Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Menanti Pilkada 2024 atau 2022

Menanti Pilkada 2024 atau 2022

Rabu, 29 Januari 2020 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Nyaris setiap kali setelah atau menjelang Pemilu dan Pilkada sebelum tahapan dimulai, ada undang-undang yang digugat. 

Pilkada serentak yang akan berlangsung, muncul polimik soal kapan sebaik pelaksanaan pemilihan kepala daerah itu berlangsung.

Poin gugat itu yang membuat publik masih bigung, pasalnya tiga provinsi di Indonesia memiliki keistimewaan yang berbeda-beda, dan itu diantur dalam undang-undang yang sah, tak boleh dilanggar.

Salah satu gugatan Perludem tentang waktu pelaksanaan Pilkada serentak yaitu pada November 2024. Bila itu diterima oleh Mahmakamah Konsitusi (MK), tidak tepat bagi Aceh. 

Undang-undang Pemerintah Aceh telah mengatur soal Pelaksaan Pilkada dalam Pasal 65 ayat 1, ‘Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

Menurut Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia Provinsi Aceh, Ridwan Hadi, gugatan UU Pilkada yang baru ini tidak bisa berlaku untuk Provinsi Aceh, sebab provinsi paling ujung barat ini memiliki kewenangan kekhususan.

"Ini amanah Undang-undang tidak boleh dilanggar, Pilkada Aceh harus mengacu pada UUPA, Pilkada Aceh itu harus dilaksanakan pada 2022" kata Ridwan Hadi saat dihubungi Dialeksis. com.

Untuk Aceh kata Ridwan Hadi, Undang-undang Pemilu juga berlaku, sepanjang tidak diatur Undang-undang pemerintah Aceh.

Kalau pun dipaksakan Pilkada Aceh harus dilakukan secara serentak pada 2024 itu akan melanggar hukum yang berlaku di Aceh.

"Jelas melanggar hukum, ada pasal 65 UUPA yang tidak dilaksanakan, dalam pasal itu jelas disebutkan yang mengatur jadwal pelaksaan Pilkada itu Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KPU," ujar Ridwan Hadi.

Putusan Mahkamah Tahun 2010

Sementara itu, tahun 2010 lalu, Mahkmah Konstitusi telah memutuskan dengan Nomor 35/PUU-VIII/2010 menegaskan, pemlihan kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan yang dimiliki Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 

Terkait hubungan antara UU Pilkada dan UUPA, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 51/PHP.GUB-XV/2017 menyebutkan meskipun Provinsi Aceh memiliki kekhususan, namun tidak berlaku untuk pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. 

MK menilai Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pilkada dan Undang-Undang nomor 10 tahun yang mengatur tentang UUPA tidak ada hubungan yang bersifat khusus dan hubungan yang bersifat umum. 

Hasil putusan MK tahun 2010 itu Pilkada Aceh bukan merupakan bagian dari kekhususan Aceh. 

Dalam UUPA yang menjadi kekhususan Aceh pada penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada berkaitan dengan syarat uji mampu baca Alquran.

Berdasar yang telah diputusan MK ini, Pemilihan Kepala Daerah di Aceh tidak melanggar hukum bila dilaksanakan pada 2024 mendatang.

Pelaksanaan Pilkada serentak yang dimulai dari Aceh itu mengabungkan UUPA dan UU Pilkada diakui hasilnya sah. 

Hasil Pilkada 2017 lalu, Pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah menang pada pemilihan langsung itu, pasangan yang diusung gabungan partai lokal dan partai nasional oleh Presiden Jokowi di istana, ini sesuai perintah UU No. 10 tahun 2016. Aturan itu berlaku Pilkada serentak nasional. 

Saat itu penyelenggara Pilkada Komisi Independen Aceh (KIP) Provinsi Aceh melakssanan tahapan Pilkada yang diatur KPU dasarnya Peraturan KPU untuk daerah khusus. Tak ada yang keberatan dari siapa pun tentang PKPU tersebut. 

Sementara itu KIP Aceh bersama KIP kabupaten/kota telah mengeluarkan rekomendasi pelaksanaan Pilkada baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tetap tahun 2022.

Ketua KIP Aceh, Samsul Bahri mangatakan, rekomendasi itu sudah disetujui oleh semua komisioner KIP dari seluruh Aceh.

Menurutnya ada enam dasar hukum yang menjadi sandaran KIP melaksanakan Pilkada Aceh 2022. Salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan UUPA Pasal 65 ayat 1. 

Pasal tersebut berbunyi, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali. Melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia. Serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

"Berdasarkan pertimbangan hukum, maka kami KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota Se-Aceh untuk pelaksanaan Pilkada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se Aceh yang berakhir masa jabatannya tahun 2022, harus dilaksanakan pada tahun 2022," katanya.


Begitu juga dengan tiga kabupaten/kota yang masa jabatan Bupati/Wali Kotanya berakhir pada tahun 2023. Juga tetap dilaksanan pada tahun tersebut.

Tanpa ada pergeseran. Ketiga daerah itu adalah Kabupaten Aceh Selatan, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Pidie Jaya. Rekomendasi itu dikeluarkan, untuk menyikapi rencana pemerintah pusat. Di mana akan melaksanakan Pilkada serentak pada tahun 2024.


Gugatan Perludem

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak 2019 masih menjadi sorotan di masyarakat. Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materiil terkait Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Dalam sidang perdana pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) untuk perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 digelar di Ruang Sidang Pleno MK.

Perludem menyebutkan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu; Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. 

Menurut Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum Perludem mengatakan, sistem pemilu serentak dengan model lima kotak tidak sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, desain pelaksanaan pemilu lima kotak pada satu hari bersamaan tersebut, sambungnya, membuat pemenuhan prinsip pemilu demokratis yang merupakan cerminan dari asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 telah terlanggar. 

"Keserentakan pemilu yang dipersoalkan ini tidak hanya pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi juga tingkat daerah. Maka kami ajukan UU Pemilu dan Pilkada ini sebagai objek permohonan," ujar Fadli.

Lebih lanjut, Fadli mengatakan, bahwa berpedoman pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah ingin memberikan penegasan desain pemilu serentak sesuatu yang memiliki pengaruh signifikan terhadap peta checks and balances terutama terkait efektivitas sistem presidensial di Indonesia. 

Namun, sambungnya, desain pelaksanaan pemilu lima kotak tersebut berakibat pada lemahnya posisi presiden untuk menyelaraskan agenda pemerintahan dan pembangunan. Hal ini terjadi karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan, sedangkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintahan pusat sekaligus sebagai penyelenggara otonomi daerah. 

Lebih lanjut dia menambahkan bahwa terkait dengan kewenangan dan fungsi pemerintah daerah tidak jauh berbeda dengan kerja sistem pemerintahan presidensial. 

Dalam perumusan peraturan daerah, kepala daerah dan DPRD membahas secara bersama-sama perumusan suatu oeraturan daerah  untuk memperoleh persetujuan bersama. 

Akan tetapi, pada realitasnya seringkali kesetaraan dan efektivitas ini terganggu karena adanya keterpisahan waktu pemilihan umum kepala daerah dengan Pemilihan anggota DPRD. 

Akibatnya, jelas Fadli, berdampak pada politik transaksional untuk kepentingan jangka pendek bagi kepentingan calon kepala daerah, efektivitas pemerintahan daerah karena pemerintahan dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek saja. dan dapat melemahkan dukungan gubernur terpilih di pilkada oleh DPRD.

"Sehingga ketika pemilihan kepala daerah dipisahkan dengan pemilihan DPRD berakibat pada tidak mampu diwujudkannya pemilihan secara demokratis serta membuat gagalnya upaya menjalankan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah seluas-luasnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah," katanya. 

Karena itu, pemilihan yang serentak ini seharusnya dapat dilakukan serentak karena tidak ada pembedaannya. Mulai dalam hal asas, prinsip, dan penyelenggara, sampai pada rangkaian kegiatan pemilihannya sama. 

"Sehingga ini menghasilkan pemilihan yang jauh lebih kredibel dan rasional dalam mewujudkan demokrasi itu sendiri," ujar Fadli.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda