Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Layakkah Mualem Sebagai Pengawas BPMA?

Layakkah Mualem Sebagai Pengawas BPMA?

Minggu, 26 Februari 2023 21:15 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lelaki berjambang dan berkumis tebal di Aceh ini kembali menjadi perhatian. Dia dipercayakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Pengangkatannya sebagai pengawas komisi BPMA menghasilkan polemik. Banyak kritikan tentang jabatan yang diembannya. Mualem kembali menjadi perhatian di Aceh. Lelaki yang kembali terpilih sebagai ketua Partai Aceh ini disoroti publik.

Muzakir Manaf, begitu nama aslinya. Dia dipercayakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, melalui surat bernomor 292.K/KP.05/MEM.B/2022, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh.

Namun layakkah Mualem menjadi komisi pengawas BPMA? Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Washliyah Banda Aceh, Fauza Andriyadi, mengatakan pengangkatan tersebut memicu polemik, sejauh mana kompetensi dari Mualem yang saat ini sebagai ketua partai Aceh mempunyai pengetahuan di bidang hulu Migas.

Sebab, jelasnya, dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:126.K/OT.01/MEM.S/2021 tentang Persetujuan atas Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Migas Aceh, disebutkan komisi pengawas berjumlah 3 orang. Keanggotaannya terdiri atas unsur pemerintah, unsur pemerintah Aceh dan unsur masyarakat yang mempunyai pengetahuan di bidang hulu migas.

Fauza menyebut lolosnya Mualem menjadi salah satu komisi pengawas BPMA karena cikal muasalnya dari regulasi Kementerian ESDM sendiri. Regulasi Kementerian ESDM ini sendiri harus diakui sangat lemah dan memiliki sejumlah celah.

"Sehingga, memungkinkan Parpol untuk berperan sebagai pengawas di badan pemerintah dalam rangka membawa kepentingan dan misi politik tertentu,” ujar Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) ini dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Minggu (26/2/2023).

Fauza menyebut ada dua kelemahan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:126.K/OT.01/MEM.S/2021 tentang Persetujuan atas Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Migas Aceh.

Pertama, dalam regulasi tersebut tidak tegas tersebut larangan anggota partai politik untuk menjadi komisi pengawas BPMA, sehingga BPMA rentan disusupi agenda politik tertentu dari pihak partai politik.

Kedua, persoalan rekrutmen komisi pengawas. Tidak tersebut aturan rinci yang mengatur bagaimana rekrutmen komisi pengawas yang berpedoman pada prinsip akuntabilitas dan transparansi. 

Padahal persyaratan terhadap kualifikasi komisi pengawas perlu diatur sebab komisi ini mengawasi jalannya kerja kerja BPMA dalam pengelolaaan migas di Aceh. Dalam regulasi tersebut hanya diatur komisi pengawas dari unsur masyarakat harus mempunyai pengetahuan di bidang hulu Migas. 

Namun, tidak ditegaskan standar kualifikasi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat untuk menjadi komisi pengawas, apakah harus memiliki sertifikasi tertentu, atau harus memiliki pengalaman tertentu selama berapa tahun. itu tidak jelas," katanya.

Terakhir, Fauza menyebutkan, bahwa polemik kader parpol menduduki badan pemerintah ini sebenarnya menyangkut persoalan etika dan kapasitas.

“Ini persoalan etika. Sejauh mana orang yang menduduki posisi pengawas itu sadar bahwa dirinya memang layak menduduki posisi tersebut. Kemudian menyangkut kapasitas. Sejauh mana juga dia memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang migas sehingga layak untuk menjadi pengawas dalam hal pengendalian migas di Aceh," tegasnya.

Publik menyoroti hal ini, kata dia, jangan sampai terkesan di mata publik penunjukan Mualem untuk disusupkan ke dalam BPMA ini dalam rangka memuluskan agenda politik tertentu. Terlebih Pemilu 2024 sudah didepan mata.

Ia menyarankan agar kedepan pemerintah pusat perlu merevisi aturan terkait tata kerja BPMA sehingga tidak ada lagi nilai negatif di mata publik terhadap kinerja BPMA.

Mualem mengantikan Dr. Wiratmadinata, S.H., M.Hum mantan staf gubernur Aceh sebagai pengawas BPMA, ada juga nama Dr. M. Jafar, S.H., M. Hum assisten 1 Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh mengantikan Junaidi, S.T., M.T.

Kritikan lainya disampaikan Akademisi Universitas Abulyatama Usman Lamreung. Ia menilai Muzakir Manaf tidak pantas menjadi Komisi Badan Pengelola Migas Aceh(BPMA). Dia tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang industri migas yang menjadi wilayah kerja BPMA.

"Seharusnya di posisi Komisi Pengawas BPMA akademisi, praktisi yang sesuai dengan bidangnya, orang yang memang mengerti masalah migas, tapi sepertinya Muzakir Manaf tidak punya latar belakang pendidikan atau pekerjaan yang terkait dengan industri ini," kata Usman Lamreung saat dihubungi DIALEKSIS.COM, pada Jumat (24/2/2023).

Usman Lamreung menambahkan, bahwa pengetahuan tentang industri migas sangat penting untuk menjadi Komisi Pengawas BPMA. Karena tugas utama dari lembaga ini adalah mengawasi pengelolaan dan distribusi minyak dan gas bumi. 

Seorang Komisi Pengawas BPMA yang kompeten diharapkan dapat memberikan masukan dan saran yang berguna bagi pengembangan industri migas di Aceh. Mereka harus tahu bagaimana industri migas bisa berjalan. Apa saja kendala dan potensi yang ada. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa memberikan masukan yang tepat,

Keputusan Menteri ESDM tidak didasarkan pada kompetensi dan pengalaman yang dimiliki oleh Mualem, tetapi lebih didasarkan pada koneksi politik. 

“Kalau hanya berdasarkan koneksi politik atau hubungan pribadi, saya rasa tidak cukup. Kita butuh orang yang benar-benar memiliki kompetensi dan pengetahuan yang memadai," jelasnya.

Demikian dengan Muhammad Khaidir Direktur Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat (Pakar), dia mengkritik penunjukan Mualem sebagai pengawas BPMA. Menurutnya, Muzakir Manaf tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Repuplik Indonesia tentang Persetujuan dan Tata Kerja Badan Pengelola Migas Aceh. 

Menurut Muhammad Khaidir, Komisi Pengawasan BPMA harus memiliki pengalaman dalam bidang hulu minyak dan gas bumi, Mualem tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman yang sesuai.

"Penunjukan Muzakir Manaf sebagai Komisi Pengawasan BPMA tidak sesuai dengan surat keputusan menteri yang mengatur kualifikasi komisi pengawasan BPMA. Ini bisa menimbulkan konflik kepentingan dan merusak integritas lembaga," ujar Kata Muhammad Khaidir kepada DIALEKSIS.COM, Jumat (24/2/2023).

Muhammad Khaidir menyoroti latar belakang Mualem yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPA Partai Aceh. Menurutnya, sebagai tokoh politik yang aktif, Mualem berpotensi terlibat dalam konflik kepentingan antara partai dan lembaga yang diawasinya.

"Kita harus memastikan bahwa Komisi Pengawasan BPMA memiliki integritas yang tinggi dan tidak terikat dengan kepentingan politik atau bisnis tertentu. Penunjukan Mualem jelas melanggar prinsip-prinsip tersebut,” kata Muhammad Khaidir.

Menurut Muhammad Khaidir, konflik kepentingan dapat merusak integritas dan objektivitas lembaga, serta menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan dari publik terhadap lembaga BPMA. 

Untuk itu, penting bagi lembaga untuk memastikan bahwa anggotanya memiliki integritas yang tinggi dan tidak terikat dengan kepentingan politik atau bisnis tertentu, serta mematuhi standar etika dan kode etik yang berlaku dalam lembaga tersebut.

Mualem sudah dipercayakan sebagai komisi pengawas BPMA. Krtikan untuknya terus bergulir. Walau dibanjiri kritikan, Mualem masih tetap mengantongi SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Repuplik Indonesia. ** Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI