DIALEKSIS.COM | Dialektika - Polemik tengah melanda Universitas Syiah Kuala (USK) terkait belum digantikannya Prof. Dr. dr. Syahrul, Sp.S(K) dari keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) USK.
Padahal, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi telah mengeluarkan surat resmi yang menegaskan bahwa Syahrul tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota MWA. Lambatnya tindakan Ketua MWA USK untuk menindaklanjuti mandat tersebut menimbulkan tanda tanya besar: ada kepentingan apa di balik penundaan penggantian Syahrul?
Kedudukan Syahrul Sudah Gugur Secara Hukum
Secara hukum, posisi Syahrul sebagai anggota MWA USK seharusnya telah gugur otomatis sejak ia dilantik menjadi Direktur Sumber Daya Manusia, Pendidikan, dan Penelitian di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta pada 31 Juli 2024.
Dasar aturannya jelas. Pasal 30 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2022 tentang USK menyebutkan:
“Keanggotaan MWA berakhir apabila diangkat dalam jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.”
Ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan MWA USK Nomor 2 Tahun 2023 Pasal 5 ayat (2) huruf a angka 1, yang mensyaratkan bahwa anggota MWA unsur dosen harus merupakan dosen aktif dengan jabatan fungsional di USK. Sejak menjabat di RS PON, Syahrul otomatis tidak lagi memenuhi kualifikasi tersebut.
Kementerian melalui surat Dirjen Dikti Nomor 1215/B.B1/WS.01.05/2025 tertanggal 17 Oktober 2025 juga menegaskan dua alasan utama yang membuat Syahrul tidak memenuhi syarat:
Kementerian pun memerintahkan MWA USK untuk memastikan pemberhentian Syahrul dan meminta Senat Akademik Universitas (SAU) segera memproses pergantian antar waktu (PAW), agar posisi tersebut diisi oleh perwakilan dosen dengan suara terbanyak berikutnya.
Meski aturan dan instruksi Kementerian sudah jelas, hingga pertengahan November 2025 Ketua MWA USK, Dr. Safrizal ZA, M.Si., belum juga menindaklanjuti pergantian Syahrul. Kursi MWA itu masih kosong selama berbulan-bulan sejak Syahrul dilantik di RS PON.
Penundaan tanpa dasar hukum yang jelas ini menimbulkan kecurigaan di kalangan sivitas akademika. Diduga, penundaan tersebut terkait agenda politik menjelang Pemilihan Rektor USK 2026.
Sejumlah dosen menilai, mempertahankan Syahrul yang secara hukum sudah tidak sah lagi bisa dimaknai sebagai upaya menjaga komposisi suara dalam MWA untuk kepentingan tertentu.
“Ini bukan soal pribadi, tapi soal marwah kampus. Jika pemilihan rektor dilakukan dengan komposisi MWA yang tidak sah, hasilnya bisa cacat hukum,” ujar seorang dosen Fakultas Ekonomi USK.
Ahli hukum administrasi dari USK bahkan memperingatkan bahwa bila anggota MWA yang tidak memenuhi syarat tetap dilibatkan dalam pengambilan keputusan, seluruh hasil keputusan MWA bisa digugat di PTUN.
Artinya, jika Syahrul masih ikut dalam proses pemilihan rektor, maka hasil pemilihan Rektor USK 2026 bisa batal demi hukum.
Nasehat Guru Besar
Di tengah memanasnya situasi, Guru Besar Fakultas Kedokteran USK, Prof. Dr. dr. Azharuddin, Sp.OT., K-Spine, FICS, mengimbau agar seluruh civitas akademika menyikapi persoalan dengan kepala dingin dan berpegang pada aturan.
“Tanpa harus menyebut nama siapapun, cobalah semua kembali pada aturan yang semestinya. Bagaimana seseorang dipilih, apa persyaratannya, dan apakah sudah sesuai. Mari melihat itu semua. Yang sederhana jangan diperumit,” ujar Prof. Azharuddin kepada Dialeksis, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, integritas dan keberanian mengakui kesalahan merupakan bagian dari budaya akademik yang sehat.
“Kalau keliru, harus ada yang berani tunjuk tangan dan memperbaiki. Kembalilah ke jalur yang benar,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa polemik yang tidak segera diselesaikan dapat merusak legitimasi proses pemilihan rektor periode 2026 - 2030.
“Kalau ada persoalan yang bisa mempengaruhi legitimasi hasil pemilihan rektor, itu harus diantisipasi sejak awal,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai penyelesaian persoalan krusial seperti ini harus dilakukan sebelum proses demokrasi kampus dimulai.
“Yang rumit itu justru ketika masalah dibiarkan. Pastikan semua hal yang masih diperdebatkan diselesaikan terlebih dahulu agar prosesnya benar-benar clear,” tambahnya.
Prof. Azharuddin berharap pemilihan rektor mendatang berlangsung bermartabat dan menjunjung tinggi nilai integritas.
“Siapapun yang terpilih nanti adalah pemimpin kita bersama. Hendaknya ia menjadi figur pemersatu yang lahir dari proses yang jujur dan berwibawa,” pungkasnya.
Desakan Dosen: Tegakkan Aturan, Jaga Marwah USK
Polemik ini memicu reaksi keras dari kalangan dosen. Firdaus Mirza Nusuary, M.A., dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USK, termasuk yang lantang bersuara.
Ia mempertanyakan sikap Ketua MWA yang terkesan mengabaikan surat resmi Kementerian.
“Aturannya sudah jelas dan surat kementerian pun sudah keluar. Jadi apa lagi yang ditunggu? Jika regulasi tidak ditegakkan, publik akan bertanya-tanya, ada kepentingan apa di balik ini,” ujarnya kepada Dialeksis saat diminta tanggapannya.
Firdaus menilai, sikap abu-abu pimpinan MWA memberi kesan keberpihakan terhadap salah satu calon rektor dalam proses pencalonan yang tengah berlangsung.
“Sikap seperti ini berpotensi mencederai asas keadilan dan memberi kesan keberpihakan dalam proses pemilihan rektor yang sedang berjalan. Ini bisa berdampak pada runtuhnya moral demokrasi di kampus Jantong Hatee rakyat Aceh,” tegasnya.
Ia mendesak Ketua MWA untuk bersikap tegas dan netral.
“Demi menjaga marwah USK, peraturan harus ditegakkan tanpa kompromi dan tanpa keberpihakan,” lanjut Firdaus.
Pandangan serupa disampaikan oleh Tabrani Yunis, pengamat pendidikan Aceh, yang menilai lambannya langkah Ketua MWA mencerminkan lemahnya komitmen terhadap prinsip good governance.
“USK seharusnya jadi teladan dalam menegakkan etika dan aturan, bukan justru melanggarnya,” katanya.
Seruan moral kini menggema dari berbagai fakultas. Para akademisi menegaskan bahwa langkah menyelesaikan polemik ini bukan sekadar formalitas, melainkan panggilan nurani untuk menjaga integritas dan moral demokrasi kampus.
Sebagaimana ditegaskan Prof. Azharuddin, penyelesaian harus dilakukan dengan kepala dingin, berpegang pada aturan, dan kembali ke jalur yang benar.
Sementara Firdaus Mirza Nusuary menekankan bahwa pembiaran pelanggaran justru akan merusak fondasi demokrasi kampus dan kepercayaan publik terhadap USK.
“Universitas Syiah Kuala ini kebanggaan Aceh. Kita harus jaga bersama aturan mainnya,” ujar seorang dosen senior.
Dalam setiap dinamika organisasi besar, terutama lembaga pendidikan tinggi, perbedaan pandangan adalah hal wajar. Namun, ketika perbedaan itu menyentuh prinsip dasar tata kelola dan integritas, maka sikap arif dan keberanian moral menjadi kuncinya.
Polemik yang kini melingkupi Universitas Syiah Kuala seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen terhadap aturan dan etika akademik, bukan sebaliknya. Hanya dengan kembali ke koridor hukum dan nilai kejujuran, USK akan tetap berdiri sebagai “Jantong Hatee Rakyat Aceh” kampus kebanggaan yang melahirkan generasi berilmu, berintegritas, dan berjiwa pemersatu.
Sebagaimana diingatkan oleh Prof. Azharuddin, “Yang sederhana jangan diperumit, yang benar jangan disimpangkan.” Maka, menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin dan berpegang pada aturan bukan sekadar langkah administratif, tetapi wujud nyata dari cinta pada marwah universitas dan masa depan ilmu pengetahuan di Aceh.