Kamis, 23 Oktober 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Jejak Donor Internasional di Aceh: Dari Bencana Menuju Harapan

Jejak Donor Internasional di Aceh: Dari Bencana Menuju Harapan

Kamis, 23 Oktober 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Era Purike

Era Purike, Mahasiswa Program Doktoral Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Ketika gelombang raksasa dari Samudra Hindia menghantam Aceh pada pagi 26 Desember 2004, sejarah seolah berhenti sejenak. Lebih dari 170 ribu jiwa meninggal, ribuan lainnya hilang tanpa jejak. Rumah, sekolah, dan infrastruktur luluh lantak, menyisakan kesunyian yang menyesakkan. Namun, di balik puing-puing itu, ada secercah harapan yang perlahan tumbuh dari reruntuhan Aceh menemukan momentum untuk memulai kembali.

Tsunami bukan sekadar bencana alam ia datang menimpa daerah yang sudah lama dilanda perang. Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia selama hampir tiga dekade telah menorehkan luka sosial dan politik yang dalam. Di tengah situasi itu, bencana justru menjadi katalis untuk sebuah babak baru yakni lahirnya perdamaian dan dimulainya rekonstruksi besar-besaran.

Dari tragedi itu, Aceh berubah menjadi laboratorium dunia dalam mengelola krisis kemanusiaan sekaligus membangun perdamaian. Para donor internasional datang dari berbagai penjuru dunia, membawa bantuan senilai lebih dari 7 miliar dolar AS dari lebih 500 lembaga. Dalam semangat global yang dirangkum dalam slogan “Build Back Better”, Aceh menjadi simbol bagaimana kehancuran bisa berujung pada kebangkitan.

Sebelum bencana, Aceh adalah wilayah yang terpinggirkan. Kekayaan alam melimpah, tetapi sebagian besar masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Infrastruktur rusak akibat konflik, dan lembaga pemerintah kehilangan legitimasi di mata rakyat.

Ketika tsunami melanda, dunia terkejut. Bantuan internasional datang tanpa henti. Namun di balik misi kemanusiaan itu, terselip kepentingan strategis: bagaimana bencana ini bisa menjadi pintu masuk bagi perdamaian.

Setahun setelahnya, pada Agustus 2005, dunia menyaksikan penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Perjanjian ini tidak hanya mengakhiri kekerasan, tetapi juga membuka jalan bagi pembangunan politik dan ekonomi baru di Aceh.

Menurut Era Purike, mahasiswa doktoral Hubungan Internasional FISIP Unpad, “Tsunami dan perdamaian menjadi dua sisi dari satu proses sejarah yang sama. Bencana yang menghancurkan justru menciptakan ruang bagi kerja sama kemanusiaan global dan rekonsiliasi politik nasional.”

Derasnya arus bantuan memerlukan sistem yang terkoordinasi. Untuk itu, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh - Nias pada 2005, dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Lembaga ini menjadi poros utama dalam mengatur dana dan proyek dari ratusan donor internasional.

BRR diberi kewenangan luas untuk mengelola lebih dari 12 ribu proyek dalam waktu empat tahun (2005 - 2009). Dengan sistem data terpusat (RAND Database), BRR mampu melacak aliran dana, proyek, dan implementasinya secara transparan sesuatu yang jarang terjadi dalam birokrasi Indonesia kala itu.

Kebijakan satu pintu yang diterapkan BRR membuat donor, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat bekerja dalam klaster tematik mulai dari perumahan, infrastruktur, hingga tata kelola pemerintahan. 

“Aceh menjadi ruang di mana koordinasi global dan kepemimpinan nasional diuji secara bersamaan,” jelas Era Purike seperti Tulisan ini disadur dari Jaringan Survei Inisiatif bekerja sama dengan Dialeksis.com

Namun, tidak semua berjalan mulus. Perbedaan orientasi antar donor antara pendekatan kemanusiaan dan pembangunan jangka panjang menimbulkan gesekan. Beberapa proyek tumpang tindih, sementara sebagian lainnya terhambat oleh perbedaan mekanisme pelaporan dan standar akuntabilitas.

Meski demikian, BRR berhasil menegakkan prinsip transparansi dan efisiensi yang diakui banyak pihak. Pengalaman Aceh kemudian menjadi model bagi pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2008.

Dalam catatan BRR dan Bank Dunia, donor terbesar adalah Bank Dunia sendiri, dengan dana sekitar 700 juta dolar AS melalui Multi Donor Fund (MDF). MDF mengumpulkan sumbangan dari 15 negara dan mendanai berbagai proyek infrastruktur dan tata kelola.

UNDP menyalurkan lebih dari 400 juta dolar AS untuk memperkuat kapasitas pemerintahan daerah, pelatihan, dan program pemberdayaan ekonomi. JICA dari Jepang fokus pada pembangunan pelabuhan, jalan, dan sistem air bersih dengan total bantuan 350 juta dolar AS.

USAID mendukung sektor kesehatan dan pendidikan senilai 245 juta dolar AS, sedangkan AusAID dari Australia memberikan 200 juta dolar AS untuk membangun sekolah dan memperkuat perdamaian. Uni Eropa dan Bank Pembangunan Islam juga mengambil peran penting dalam rehabilitasi perumahan dan dukungan bagi reintegrasi mantan kombatan.

Bagi masyarakat Aceh, kehadiran lembaga-lembaga ini bagaikan dunia yang turun tangan langsung di tanah mereka. Dari Banda Aceh hingga Meulaboh, logo donor asing terpampang di papan proyek, menjadi simbol globalisasi kemanusiaan yang nyata.

Salah satu keberhasilan paling menonjol dari proyek bantuan di Aceh adalah peningkatan akuntabilitas. Laporan keuangan terbuka, pengawasan publik diperkuat, dan audit independen dilakukan secara rutin. Transparansi menjadi fondasi kepercayaan antara donor dan pemerintah.

Namun, pertanyaannya: sejauh mana masyarakat Aceh memiliki kendali terhadap proses pembangunan mereka sendiri?

Sebagian besar keputusan strategis masih datang dari luar, mengikuti logika lembaga donor yang kadang tidak sepenuhnya memahami konteks sosial budaya lokal. Beberapa proyek perumahan, misalnya, dibangun dengan desain seragam tanpa mempertimbangkan kearifan lokal atau pola hidup masyarakat nelayan.

“Masalah kepemilikan lokal adalah pelajaran terbesar,” kata Era Purike. “Donor memang membawa dana, tapi jika masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, maka pembangunan kehilangan jiwanya.”

Meski menghadapi banyak kendala, rekonstruksi Aceh berhasil menumbuhkan kapasitas baru di tingkat lokal. Ribuan aparatur daerah mengikuti pelatihan tata kelola keuangan, pengawasan proyek, hingga perencanaan pembangunan.

Program Local Governance Support dari UNDP dan Kecamatan Development Program dari Bank Dunia menjadi katalis perubahan birokrasi lokal. Secara bertahap, pemerintah Aceh mampu mengambil alih peran donor dan menjalankan pembangunan secara mandiri.

Namun, tantangan berlanjut ketika BRR dibubarkan pada 2009. Banyak proyek kehilangan kesinambungan karena belum sepenuhnya tertanam dalam struktur daerah. Ketergantungan terhadap konsultan asing dan dana eksternal masih terasa.

“Ketika lembaga donor pergi, banyak institusi lokal belum cukup kuat untuk melanjutkan,” tulis Era Purike. “Inilah paradoks bantuan: ia bisa membangun kapasitas, tapi juga menciptakan ketergantungan.”

Dampak nyata dari bantuan internasional terlihat pada sektor sosial dan ekonomi. Dalam waktu kurang dari lima tahun, lebih dari 140 ribu rumah, 3.700 sekolah, dan 2.600 kilometer jalan dibangun kembali.

Lembaga seperti ILO, UNDP, dan USAID turut membiayai program lapangan kerja bagi masyarakat pesisir dan petani. Angka kemiskinan menurun drastis dari 32 persen pada 2005 menjadi 16 persen pada 2010.

Namun, keberhasilan itu tidak merata. Daerah yang terkena tsunami lebih cepat pulih dibanding wilayah pedalaman yang dulu menjadi basis konflik. Kesenjangan baru muncul, memunculkan tantangan baru dalam keadilan pembangunan.

Meski demikian, dampak sosialnya sangat besar. Program reintegrasi yang dikelola Badan Reintegrasi Aceh (BRA), dengan dukungan Uni Eropa dan Bank Dunia, berhasil membantu ribuan mantan kombatan kembali ke masyarakat. Sekolah-sekolah dibangun, layanan kesehatan diperluas, dan trauma sosial perlahan pulih.

Aceh menemukan kedamaian bukan hanya lewat tanda tangan di Helsinki, tetapi melalui proses panjang membangun kembali kepercayaan sosial.

Rekonstruksi Aceh menjadi tonggak dalam sejarah kemanusiaan global. Model Multi Donor Fund yang diterapkan Bank Dunia di Aceh kini menjadi rujukan internasional dalam mengelola bantuan lintas negara.

Lebih dari itu, Aceh memberi pelajaran bahwa pemulihan pascabencana tidak bisa dipisahkan dari pembangunan perdamaian. Bantuan tidak hanya soal dana, tapi juga tentang membangun tata kelola, kepercayaan, dan kapasitas lokal.

Berkat pengalaman Aceh, Indonesia kini memiliki mekanisme nasional yang lebih siap menghadapi bencana besar, termasuk pembentukan BNPB dan kebijakan keterbukaan informasi bantuan.

Namun, seperti diingatkan Era Purike, “Warisan terbesar Aceh bukanlah gedung yang dibangun, tetapi kesadaran bahwa ketahanan sejati hanya bisa tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri.”

Dua puluh tahun telah berlalu sejak gelombang itu datang. Aceh kini berdiri dengan wajah baru: jalan-jalan tersambung, sekolah berdiri megah, dan generasi muda menatap masa depan dengan lebih pasti.

Namun di balik capaian itu, tersisa pelajaran mendalam. Bantuan luar negeri bisa mempercepat pemulihan, tetapi hanya kemandirian lokal yang dapat menjaganya tetap lestari.

Kisah Aceh adalah kisah tentang manusia, bukan sekadar angka atau proyek. Tentang bagaimana penderitaan bisa menjadi kesempatan, dan bagaimana solidaritas global mampu menjahit kembali kain sosial yang terkoyak perang.

Aceh mengajarkan dunia bahwa membangun kembali bukan hanya tentang membangun lebih baik, tetapi membangun lebih adil”dengan masyarakat sebagai pusatnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI