkan itu menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.
"Tetapi kalau ada dana lain yang tidak urgen, kan bisa digunakan dana lain. Itu yang saya dengar dari sebagian masyarakat, seperti dana multiyears, dan beberapa dana lainnya. Tapi kalau dana multiyears lebih penting dari dana dayah dalam pandangan pemerintah secara objektif saya kira tidak masalah," jelasnya.
Menurut Pimpinan dayah Al-Falah Abu Lam U yang juga wakil ketua MPU Aceh ini, dana dayah itu ada dari aspirasi dan bersumber dari anggaran regular non aspirasi. Itu yang dia dengar selama ini.
"Sekarang sudah kabur semuanya. Kalau dulu dayah-dayah yang sudah diakreditasi akan mendapatkan bantuan berdasarkan tipe dan kebutuhan. Sekarang tidak jelas lagi. Dayah yang memang membutuhkan, kadang kadang tidak mendapatkan,” sebutnya.
“Sekarang banyak dana Pokir (aspirasi dewan). Seperti tahun lalu, dana pokir bukan kepada dayah yang membutuhkan. Ada dayah yang baru berdiri justru mendapatkan bantuan untuk gedung baru yang nilainya mencapai Rp 1 miliar. Itu yang jadi masalah,” jelasnya.
Menurut Tgk Syaifuddin, dana Pokir itu seharusnya digunakan untuk hal hal yang pro kepada masyarakat. Dana itu digunakan untuk rakyat. Sementara dana regular yang dibutuhkan dayah juga harus diperuntukan sesuai porsinya. Pembagianya benar benar kepada kebutuhan dayah.
Dinas Dayah Harus Visioner
Sinyal yang disampaikan Lem Faisal tentang tentang ketidakjelasan penempatan dana dayah, dimana ada dayah yang membutuhkan namun tidak mendapat perhatian, ditanggapi serius oleh Pengamat kebijakan publik, Dr Nasrul Zaman.
Nasrul Zaman menilai pengelolaan dana di Dinas Dayah Aceh selama ini serampangan dan jauh dari prinsip keadilan serta pengelolaanya tidak memiliki visi pembangunan. Statemen pengamat kebijakan publik ini ditulis Nasrul dilaman akun facebook miliknya.
“Setelah airnya keruh (Dinas Dayah Aceh-red) maka ikannya pada keluar (mungkin penduduk) kolam. Mereka ini merupakan kelompok yg sengaja membiarkan dana dayah dikelola serampangan. Jauh dari prinsip keadilan dan transparan dan tidak punya visi membangun dayah Aceh yang siap bersaing secara regional bahkan internasional,” tulis pengamat kebijakan publik ini.
Nasrul bagaikan ingin mengurai benang kusut, agar semakin jelas simpulnya sehingga tidak semakin kusut. Dia menilai Aceh membutuhkan manusia yang visioner, mampu melihat bagaimana ke depan, sehingga dayah di Aceh memiliki daya saing dan maju, sehingga dijadikan pusat pendidikan.
Menurutnya, Aceh membutuhkan kepala dinas dayah yang mampu dalam masa kepemimpinan nya melahirkan dayah Aceh yang bersaing dan maju. Dibuktikan dengan berduyunnya warga ASEAN nyantri, serta bukan hanya mampu bagi-bagi dana dengan sesuka hatinya.
“Aceh butuh Kepala Dinas Dayah yang berpikir strategis menghempang pendangkalan akidah di wilayah perbatasan,” tulis Nasrul, bagaikan ingin membuka kembali lembaran sejarah yang pernah ditulis Aceh.
“Setelah beberapa tahun lalu dibangun Islamic Centre di Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, pada tahun tahun terakhir apa yang dilakukan dinas dayah pada gedung itu? Dibiarkan mati membusuk tanpa program yang berkesinambungan dari dinas dayah,” sebut Nasrul.
Nasrul memberikan penilaian seperti menghambur-hamburkan uang, tanpa ada kelanjutan dalam pengelolaanya. Tidak terencana dengan baik, serta tidak punya visi jauh ke depan. Padahal itu sebagai sumber kekuatan untuk kebangkitan Aceh mengulang kejayaan masa lalu.
Menurut Nasrul, puluhan miliar anggaran pembangunan Islamic Centre hanya menjadi onggokan gedung dan komplek mati. Untungnya yang di Aceh Tenggara digunakan oleh institusi pendidikan lokal sehingga sedikit terawat.
“Makanya kawan, kelilinglah ke perbatasan kalau bisa ajak kepala dinas dayah itu biar dia tahu Aceh ini luas atau kalau tak mampu mundur saja atau dukung ALA dan ABAS, biar mereka bisa berpikir untuk langkah hidup mereka sendiri,” tulis Nasrul Zaman.
Pernyataan Nasrul Zaman atas kegelisahan hatinya melihat keadaan “terobosan” yang dilakukan Dinas Dayah Aceh. Anggaranya yang cukup besar, namun masih acak-acakan, tidak berkesinambungan dan belum punya misi melihat Aceh ke depan. Seharus gambaran Aceh ke depan sudah mampu diuraikan bila dana dayah ini dikelola dengan baik.
Menyinggung tentang adanya pemangkasan dana dayah untuk penanggulangan Covid-19, pengamat kebijakan publik ini menilai, Pemerintah Aceh memang harus mempersiapkan diri menghadapi Covid-19.
"Sejujurnya kita harus melihat pemangkasan anggaran ini diambil untuk menutupi persiapan, jika satu waktu nanti Aceh mengalami darurat pandemi covid-19," kata Nasrul Zaman kepada media.
Persiapan perlu dilakukan, jangan sampai Aceh tidak siap. Bila Aceh tidak siap, berpeluang terjadi amuk sosial yang dampaknya justru lebih besar. Nasrul Zaman mengimbau agar semua warga dan kelompok masyarakat untuk mendukung semua upaya Pemda Aceh menyiapkan diri menghadapi Covid-19.
"Dengan catatan Pemerintah Aceh juga harus transparan dalam setiap rupiah yang digunakan nantinya," pinta Nasrul.
Pemerintah Aceh, menurut Sekda Taqwallah, sudah menetapkan dana refocusing dan realokasi APBA tahun 2020 yang nilainya mencapai Rp 1,7 triliun. Namun sampai saat ini dana tersebut belum dipergunakan sama sekali. Pemda hingga saat ini masih menggunakan anggaran BTT (Belanja Tidak Terduga) senilai Rp 118 miliar.
Sumber dana refocusing diambil dari penundaan dan pembatalan kegiatan-kegiatan perjalanan dinas dan kegiatan belanja yang belum berjalan pada setiap dinas atau Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Bila nanti Aceh diterapkan PSBB dana tersebut akan dipergunakan.
Artinya pemerintah Aceh menyiapkan payung sebelum hujan. Upaya pemerintah yang memangkas sejumlah dana di SKPA juga mendapatkan dukungan dari pimpinan dayah. Walau sebelumnya sudah diributkan oleh para pihak yang tidak setuju, anggaran dayah dipangkas untuk penanganan corona.
Para pimpinan dayah justru menunjukan sikap jiwa besarnya, dia bersama rakyat juga berperan dalam memerangi corona. Bahkan pimpinan dayah menyiapkan area dayahnya untuk karantina, bila dibutuhkan.
Di lain sisi, ada persoalan dalam anggaran dana dayah yang disebut Lem Faisal, antara regular dan Pokir. Masih ada masalah di dalamnya, dimana ada dayah yang benar membutuhkan bantuan, justru terlewatkan. SOP bagaimana mendapatkan anggaran ini tidak jelas.
Sudah saatnya dayah di Aceh dipersiapkan untuk menuju Aceh cemerlang di masa depan dan menjadi pusat pendidikan, minimal di ASEAN. Upaya untuk itu tentu membutuhkan kecermatan, kejelian, strategi, serta upaya sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya mereka yang mengelola dayah.
Hilangkanlah “membela” kepentingan. Namun kita harus membela sebuah cita cita, agar dayah di Aceh kelak menjadi dayah yang ternama di ASEAN. Aceh memiliki kemampuan dan kekuatan untuk itu.
Namun semuanya terpulang kepada kita semuanya bagaimana mengelolanya. Sudah saatnya Aceh ini kembali mengukir kejayaan, dimana para leluhur sudah melukisnya dengan tintas emas. (Bahtiar Gayo)