DIALEKSIS.COM | Dialektika - Konser musik akbar yang menghadirkan grup band Slank dan D’Masiv di Banda Aceh dalam rangka peringatan Panggung Sumpah Pemuda 2025 batal digelar secara mendadak.
Awalnya, kedua band nasional tersebut dijadwalkan tampil di Lapangan Panahan Komplek Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, pada Sabtu malam, 25 Oktober 2025, dengan misi kampanye anti narkoba bagi generasi muda Aceh.
Izin acara telah dikoordinasikan melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh bekerja sama dengan organisasi anti narkotika setempat, DPD GRANAT Aceh, selaku pemohon izin. Namun, di hari H pelaksanaan, konser urung terlaksana karena pihak Dispora Aceh menyatakan izin penggunaan lokasi gugur akibat ketidakpatuhan penyelenggara terhadap syarat administrasi.
Pembatalan konser ini mengejutkan banyak pihak dan menuai polemik, mengingat acara tersebut disambut antusias oleh masyarakat serta digadang-gadang membawa pesan positif bagi Aceh.
Pascapembatalan, beredar berbagai narasi simpang-siur tentang penyebabnya. Pihak promotor melalui konsultan acara Steffy Burase sempat menyatakan bahwa konser batal karena mendapat tekanan dari ormas Islam di Aceh yang menolak acara tersebut.
Klaim adanya ancaman dari sekelompok ormas ini mencuat ke publik dan memicu persepsi negatif seolah-olah masyarakat atau lembaga keislaman di Aceh menghalangi kegiatan seni tersebut.
Narasi ini dengan cepat menyebar dan dikhawatirkan semakin memperkuat stereotip Aceh sebagai daerah yang “tertutup” terhadap pertunjukan musik modern. Di sisi lain, aparat pemerintah Aceh membantah keras anggapan tersebut dan memberikan klarifikasi resmi, bahwa pembatalan konser sama sekali bukan disebabkan oleh penolakan ormas ataupun pencabutan izin sepihak, melainkan murni akibat kegagalan pihak penyelenggara memenuhi kewajiban sesuai aturan yang berlaku.
Klarifikasi Dispora: Masalah Izin & Kewajiban Administrasi
Masri Amin, Kabid Pengembangan Pemuda Dispora Aceh, memberikan klarifikasi resmi bahwa pembatalan konser terjadi karena masalah administrasi, bukan karena pencabutan izin secara sepihak oleh pemerintah.
Masri menegaskan Dispora Aceh tidak pernah mencabut izin secara sepihak. Izin penggunaan Stadion Harapan Bangsa yang telah dikeluarkan bersifat izin bersyarat, dan dinyatakan gugur secara administratif karena pihak pemohon tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan.
Dalam konferensi pers, ia menjelaskan bahwa DPD GRANAT Aceh selaku pemohon resmi telah mengajukan permohonan izin penggunaan lahan sejak 12 September 2025 dan Dispora Aceh menerbitkan surat izin bersyarat pada 16 September 2025.
Surat izin bersyarat tersebut memuat sejumlah ketentuan utama, antara lain: kegiatan harus sesuai nilai syariat Islam dan kearifan lokal Aceh, tidak mengganggu ketertiban umum, serta penyelenggara wajib melunasi retribusi penggunaan aset daerah sesuai Qanun Aceh No.4 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi.
Selain itu, penyelenggara diwajibkan melengkapi dokumen administrasi pendukung, termasuk Surat Izin Keramaian dari kepolisian dan rekomendasi Dinas Syariat Islam/MPU Aceh.
Dispora Aceh mengungkapkan bahwa dalam hal ini GRANAT Aceh sudah berkomitmen memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan. Namun hingga mendekati hari pelaksanaan konser (25 Oktober), kewajiban retribusi sebesar Rp145,23 juta tak kunjung dilunasi dan beberapa dokumen penting tak diserahkan.
Padahal, Dispora sudah mengirim surat peringatan pada 22 Oktober 2025 agar pemohon segera melunasi retribusi dan melengkapi dokumen.
Akibat kelalaian tersebut, Perjanjian Kerja Sama (MoU) penggunaan lahan antara Pemerintah Aceh dan GRANAT Aceh tak bisa ditandatangani hingga hari H, sehingga secara hukum Dispora belum terikat kerja sama apapun terkait konser ini.
Pada 25 Oktober 2025, Dispora Aceh akhirnya menerbitkan surat penegasan administratif bahwa izin penggunaan lokasi tidak lagi berlaku karena syarat-syarat tak dipenuhi.
“Itu bukan pembatalan acara secara sepihak, melainkan bentuk tertib administrasi karena kewajiban pemohon belum dipenuhi,” tegas Plt. Kadispora Aceh T. Banta Nuzullah mengklarifikasi situasi tersebut.
Pihak GRANAT Aceh selaku mitra kegiatan juga angkat bicara meluruskan isu. Cici Fitri Yanda, Wakil Bendahara DPD GRANAT Aceh, mengungkapkan bahwa pihaknya sebenarnya telah menjalankan seluruh prosedur administrasi untuk mendapatkan izin, dan Dispora Aceh memang telah menerbitkan surat izin resmi untuk konser tersebut.
Masalah justru muncul di internal penyelenggara yakni Event Organizer (EO) PT Erol Perkasa Mandiri selaku rekanan GRANAT tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran biaya sewa lokasi sesuai ketentuan yang ditetapkan.
“Apabila pihak EO mampu melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan, maka seluruh rangkaian kegiatan dapat terlaksana sebagaimana rencana awal,” ujar Cici dalam keterangannya. Dia menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada halangan dari sisi perizinan pemerintah jika syarat pembayaran dipenuhi.
Lebih disayangkan lagi, menurut GRANAT, pihak EO tidak transparan dan bahkan tak memberi tahu mereka soal penundaan acara ini. GRANAT yang sejak awal berkontribusi aktif mengurus perizinan justru mendapati nama organisasinya tidak dicantumkan dalam rundown acara, sesuatu yang dianggap tidak etis sebagai bentuk kemitraan.
Pihak GRANAT Aceh pun mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi isu liar, seraya meminta kejadian ini dijadikan pelajaran bagi semua pelaku EO di Aceh agar lebih profesional, transparan, dan menghargai mitra kerja dalam setiap kolaborasi.
Dispora Aceh juga menepis tudingan dari pihak EO yang terlanjur beredar di media. Steffy Burase selaku promotor sempat menuduh Dispora mencabut izin secara sepihak dan terkesan menyalahkan pemerintah daerah atas batalnya konser.
Menjawab hal itu, Kabid Pemuda Dispora Masri Amin menegaskan bahwa sepanjang proses izin pemerintah hanya berhubungan dengan DPD GRANAT selaku pemohon resmi. Pihak EO/PT Erol Perkasa Mandiri tidak memiliki hubungan hukum apapun dengan Dispora Aceh dalam penggunaan fasilitas pemerintah tersebut.
Dengan kata lain, EO bukanlah pihak yang diakui dalam perjanjian resmi, sehingga klaim sepihak dari EO tidak berdasar dan tak sesuai fakta administratif. Pemerintah Aceh menegaskan tidak berada di pihak yang membatalkan konser, melainkan justru mendukung acara positif kepemudaan selama dijalankan sesuai prosedur hukum dan norma yang berlaku.
Tanggung jawab batalnya konser sepenuhnya dikembalikan kepada penyelenggara yang lalai menyelesaikan kewajibannya sesuai peraturan.
Sikap Pendukung Lokal dan Kekhawatiran Citra Aceh
Pembatalan konser Slank dan D’Masiv ini tak hanya berdampak pada kegagalan acara, tapi juga memicu kekhawatiran mengenai citra dunia seni-budaya Aceh di mata publik luas. Sejumlah tokoh seni dan budaya Aceh menyayangkan keputusan batalnya konser, apalagi acara tersebut membawa misi edukasi bagi generasi muda.
Dewan Kesenian Aceh (DKA) melalui ketuanya, Dr. Teuku Afifuddin, berharap insiden ini tidak menjadi preseden buruk bagi iklim berkesenian di Aceh.
Menurutnya, Slank datang dengan niat baik menggelar kampanye pencegahan narkoba melalui panggung hiburan rakyat, sehingga seharusnya upaya seperti ini mendapat ruang untuk berkembang di tengah masyarakat Aceh.
“Konser ini dapat berdampak positif bagi Aceh, karena ada misi pencegahan dan pemberantasan narkotika melalui seni dan hiburan rakyat,” ujarnya.
DKA menegaskan bahwa selama pagelaran seni tidak mencederai pelaksanaan syariat Islam, semestinya semua pihak mendukung dan mempermudah terselenggaranya acara, apalagi banyak manfaat ekonomi yang dapat dirasakan masyarakat kecil dari perputaran ekonomi selama acara berlangsung.
Teuku Afifuddin mengingatkan, terlalu sering membatalkan acara seni tanpa alasan jelas akan memperburuk citra Aceh di mata luar, seolah Aceh tidak ramah seniman. Padahal, katanya, selama kegiatan seni menjunjung nilai luhur ke-Acehan, hal itu justru bisa mengangkat nama Aceh dan memberi ruang ekspresi positif bagi generasi muda.
Davi Abdullah, budayawan dan seniman film Aceh, menilai kehadiran Slank seharusnya dilihat sebagai medium edukasi anti narkoba bagi generasi muda, bukan dianggap semata sebagai “ajang maksiat”.
Davi Abdullah, salah satu budayawan Aceh, ikut angkat suara terkait polemik ini. Ia menilai penolakan terhadap konser musik secara kaku adalah pandangan sempit. Kehadiran Slank di Aceh justru bisa menjadi momentum penting untuk edukasi anti narkoba, mengingat provinsi Aceh termasuk daerah rawan penyalahgunaan narkotika.
“Slank adalah duta anti narkoba nasional. Pesan-pesan yang mereka bawa bisa menjadi ruang edukatif bagi generasi muda Aceh. Ini justru bisa menjadi panggung moral, bukan panggung maksiat,” tegas Davi Abdullah.
Menanggapi anggapan sebagian kalangan yang menyebut konser musik bertentangan dengan ajaran Islam, Davi berpendapat persoalan moralitas tidak bisa disederhanakan hanya pada satu jenis kegiatan.
“Kalau mau mencari maksiat, itu bisa terjadi di mana saja, bukan hanya di konser musik. Yang penting adalah bagaimana niat, pengawasan, dan nilai yang dibawa dalam kegiatan tersebut,” ujarnya bijak.
Ia mengingatkan bahwa pelarangan yang bersemangat tanpa dialog budaya justru mempersempit ruang ekspresi seni dan bisa melemahkan daya kritis generasi muda Aceh. Menurutnya, membutuhkan ruang-ruang seni untuk menyalurkan ekspresi positif; musik bisa menjadi jembatan edukasi dan sarana perubahan sosial, alih-alih dianggap semata ancaman moral.
Dukungan terhadap terselenggaranya event musik yang positif juga datang dari jajaran pemerintah daerah. Pemerintah Kota Banda Aceh menegaskan bahwa secara prinsip tidak pernah menutup ruang ekspresi bagi seniman dan kegiatan hiburan di kota ini, selama aturan dipenuhi.
Juru Bicara Pemko Banda Aceh, Tomi Mukhtar, mengungkapkan Pemko melalui Dinas terkait sudah mengeluarkan izin resmi untuk konser Slank tersebut, artinya tidak ada larangan dari pihak Pemko sepanjang semua ketentuan dipatuhi.
Tomi meluruskan kesalahpahaman publik yang seolah menyalahkan Pemko Banda Aceh atas pembatalan konser. Menurutnya, karena lokasi acara berada di wilayah kota, muncul anggapan keliru seolah Pemko yang melarang, padahal keputusan akhir ada di tingkat provinsi selaku pemilik aset stadion.
Sebagai pembanding, Tomi menyebut fakta bahwa konser band Last Child yang digelar di Taman Budaya Banda Aceh pada 26 Oktober 2025 (sehari setelah konser Slank dibatalkan) berlangsung sukses tanpa kendala.
“Buktinya, pertunjukan itu berjalan lancar dan aman sampai selesai. Ini menunjukkan Pemko tidak menutup ruang kreativitas anak muda,” ujarnya.
Contoh ini mempertegas bahwa Aceh sebenarnya terbuka terhadap kegiatan seni, asalkan pihak penyelenggara taat aturan dan berkoordinasi baik dengan semua instansi terkait. Pemerintah daerah justru mendukung event-event yang berdampak positif dan mampu menggerakkan ekonomi lokal, seraya mendorong para Event Organizer agar lebih profesional dalam menyelenggarakan acara.
“Kami sangat mendukung kegiatan yang berdampak baik, apalagi bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Tapi penyelenggara juga harus mengikuti semua ketentuan yang berlaku,” tutup Tomi Mukhtar.
Dalih Ancaman Ormas vs Fakta Lapangan
Setelah klarifikasi resmi dari Dispora Aceh dan mitra, terang sudah bahwa penyebab utama batalnya konser Slank dan D’Masiv di Aceh adalah persoalan administratif dan teknis internal penyelenggara, bukan karena penolakan dari kelompok masyarakat.
Syarat-syarat izin yang tidak dipenuhi terutama soal biaya sewa tempat dan kelengkapan izin keramaian menjadi alasan tunggal pemerintah menyatakan izin tak berlaku.
Fakta ini sekaligus membantah narasi awal yang sempat dilontarkan pihak promotor mengenai adanya tekanan ormas Islam. Ketua Komisi C Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh, Tgk. Umar Rafsanjani, termasuk yang bereaksi keras terhadap tudingan sepihak promotor tersebut.
Ia menyayangkan pernyataan promotor yang menurutnya tidak berdasar dan berpotensi menyesatkan publik, karena telah menciptakan kesan seolah umat Islam di Aceh anti terhadap hiburan dan menjadi penghalang acara seni.
“Sebelum berbicara ke publik, seharusnya pihak promotor memahami dulu regulasi dan kewajiban yang berlaku di Aceh. Membawa konser ke tanah syariat tentu harus menghormati aturan, kearifan lokal, dan ketentuan administrasi pemerintah. Jangan ketika gagal, malah menyalahkan umat Islam,” tegas Tgk. Umar Rafsanjani.
Ia menilai tudingan kepada ormas Islam tanpa bukti kuat merupakan upaya “cuci tangan” untuk lari dari tanggung jawab.
“Kegagalan konser ini murni akibat kelalaian teknis dan administratif pihak penyelenggara. Bukti jelas menyebutkan bahwa izin mereka belum tuntas dan retribusi belum dibayar. Jadi, isu bahwa ormas Islam yang menggagalkan konser itu tidak benar. Ini justru menyesatkan publik dan bisa merusak citra masyarakat Aceh,” ujar Tgk. Umar panjang lebar.
Pernyataan ulama tersebut mewakili kegusaran masyarakat Aceh yang merasa nama baik daerahnya tersudutkan oleh dalih yang tidak faktual. Tgk. Umar menegaskan bahwa Aceh tidak pernah menolak kegiatan seni selama acara tersebut sesuai norma syariat dan dijalankan profesional.
MPU dan ormas Islam di Aceh tidak anti hiburan secara mutlak; mereka hanya mengingatkan agar setiap acara publik tetap menjaga adab, etika, dan memiliki izin yang sah.
“Kami bukan anti hiburan. Tapi kalau izin belum lengkap, tentu pemerintah berhak menghentikan. Itu bukan karena ormas, tetapi karena aturan,” imbuhnya.
Pada akhir pernyataannya, Tgk. Umar mendesak pihak promotor dan panitia pelaksana agar meminta maaf secara terbuka kepada publik Aceh serta memberikan klarifikasi untuk meluruskan informasi yang terlanjur berkembang.
“Permintaan maaf bukan tanda kalah, tapi tanda tanggung jawab. Jangan biarkan masyarakat Aceh disalahpahami karena kesalahan komunikasi pihak luar yang tidak memahami karakter daerah ini,” pungkasnya tegas.
Melihat rangkaian kejadian ini, muncul dugaan di tengah masyarakat bahwa dalih “ancaman ormas” yang dikemukakan promotor hanya merupakan alusio untuk menutupi persoalan internal. Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan pihak pemerintah daerah dan aparat terkait justru mendukung penuh konser tersebut selama syarat dipenuhi.
Bahkan konser band lain dengan genre serupa (Last Child) bisa berjalan aman di Banda Aceh pada waktu berdekatan. Situasi ini menimbulkan tanda tanya, apakah ada kepentingan terselubung di balik pembatalan konser Slank dan D’Masiv? Beberapa pengamat menduga promotor sengaja menggiring opini seolah Aceh tidak kondusif demi mengalihkan sorotan dari kelalaian manajemen acara.
Dengan memainkan narasi tekanan ormas, penyelenggara bisa berupaya mendapat simpati publik dan terbebas dari tuntutan pertanggungjawaban finansial. Spekulasi-spekulasi semacam ini merebak seiring terungkapnya fakta bahwa kesalahan ada pada pihak EO sendiri. Tentu, hanya penyelenggara yang tahu persis motif di balik langkah mereka.
Namun yang jelas, respons pemerintah Aceh sangat tegas yakni mereka merasa difitnah oleh tuduhan tak berdasar dan tidak ingin Aceh dicitrakan intoleran hanya karena kegagalan pihak luar mematuhi aturan.
Satu hal lain yang menjadi perhatian adalah soal tindak lanjut hukum dari pihak promotor. Steffy Burase sempat mengutarakan kekecewaannya atas batalnya konser dan menyayangkan kerugian yang timbul.
Publik menduga, jika memang promotor yakin acara mereka dibatalkan sepihak tanpa dasar, langkah logis yang diambil adalah menggugat secara hukum demi pemulihan hak. Namun hingga berita ini diturunkan, belum terdengar adanya upaya gugatan hukum terhadap Pemerintah Aceh.
Bagi sebagian pihak, sikap pasif ini mengundang tanda tanya. Jika benar terjadi perlakuan tidak adil, konsistensi sikap seharusnya diwujudkan dengan menempuh jalur hukum hingga tuntas. Ketiadaan gugatan bisa diartikan promotor menyadari kelemahan posisi hukumnya, atau mungkin telah terjadi penyelesaian di belakang layar yang tidak diketahui publik.
Tanpa kepastian langkah hukum, isu pembatalan konser ini rawan menjadi ajang saling tuding semata. Oleh karena itu, transparansi dari pihak penyelenggara sangat diperlukan untuk menjawab keraguan publik dan membersihkan nama Aceh dari tuduhan miring yang telanjur beredar.
Pembelajaran dari Kontroversi Konser
Kasus gagalnya konser Slank dan D’Masiv di Aceh ini memberikan sejumlah pelajaran penting. Menurut Herman RN Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala menyampaikan pertama, bagi para Event Organizer, profesionalisme dan kepatuhan terhadap prosedur adalah harga mati dalam menyelenggarakan acara, apalagi di daerah dengan kekhususan aturan seperti Aceh.
“Koordinasi dengan semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, aparat keamanan, hingga tokoh masyarakat harus dijalankan dengan baik dan terbuka. Transparansi dalam hal perizinan dan keuangan sangat krusial agar tidak terjadi saling tuding ketika kendala muncul,” ujarnya kepada Dialeksis.
Kedua kata Herman seorang budayawan, pemerintah Aceh diingatkan untuk terus sosialisasi aturan secara jelas kepada setiap penyelenggara kegiatan. Izin bersyarat yang diberikan harus dipantau pemenuhannya, dan komunikasi proaktif perlu dijaga agar tidak muncul kesalahpahaman.
Terakhir penyampaikan dari Herman, dari sisi publik dan media, kasus ini mengingatkan kita untuk tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang belum tentu benar. Tuduhan bahwa Aceh anti terhadap konser musik ternyata tidak terbukti dalam konteks kasus ini faktanya, yang terjadi adalah kegagalan administratif internal.
Diakhir respon pernyataannya Herman mengungkapkan masyarakat Aceh sendiri, melalui para budayawan, ulama, dan pejabatnya, menunjukkan sikap terbuka terhadap kreativitas selama sesuai koridor nilai daerah. Kebebasan berekspresi dan pelestarian syariat sejatinya dapat berjalan beriringan jika dikomunikasikan dengan baik. Ke depan, semoga dinamika seperti ini dapat dikelola lebih bijak sehingga tidak lagi muncul kontroversi yang merugikan semua pihak.
“Aceh, dengan segala kekhususannya, tetaplah bagian dari Indonesia yang ramah bagi kegiatan seni dan budaya, selama semua pihak saling menghormati aturan dan kearifan lokal. Incident konser batal ini diharapkan menjadi pemicu perbaikan ke depan, bukan penghalang bagi panggung-panggung kreativitas berikutnya di Bumi Serambi Mekah,” pungkasnya.