Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Penerapan Sistem Bank Dua Model di Aceh Mungkinkah?

Penerapan Sistem Bank Dua Model di Aceh Mungkinkah?

Senin, 10 Agustus 2020 19:45 WIB

Font: Ukuran: - +


Pemerintah Aceh sudah mengubah sistem perbankan. Dari konvensional pada syariah. Namun menghilangkan sistem lama tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi sistem yang diubah itu berkaitan dengan koneksi perbankan di bumi Pertiwi.

Pelaku bisnis di seluruh penjuru negeri Nusantara lebih banyak menggunakan sistem konvensional. Sementara Aceh ingin mengubahnya, hanya ada bank syariah. Muncullah beragam saran, pernyataan, hingga membuat persoalan bank di Aceh hingar bingar.

Ada pihak yang menginginkan penerapan bank syariah di Aceh benar-benar syariah. Islam secara kaffah, bukan hanya banknya yang syariah. Namun seluruh sisi kehidupan. Ada juga yang meminta agar pemerintah Aceh menerapkan dua model bank di Aceh, syariah dan konvensional.

Pemerintah Aceh melalui Qanun Nomor 11 Tahun 2018 sudah menerapkan sistem bank syariah. Tahun 2020 ini sudah mulai diterapkan. Namun ada juga pihak yang memberikan penilaian, Pemda Aceh terlalu cepat menerapkannya, tanpa kajian mendalam. Seharusnya berproses antara 5 sampai 10 tahun mendatang.

Muncullah isu yang berkembang di masyarakat, para pebisnis “melarikan” dananya keluar daerah. Bagaimana hingar bingarnya persoalan bank di Aceh yang kini sudah diterapkan dengan sistem syariah, Dialeksis.com merangkum pendapat berbagai kalangan.

Memperkecil jarak si Kaya dengan si Miskin

Prof Apridar, MAntan Rektor Unimal menyebutkan bank syariah itu adalah bank yang memperkecil jurang si kaya dengan si miskin. Kalau ada yang menyebutkan dengan adanya bank syariah, lalu para pengusaha, pemodal, memindahkan uangnya keluar Aceh, itu ditiupkan oleh orang-orang sekuler.

Menurut Apridar, masyarakat Aceh itu ingin benar-benar menikmati pelayanan syariah yang betul-betul syariah, Islam yang kaffah. Dia meyakini, kalau ada pebinis yang menarik uangnya untuk disimpan di luar daerah, tidak terjadi secara massif.

"Kenapa saya berani mengatakan tidak terjadi secara massif atau besar besaran, kecuali dilakukan dimana orang itu ideologinya tidak ideologi syariah. Hanya orang tertentu saja, satu dua khususnya orang yang menggembar-gemborkan lari keluar daerah. Sebenarnya itu tidak ada, sebenarnya semua orang kepingin yang syariah, supaya dia lebih tenang," jelas Apridar.

Menurutnya, konsep syariah itu membangun perekonomian, membangun kebersamaan, membangun kesejahteraan bersama. Beda dengan konsep konvensional. Kalau konvensional, siapa pemilik modal itu yang lebih optimal.

"Ini yang harus kita garis bawahi, terkadang orang tidak paham akan ketentuan utamanya maupun makna harfiah yang sebenarnya. Dia tidak paham sehinga dia larikan dananya keluar daerah,” tutur Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unimal.

Menurutnya, konsep syariah itu membangun perekonomian secara bersama-sama. Kalau si pengusahanya untung, banknya juga untung. Makanya bank akan melakukan pengkajian seoptimal mungkin. Ketika diberikan pembiayaan kepada usaha yang benar-benar usaha.

Untuk saat ini, tambahnya, yang penting bank syariah berjalan dulu. Nantinya akan ada evaluasi. Hasil evaluasi nanti ada bank yang belum menjalankan ketentuan sesuai dengan syariah, secara perlahan-lahan akan menuju kepada konsep syariah yang sebenarnya.

Apridar menyebutkan, karena Aceh pilot projectnya syariah, pihaknya tidak menawarkan sistem bank selain syariah. Karena dia menyakini dan bisa dibandingkan kondisi perekonomian dengan konsep syariah dan kondisi dengan tidak menggunakan konsep syariah. "Boleh kita lihat nanti keunggulanya," jelas Apridar.

Mantan Rektor Unimal ini menekankan, penerapan konsep syariah harus totalitas. Bukan hanya konsep transaksi ekonomi. Namun moral juga harus dikedepankan, karena konsep syariah itu, garda terdepan perekonomian berada pada etika moral.

"Ini yang harus ditegaskan. Bank itu jangan hanya memikirkan bisnisnya yang optimal, bisnisnya yang menguntungkan. Namun dia harus membangun suatu perekonomian dengan mengedepankan etika moral. Itu yang utama," sebutnya.

Bagaimana sebaiknya di Aceh?

Ketua Kadin Aceh Makmur Budiman menyebutkan, sebaiknya di Aceh mempergunakan dua model bank, konvensional dan syariah. Kalau masyarakatnya sudah siap ke model bank syariah, silakan. Demikian dengan masyarakat yang mempercayai bank konvensional.

Dua model bank ini menurut Makmur, adalah upaya untuk kebangkitan ekonomi lebih cepat, ekspansif. Karena bila hanya satu system (model) akan terbatas, disebabkan ada potensi high cost dan keterbatasan pihak bank syariah.

"Kadang- kadang bisa sedikit menghambat ekspansi kredit, high cost ekonomi dan harus melaksanakan RTGS. Terbatasnya fleksibilitas bank, karena perbankan syariah juga sangat tergantung persentase modal inti. Sehingga, berpengaruh juga ke batas maksimum pemberian dana (BMPD)," jelas Makmur.

Sementara, menurut Makmur, bank konvensional cukup kuat batas maksimum pemberian kredit. Disamping ada rencana Menteri BUMN untuk menyatukan bank syariah menjadi satu, sehingga di sini terjadi kekurangan pemakaian gedung dan kurang pemakaian tenaga kerja, biaya dan lainnya.

Sedangkan industri keuangan syariah baru berkembang 5 persen. Jadi kalau diterapkan dalam waktu dekat banyak hambatan. Contoh sederhana, deposito di bank syariah apakah bisa dikenakan bunga?.

Sementara di bank konvensional, deposito itu ada bunganya. Pemodal yang mau mendepositokan uangnya, akan memilih bank konvensional. Bagaimana bila bank konvensional tidak ada di Aceh, tanya Makmur.

"Kalau dua model bank ini diterapkan, saya rasa isu yang berkembang bahwa pemodal akan mendepositokan uangnya di bank konvensional di luar Aceh tidak ada lagi. Isu ini berkembang karena kita tidak menerapkan dua model bank ini," jelas Makmur.

Ketua Kadin Aceh ini mengakui, dalam berbagai kesempatan dia sudah menyampaikan ke berbagai pihak, termasuk dia menyampaikan pandangannya kepada Plt Gubernur Aceh dan DPRA, agar untuk soal bank di Aceh kiranya dapat dilaksanakan dua model, konvensional dan syariah.

Kaji Ulang

Pemberlakuan Bank Syariah di Aceh, juga mendapat tanggapan serius dari pengamat ekonomi Aceh, Rustam Effendi, yang sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, menurutnya penerapan Bank Syariah adalah niat mulia.

Namun Rustam menilainya, waktunya belum tepat. Harus melalui proses, membutuhkan waktu antara 5 sampai 10 tahun ke depan. Dalam konteks dunia perbankan dengan kompleksitas konektivitas dan implikasinya yang sistemik, tentu tidak sesederhana seperti yang dituangkan dalam qanun.

Menurut Rustam, ekonomi di negeri ini menganut ekonomi terbuka yang terkoneksi dengan dunia usaha di luar daerah dan nasional. Ada pengusaha yang beraktivitas bisnis termasuk ekspor-impor yang semuanya terhubung dengan kalangan bank yang non syariah.

Rustam sudah menyampaikan akan adanya persoalan seperti yang dialami Aceh saat ini. Ketika itu, saat Gubernur Aceh dijabat Zaini Abdullah,dia sudah menyuarakan untuk menuju ke bank syariah secara total, harus terlebih dahulu memiliki dua sistem (konvensional dan syariah).

"Saya bersikukuh agar di "spin off" dulu. Nanti setelah sekian tahun baru disatukan secara total. Tapi, suara saya tidak didengar. Padahal, saya sudah prediksi kesulitan yang akan timbul, persis seperti yang terjadi sekarang ini," sebutnya.

Menurut Rustam, Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) itu bagus. Hanya jangka waktu penerapannya yang diarahkan begitu singkat, itu yang jadi persoalan. Terkesan tidak didasari oleh sebuah kajian yang mendalam.

