Martabat Aceh dan Caleg Tidak Lulus Baca Al-Quran
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
KIP Aceh menggelar tahapan uji mampu baca Alquran di Asrama Haji Embarkasi Aceh, Banda Aceh. [Foto: AJNN/Iskandar]
DIALEKSIS.COM | Dialektika - Tes baca Al-Quran untuk para Calon Legislatif (Caleg) yang akan ikut bertarung di 2024 sudah dilakukan. Banyak yang gugur, tidak mampu membaca Kitab Suci Ummat Islam yang merupakan salah satu syarat untuk menjadi pemimpin di Aceh.
Mereka yang akan memimpin rakyat di parlemen seantora dan pusat Aceh harus mampu membaca Al-Quran, kecuali non muslim. Namun sayangnya, baik di level kabupaten/kota dan untuk Caleg menuju DPR, banyak yang belum mampu membaca Al-Quran.
Fenomena ini merupakan “tamparan” bagi partai. Partai masih belum selektif dalam mengusulkan Calegnya yang kelak menjadi tumpuan memimpin negeri ini.
Pihak KIP sendiri tidak menyampaikan ke publik siapa saja yang tidak lulus dan tidak ikut tes uji baca Alquran. Bahkan KIP membuka peluang untuk pengujian kembali bagi mereka yang tidak hadir. Bagaimana tanggapan publik tentang fenomena ini? Dialeksis.com merangkumnya.
Dosen Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK) Dr. Bustami Usman, S.H., SAP., M.Si mengemukakan, kurangnya binaan dan perhatian dari keluarga sejak usia dini terhadap ilmu agama menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap ketidakmampuan Bacaleg dalam membaca Al - Quran.
Dosen ini menyoroti pentingnya peran keluarga dalam memberikan pendidikan agama yang memadai kepada anak-anak. Dalam banyak kasus, pemahaman dan keterampilan membaca Al Quran memerlukan binaan dan latihan yang konsisten sejak usia dini.
Ketika Bacaleg tidak memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan ini, kemungkinan mereka mengalami kesulitan saat menghadapi uji tes baca Al-Quran menjadi lebih besar.
“Salah pembinaan dalam keluarga, orang tua tidak peduli terhadap pendidikan agama kepada anaknya, tidak mengantar anaknya ke pesantren atau ke balai pendidikan, sehingga semakin besar anaknya tidak mau mengaji, seandainya orang tua memperhatikan itu tidak akan terjadi fenomena seperti ini,” kata Dr. Bustami Usman saat dihubungi DIALEKSIS.COM, Minggu (18/6/2023).
Dr. Bustami mengatakan bahwa Al-Quran merupakan mukjizat terbesar yang pernah diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Oleh karena itu, membaca dan mengulang Al Quran bukan hanya sekadar persiapan menghadapi tes, tetapi merupakan sebuah kewajiban yang perlu dilakukan secara rutin dan konsisten.
“Perlu dicatat, bahwa Al-Quran itu mukjizat Allah SWT, kalau kita bisa mengaji, tapi jarang membaca, hanya membaca pada saat tes saja, berpengaruh pada piskologi, bisa-bisa sampai tidak bisa ngaji, Al Quran itu harus sering dibaca dan diulang-ulang,” kata pria yang pernah menjabat sebagai kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh.
Dr. Bustami mengingatkan partai politik perlu memberikan binaan kepada kadernya dan melaksanakan tes uji baca Alquran saat merekrut Bacaleg, baik untuk DPR RI, DPRA, dan DPRK.
“Partai harus membina kader, persiapkan kader yang punya kemampuan baca Alquran yang baik, paham Undang-undang dan paham tentang menyusun anggaran, jangan asal comot, pada saat mau ikut tes uji baca Alquran baru belajar,” pungkasnya.
Bagaimana pendapat Guru besar Filsafat Islam pada Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.Ag? menurutnya, fenomena banyaknya Bacaleg di Aceh yang tidak lulus uji baca Al Quran, bahkan ratusan Bacaleg memilih tidak berhadir pada saat tes karena merasa malu jika tidak lolos.
Menurut Prof Syamsul, fenomena tersebut disebabkan adanya pergeseran kultur keacehan.
"Sejak kecil orang Aceh itu mendapat bimbingan langsung dari orang tua untuk pergi mengaji setiap selesai maghrib di meunasah atau di balai pengajian kampung,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu (18/6/2023).
Untuk itu, kata Prof Syamsul, sangat tidak masuk akal bila ada warga Aceh asli yang tidak mampu baca Al Quran.
“Fakta terkini ada proses dekulturisasi yaitu tumbuhnya unsur-unsur kebudayaan yang baru dalam kehidupan bermasyarakat sehingga ada penurunan orang tidak bisa baca Al Quran,” jelasnya.
“Hal itu bisa jadi karena perubahan budaya go global sehingga hal-hal sederhana jadi terabaikan, padahal itu penting. Apabila ada orang Aceh yang tidak mampu baca Al Quran, maka orang itu tidak menjadikan budaya Aceh sebagai bagian penting dalam hidupnya,” terangnya.
Untuk itu, ia menyarankan, setiap Parpol harus ada proses kaderisasi partai yang ingin menjadi wakil rakyat. Kader yang dipakai itu benar-benar kader partai yang punya kapasitas, jadi ada kompetisi internal terlebih dulu.
“Artinya itu bukan di KIP uji baca Quran tetapi di internal partai lah, bahwa orang yang dikirim sudah siap berkompetisi. Dari segi pengetahuan parpol dia mampu, kemudian dari keilmuan dia mampu, komunikasi diplomasi, jadi di internal partai itu sudah digodok, jadi tidak terkesan pencalonannya hanya untuk pemenuhan kouta,” ungkapnya.
Selanjutnya » Uji kemampuan baca QuranPelaksanaan uji ...