kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Menakar Urgensi Penundaan Pemilu 2024

Menakar Urgensi Penundaan Pemilu 2024

Jum`at, 04 Maret 2022 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Ilustrasi. (Net)


DIALEKSIS.COM - Sejumlah kalangan elit politik di Indonesia menyerukan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Gagasan penundaan Pemilu ini berawal sejak Januari 2022. Berdasarkan rekam jejak yang tertangkap media, penundaan Pemilu 2024 pertama kali diungkapkan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia.

Di sela rapat dengan Komisi VI DPR, 31 Januri 2022, Menteri Bahlil mengatakan, memajukan Pemilu atau mengundurkannya bukanlah sesuatu yang haram. Ia juga mengklaim jika mayoritas pengusaha meminta untuk mempertimbangkan proses pengunduran Pemilu 2024 bila ada ruang.

Adapun dalih pengunduran Pemilu sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Bahlil ialah karena para pelaku ekonomi di Indonesia babak belur dengan persoalan kesehatan, kemudian di saat dunia usaha lagi mau berkembang usai diterjang pandemi, dihantam lagi dengan persoalan politik.

Bak gayung bersambut, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar pun ikut mengusulkan hal yang sama. Dari catatan media, Muhaimin mengusulkan agar Pemilu ditunda selama setahun atau maksimal dua tahun.

Muhaimin beranggapan jika gagasan penundaan Pemilu itu untuk menjaga prospek ekonomi yang sedang berkembang agar tak terganggu dengan pelaksanaan Pemilu yang akan dilaksanakan Februari 2024.

Kemudian, dari sejumlah partai besar di Indonesia pun menyambut positif usulan penundaan Pemilu. Diantaranya ada dari Partai Golkar, dan juga Partai PAN.

Namun, wacana penundaan Pemilu tak dianggap remeh oleh masyarakat. Masyarakat menduga jika penundaan Pemilu 2024 akan berimplikasi pada masa jabatan Presiden tiga periode. Apalagi, isu jabatan 3x5 tahun sempat ramai diperbincangkan pada November 2019.

Akan tetapi, pada saat itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah mentah-mentah jika dirinya menginginkan masa jabatan ditambah. Dalam keterangannya, 2 Desember 2019 sebagaimana dikutip dari sumber Mata Najwa, penambahan periodisasi masa jabatan presiden jadi tiga kali laksana tamparan keras bagi Jokowi. 

Kemudian, pada 15 Maret 2021, dalam Youtube Sekretariat Presiden, Jokowi menegaskan tak ada niatan maju tiga kali. Jokowi juga menyebut jika konstitusi hanya mengamanahkan masa jabatan dua periode. Ia juga mengajak masyarakat untuk sama-sama menjaga amanah limitasi masa jabatan presiden itu.

Baru-baru ini, sejumlah lembaga riset di Indonesia melakukan survei untuk mencari jawaban masyarakat atas isu wacana penundaan Pemilu. Dari rilis survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, mayoritas warga menolak penundaan pemilu meskipun itu karena alasan ekonomi, pandemi Covid-19, atau pemindahan ibu kota. 

Menurut mayoritas, masa jabatan Presiden Jokowi harus berakhir pada 2024 sesuai konstitusi. Di kalangan warga yang mementingkan demokrasi, penolakan terhadap penundaan Pemilu lebih tinggi. Tapi bahkan di kalangan yang mementingkan ekonomi sekalipun, mayoritas menolak Pemilu ditunda.

Berdasarkan temuan survei tersebut, maka penundaan Pemilu 2024 ditolak oleh mayoritas warga. Artinya, semakin gencar wacana penundaan Pemilu dilantangkan oleh elit politik, maka akan semakin kuat pula penolakan warga terhadap perpanjangan jabatan atau penundaan Pemilu ini.

Tak hanya survei dari warga, para analis hukum juga sahut-sahutan menyikapi wacana penundaan Pemilu. Banyak ahli hukum tata negara berteriak dengan nada penolakan, alasan utamanya karena penundaan Pemilu tak bisa dilakukan karena akan menyalahi dengan konstitusi yang mengatakan pemilihan dilakukan setiap lima tahun sekali.

Namun, bukan tak mungkin jika penundaan Pemilu dilaksanakan. Akan tetapi, hal yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum penundaan Pemilu dilakukan ialah dengan mengamendemenkan konstitusi. Namun, perkara amendemen konstitusi tak bisa dilakukan serta merta, melainkan harus ada persetujuan dari suara mayoritas.

Namun, lain cerita bagi pengamat politik. Bagi mereka, tak ada urgensi terhadap amendemen konstitusi di negeri ini. Mereka menegaskan, wacana penundaan Pemilu hanya akal-akalan saja, atau bentuk dari ketidakdewasaan para elit dalam berpolitik. Para pengamat politik ini dengan geram juga mengungkapkan kekesalan mereka. Karena wacana penundaan Pemilu ini hanya usaha dari segelintir orang saja yang ingin mencederai semangat reformasi.

Apalagi, menghalalkan segala cara untuk berkuasa laksana membiarkan kaum oligarki berbicara. Begitulah kira-kira suara mayoritas dari kalangan pengamat politik sebagaimana dirangkum dari beberapa sumber.

Terlepas dari semua itu, pertanyaannya, apakah pandemi Covid-19 dapat mengganggu jalannya proses Pemilu di tahun 2024? Jawabannya, tentu saja tidak. Karena secara logika, tidak ada yang bisa menebak apakah pandemi di tahun 2024 bakal lebih ganas ketimbang sekarang atau tidak. 

Andai kata pandemi pada tahun 2024 surut, kemudian penundaan Pemilu 2024 sudah ditetapkan melalui perubahan Undang-undang, lantas bagaimana sikap pemenang pengusul penundaan Pemilu saat itu. Sambil nyengir mereka akan berkata, “oh, ternyata prediksi kita salah, hehe.”

Atau katakanlah pada tahun 2024 pandemi menggelora lagi, apakah pelaksanaan Pemilu jadi terhambat. Mayoritas umat Indonesia berpendapat tidak, karena bercermin pada tahun 2020, partisipasi Pilkada 2020 nyatanya lebih tinggi. 

Atau jika memang proses seperti kampanye, penyoblosan para calon pemimpin sulit dilakukan lantaran pandemi sehingga para warga diimbau harus menjauhi kerumunan, jaga jarak, atau sebagainya. Lantas bagaimana kita seharusnya menyikapi era New Normal. Apakah New Normal tak berlaku bagi Pemilu?

Bukankah dengan kecanggihan teknologi, proses kampanye atau coblos-mencoblos bisa dilakukan secara daring. Toh, Presiden Jokowi saja bisa menyampaikan amanatnya melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden seperti tanggapan tiga periode masa jabatan presiden misalnya. Lalu, kenapa para elit ini tak bisa melakukan kampanye melalui daring saja. Jadi, bisakah kita menakar kelogisan terhadap penundaan Pemilu 2024 yang dilatarbelakangi karena pandemi. 

Bagaimana jika alasannya karena perbaikan ekonomi? Wah, pertanyaan ini sudah terjawab dari survei LSI di atas. Sebagai penegasan, para warga yang mementingkan ekonomi, mayoritas menolak penundaan Pemilu. 

Secara aturan, pelaksanaan Pemilu sudah ditetapkan dalam Undang-undang. Yakni, diselenggarakan selama lima tahun sekali. Pemilu terakhir dilaksanakan pada tahun 2019. Bila dihitung, pelaksanaan Pemilu selanjutnya adalah di tahun 2024. Konstitusi mengamanahkan demikian. Apabila Pemilu ditunda nanti, maka konstitusi tidak akan berarti banyak. Hanya akan menjadi kiasan dan naskah kuno yang sebelumnya telah susah-susah dirangkum oleh para founding fathers Indonesia. 

Semua masyarakat tak mau kehilangan esensi dan nilai demokrasi yang tercantum dalam konstitusi. Tak ada yang mau menjilat ludah sendiri untuk mementingkan ego sepihak. Bicara demokrasi, ada jiwa bangsa Indonesia yang tertanam di dalamnya.

Lalu, pentingkah pembahasan penundaan Pemilu 2024 diungkit-ungkit sekarang. Apakah ada suatu keharusan atau kewajiban. Bagaimana jika sudut pandangnya diubah saja. Mending ketimbang gonjang-ganjing gak jelas terhadap penundaan Pemilu 2024, mengapa tak memikirkan saja untuk bagaimana menumbuhkan ekonomi masyarakat, memikirkan bagaimana caranya agar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa stabil, murah, dan mudah dijangkau masyarakat. Bagaimana caranya agar harga gas elpiji non subsidi bisa murah. Atau bagaimana caranya menemukan jalan keluar dari langkanya minyak goreng di Indonesia. 

Jadi, untuk saat ini lebih penting memikirkan urusan dapur masyarakat ketimbang mengurus Pemilu yang tahun pelaksanaannya masih jauh dua tahun lagi. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Zakir

riset-JSI
Komentar Anda