Kamis, 21 Agustus 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Kapolda Baru, Harapan Baru untuk Polisi Aceh

Kapolda Baru, Harapan Baru untuk Polisi Aceh

Kamis, 21 Agustus 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah Kapolda Aceh yang baru. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah resmi menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh setelah dilantik Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/8/2025). Ia menggantikan Irjen Pol Achmad Kartiko yang kini bertugas sebagai Perwira Tinggi (Pati) Bareskrim Polri.

Pergantian ini menandai babak baru dalam kepemimpinan kepolisian di Aceh. Marzuki, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1991 asal Pidie, dikenal publik lewat rekam jejak panjang di bidang intelijen, penanganan narkotika, dan pernah memimpin Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh sebelum ditarik ke Bareskrim Polri.

Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Kombes Pol Joko Krisdiyanto, memastikan bahwa pelantikan ini merupakan tindak lanjut dari Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1764/VIII/KEP/2025 tertanggal 5 Agustus 2025. “Benar, Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah telah dilantik oleh Kapolri sebagai Kapolda Aceh,” ujarnya.

Pelantikan Marzuki mendapat apresiasi langsung dari Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem. Ia menyebut penunjukan Marzuki sebagai Kapolda Aceh bukan hanya rotasi jabatan, tetapi simbol kebanggaan putra daerah yang membawa harapan baru.

“Kita berharap Kapolda yang baru dapat menegakkan hukum dengan cara yang profesional, humanis, dan berpijak pada kearifan lokal,” kata Mualem di Banda Aceh.

Bagi Mualem, sinergi antara polisi dengan masyarakat mulai dari tokoh gampong, dayah, hingga kalangan muda merupakan kunci menjaga stabilitas keamanan sekaligus memperkuat kohesi sosial di Aceh.

Dari kalangan akademisi, pelantikan ini memunculkan berbagai catatan penting. Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Marwan, IPU, menilai integritas hukum adalah ujian utama bagi Kapolda baru. “Hukum harus ditegakkan adil tanpa intervensi politik maupun kepentingan kelompok. Polisi harus hadir sebagai pengayom untuk mendapatkan simpati masyarakat,” ujarnya.

Ia menambahkan, persoalan narkoba, judi online, pinjaman ilegal, serta pengelolaan sumber daya alam di Aceh menunggu ketegasan kepolisian.

Sementara itu, Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal), Prof. Dr. Herman Fithra, menyoroti aspek pelayanan publik. “Wajah polisi di mata rakyat terlihat dari interaksi sehari-hari. Polisi yang ramah, cepat merespons laporan, dan transparan akan lebih mudah dicintai,” katanya.

Menurut Herman, kepolisian juga perlu memperluas penggunaan teknologi digital. “Era digital menuntut layanan cepat dan transparan. Sudah saatnya kepolisian memperluas aplikasi daring untuk pelaporan maupun pengaduan hukum,” ujarnya.

Adapun Rektor Universitas Teuku Umar (UTU), Prof. Dr. Ishak Hasan, menekankan pentingnya figur polisi yang inspiratif bagi generasi muda. “Polisi jangan hanya hadir saat ada masalah, tapi juga dalam edukasi, pencegahan narkoba, kampanye keselamatan lalu lintas, hingga pemberdayaan masyarakat,” jelasnya.

Ia menegaskan, kedekatan polisi dengan ulama dan tokoh adat adalah fondasi penting. “Jika polisi dekat dengan masyarakat akar rumput, hukum tidak akan terasa jauh dari rakyat,” pungkasnya.

Menariknya lagi respon harapan kepada Kapolda Aceh yang baru disuarakan juga dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh juga memberikan catatan keras. Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal, menekankan bahwa penyelesaian konflik agraria dan tambang ilegal harus dilakukan secara humanis, bukan represif.

“Yang harus disasar bukan pekerja lapangan, melainkan pemodal besar yang menggerakkan rantai tambang ilegal,” tegasnya.

Menurut WALHI, maraknya tambang emas ilegal di Aceh Barat, Nagan Raya, hingga Pidie telah merusak hutan dan mencemari sungai. Afifuddin juga menyoroti dugaan keterlibatan oknum polisi dalam membekingi tambang. “Kapolda harus berani memberantas oknum polisi yang terlibat. Jika tidak, citra kepolisian akan semakin jatuh,” ujarnya.

Desakan lain datang dari Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA). Kepala SAKA, Mahmuddin, menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas. Ia menyoroti sejumlah kasus besar di Aceh yang menggantung, seperti dugaan korupsi beasiswa mahasiswa dan pengadaan wastafel cuci tangan saat pandemi Covid-19.

“Kepastian hukum itu penting. Jangan sampai hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jika Kapolda berani membuka kembali berkas-berkas lama yang mandek, itu akan menjadi titik balik kepercayaan publik,” kata Mahmuddin.

Menurutnya, keberanian membuka kasus besar akan menunjukkan bahwa polisi berpihak pada masyarakat, bukan pada elite yang terlibat.

Pergantian pucuk pimpinan di Polda Aceh kali ini tidak bisa dipandang sekadar rotasi rutin. Bagi publik, momentum ini adalah ujian apakah institusi kepolisian mampu menegakkan hukum dengan adil, memberantas tambang ilegal, hingga membersihkan praktik korupsi yang selama ini membelenggu Aceh.

Harapan masyarakat bertemu pada satu titik: Kapolda baru harus menghadirkan polisi yang dekat, bersih, humanis, dan dipercaya rakyat. Kini, bola berada di tangan Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah.


Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polia
bpka