Apalagi Aceh masih sangat rendah kemandirian dibidang ekonomi. Hampir semua aktivitas terkoneksi dengan daerah luar.Sementara di daerah luar banyak pelaku usahanya, terutama pihak korporasi cenderung masih belum sepenuhnya menggunakan perbankan syariah.

Rasanya sulit jika pengusaha lokal (Aceh) dapat memaksa mereka untuk menggunakan bank serupa dengan yang di Aceh. Hampir dapat dipastikan posisi pengusaha lokal akan inferior.

Situasi yang seperti ini, menurut Rustam, dipastikan akan membuat ruang gerak bisnis dan jangkauan pengusaha lokal menjadi terbatas. Dengan kemandirian ekonomi yang masih rendah dan ketergantungan ekonomi yang masih sangat tinggi pada daerah-daerah lain, dipastikan akan menyulitkan, jika transaksi ekonomi hanya sepenuhnya bersandar pada bank syariah.

Ingat, sebut Rustam, ekonomi kita bukan ekonomi tertutup, tetapi ekonomi terbuka. Seharusnya  para penentu kebijakan sudah mempertimbangkan problema ini. Mempertimbangkan suara pelaku usaha, eksportir, importir, pedagang, dan pemanfaat jasa perbankan yang ada di daerah ini.

Sebaiknya, menurut Rustam, Pemerintah Aceh, termasuk DPRA dan Forkopimda perlu duduk dan membahas hal ini dengan para ulama dan tokoh cendikiawan. Dengan demikian dapat dicarikan jalan tengah.

Misalnya, memberi kelonggaran masa pemberlakuan Qanun LKS dengan melakukan sedikit perubahan pasal tertentu. Ini penting demi untuk kepentingan daerah. Jika para pelaku dunia usaha mengalami kesulitan, pasti akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi.

Banyak sektor ekonomi yang terhambat gerakannya, dan ujung-ujungnya akan berpeluang menambah pengangguran dan kemiskinan, jelas dosen ini.

Tokoh politik Aceh yang sekaligus dewan pertimbangan Kadin Aceh, Karimun Usman, juga menyampaikan pandangannya agar penerapan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah perlu ditinjau kembali.

Karimun Usman menilai evaluasi perlu dilakukan agar pertumbuhan ekonomi Aceh tidak terganggu dan merugi. Negara-negara maju yang mayoritas muslim tidak memaksa pengusaha dan warganya untuk menggunakan perbankan yang menggunakan sistem syariah.

Namun bila di Aceh dipaksakan ke satu sistem bank, akan banyak merugikan bagi pertumbuhan ekonomi Aceh. Apalagi dikaitkan dengan investor yang akan masuk ke Aceh. Mereka akan mikir-mikir, takut kalau usahanya maju nantinya dipaksakan harus ikut sistem syariah pula, sebut Karimun.

Masyarakat Aceh, kata Karimun, sejak dari kemerdekaan Indonesia sudah menggunakan transaksi sistem perbankan konvensional. Walau bank syariah di setiap provinsi ada, tetapi tetap berdampingan dengan bank konvensional.

Karimun sepakat dengan berbagai pihak yang meminta agar meninjau kembali penerapan qanun nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Semuanya itu demi kepentingan Aceh.

"Saya minta kepada Plt Gubernur dan jajarannya segera melakukan pendekatan politik untuk meninjau kembali penerapan sistem bank syariah di Aceh, sebelum pihak bank menarik diri dari Aceh. Bila pihak bank menarik diri dari Aceh, yang rugi bukan Pemerintah Aceh dan DPRA, tetapi Aceh secara keseluruhan," sebut mantan anggota parlemen ini.

Hingar bingar soal penerapan satu sistem bank di Aceh (syariah), masih riuh dibahas. Mereka yang mendukung penerapan satu sistem bank (syariah) di Aceh menyampaikan pandanganya.

Namun dipihak lain, mereka yang meminta agar pemerintah mengkaji ulang kebijakanya soal satu sistem bank di Aceh juga tidak henti-hentinya bersuara. Semuanya menyebutkan demi kebaikan Aceh.

Menyimak apa yang berkembang saat ini, bagaimana sikap pemerintah Aceh ( Pemda dan DPRA) soal qanun yang sudah mereka terbitkan? Apakah pemerintah Aceh mendengarkan keinginan semua pihak dalam membangunan tatanan ekonomi Aceh.

Meninjau ulang kebijakan yang sudah diterapkan, atau tetap dengan “prinsipnya” yang sudah dituangkan dalam qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah. Kita ikuti saja hingar bingar di negeri ujung barat Pulau Suwarnadwipa ini? (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda