kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Pemilu Diantara Nyawa Pahlawan Demokrasi

Pemilu Diantara Nyawa Pahlawan Demokrasi

Minggu, 28 April 2019 17:53 WIB

Font: Ukuran: - +

Sejumlah petugas KPPS TPS Desa Ceurih saat membacakan sumpah tugas sebelum melaksanakan pemungutan suara pemilu 2019, Rabu, (17/4) di Desa Ceurih, Banda Aceh. Foto:Baim/Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - 17 April telah berlalu. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan siapa yang akan memenangkan "pertarungan ini", tensi politik tetap tinggi. Kedua belah kubu, masih tetap yakin dengan hasil rekapitulasi suara internal nya masing-masing. 

Bahkan, kubu 02 Prabowo-Sandi, pasca seminggu pemungutan suara telah mendeklarasikan kemenangannya sebanyak empat kali. Sementara itu, kubu 01 Jokowi-Ma'aruf memilih untuk 'keep silent', walaupun hasil quick count sejumlah lembaga survei dan real count KPU hingga saat ini menempatkan mereka sebagai jawara dengan rentang kemenangan 54-56 %.

Dibalik hiruk pikuk dan hingar bingar politik nasional yang terjadi saat ini, pemilu 2019 menyisakan cerita miris bagi ratusan pelaksana pemilu di level bawah. Laporan teranyar KPU menyebutkan petugas KPPS yang meninggal berjumlah 326 orang. 

Seperti diberitakan Jawa Pos, dari 326 yang gugur itu, 253 dari jajaran KPU, 55 orang dari Bawaslu dan 18 personil Polri. Setiap provinsi mengalami musibah gugurnya pahlawan demokrasi.

Tidak terkecuali di Aceh. Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Samsul Bahri kepada Dialeksis.com mengungkapkan, 'pahlawan demokrasi' yang wafat pasca menjalankan tugas berjumlah 4 orang, dan 46 orang harus menjalani perawatan di rumah sakit. 

Samsul menyebut rata-rata dari mereka yang sakit dan meninggal dunia diduga mengalami kelelahan setelah menjalani serangkaian beban dan tanggung jawab sebagai pelaksana pemilu. "Untuk Aceh, yang meninggal 4 orang. Bireuen, Bener Meriah, Aceh Utara 2 orang," sebutnya.

 "Saya mengucapkan belasungkawa atas kejadian ini. Memang ajal di tangan Allah. Tapi ajal itu ada sebabnya. Karena kelelahan, bekerja dengan gaji yang minim," sebut Samsul melalui sambungan seluler, Sabtu, (27/4) di Banda Aceh. 

Samsul juga menyesalkan terhadap ketidakpedulian Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap kondisi yang dialami pelaksana pemilu di lapangan. Menurutnya, Pemda terkesan menutup mata terhadap nasib yang di alami 'pejuang demokrasi' itu. Ia juga mengaku sudah menyampaikan hal tersebut berulangkali kepada pemerintah daerah. 

"Makanya berulangkali saya katakan, tolonglah pemerintah daerah memperhatikan teman-teman dilapangan. Coba lihat provinsi Jawa Barat, coba baca di koran, Gubernurnya langsung ngomong, kepada yang meninggal akan diberi santunan Rp 50 juta. Pemerintah kita sampai hari ini tidak ngomong apa-apa. Kita berharap kepada pemerintah, kalau bisa teman teman dilapangan diperhatikan, mereka sudah bekerja keras," ujar Samsul.  

Menyikapi banyaknya petugas lapangan yang meninggal dan sakit dalam perhelatan pesta demokrasi beranggaran senilai Rp 25 Trilyun (belum lagi anggaran masing masing daerah, partai dan para peserta pemilu), selain Samsul, banyak pihak yang meminta agar sistem manajemen pelaksanaan pemilu di evaluasi. Mereka berpendapat sistem pemilu serentak seperti ini sangat melelahkan.

"Menurut saya ya harus evaluasi. Kalau katanya penghematan biaya negara, ya digabung pilpres dengan pilkada, itu kan tidak masalah. Penyelenggara juga tidak susah, karena terlalu banyak kertas suara. Saya berharap Pilpers dan Pilkada digabung, selain tidak melelahkan, kertas suara juga tidak banyak," sebut Samsul.

Senada dengan Samsul, Ketua Panwaslih Aceh, Faizah, juga berpendapat demikian. Menurutnya, manajemen pemilu harus di evaluasi agar penyelenggaraan pemilihan kedepan lebih baik. 

"Pilpres dan pileg sebaiknya dipisah. Semuanya ini demi kenyamanan semuanya, pekerjaan tidak terlalu menumpuk, penyelengara juga ada waktu istirahat," sebut Faizah kepada Dialeksis.com, Sabtu, (27/4). Ketua Panwaslih ini menyatakan, itu pendapat pribadinya bukan atas nama lembaga.

Faizah menjelaskan, pihak pengawas di Aceh juga ada yang sakit akibat kelelahan mengawasi proses tahapan pemilu. Selain sakit ada pengawas yang mengalami tindak kekerasan. Untuk Aceh belum ada Panwaslih yang meninggal.

Untuk Panwaslih yang mendapat kekekeran, kasusnya sudah ditangani polisi (di Banda Aceh dan Aceh Tenggara)."Kita doakanya semuanya berjalan dengan baik, anggota yang sakit sudah ditangani pihak medis," jelasnya.

Faizah menambahkan, meski tidak bertanggung jawab secara teknis, namun beban pekerjaan pengawas pemilu juga sama dengan pelaksana pemilu. Ketika didistribus logistic, misalnya, jajaran KIP dan Bawaslu harus sama sama kelapangan. Bawaslu mengawasi, memastikan. Kalau pihak PPK bekerja 24 jam, Panwas juga sama.

Pengakuan yang sama soal perhatian pemerintah juga disampaikan Faizah. Sampai saat ini belum ada santunan atau bentuk kepedulian dari pemerintah daerah. Namun, ia tidak menafikkan tentang bantuan kesehatan dari pemerintah lewat penempatan petugas kesehatan di lapangan yang memeriksa secara langsung kondisi kesehatan petugas pelaksana pemilu. 

Sementara itu, Guru Besar UIN Ar Raniry, Profesor Eka Sri Mulyani menyarankan, pihak KPU perlu menyediakan fasiltas suport konseling bagi jenis pekerjaan yang memiliki beban dan tekanan seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

"Tekanan untuk mengejar target pasti iya, sementara kondisi lapangan tidak selalu mudah. Ditambah kondisi sosiologis masyarakat yang dibanjiri diskusi dan berita kecurangan (baik itu benar atau tidak) yang ditujukan kepada penyelenggara tentu mempengaruhi kondisi psikis mereka," ujar Eka Sri Mulyani, menjawab Dialeksis, Sabtu (27/4/2019) melalui selular.

"Selain perlu perlu ada asuransi kesehatan fisik, juga perlu fasilitas dan support konseling psikologis. Terutama jika diperkirakan pekerjaan tersebut penuh tekanan dan memiliki resiko. Kesehatan penyelenggara drop karena kelelahan, dan beban psikologis yang mereka rasakan juga tidak bisa dinafikan, " jelasnya.

Lulusan International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden University, Belanda ini mengatakan banyaknya korban dalam pemilu kali ini mengindikasikan ada problem yang harus diperbaiki kedepan. Terutama terkait beban kerja KPPS yang dinilai terlalu over.

Banyak pihak berharap, agar pemerintah daerah memiliki perhatian terhadap pelaksana pemilu yang meninggal ataupun sakit. Bagaimanapun juga, mereka yang meninggal dan sakit, telah berjuang memastikan agar pelaksanaan pemilu 2019 dapat berjalan sesuai dengan aturan dan memuaskan semua pihak. 

Mereka pantas dan layak disebut sebagai 'pahlawan demokrasi', yang telah sudi mengorbankan jiwa dan raganya demi menghasilkan produk politik yang legitimate dan diakui oleh seluruh rakyat Indonesia.

Selamat jalan pejuang demokrasi Indonesia. Jasamu sangat besar dan memiliki andil memenuhi harapan 267 juta jiwa penduduk republik ini. Mereka menaruh harapan agar perubahan bangsa ini menjadi lebih baik.

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda