Jangan Framing Aceh Rawan Konflik Dalam Pilkada 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Ilustrasi - Pilkada Serentak 2024. ANTARA/Afif
DIALEKSIS.COM | Dialektika - Aceh masih dilabelkan daerah rawan konflik saat dilangsungkan Pilkada, baik untuk level gubernur dan pemerintahan kota. Namun faktanya, Aceh tidak “horror” seperti yang disebutkan para petinggi di republik ini.
Pihak TNI, Kemendagri, dan baru baru ini Lemhanas mengangkat isu tentang rawanya Pilkada di Aceh. Seakan-akan Aceh menjadi “horror” dalam pelaksanaan Pilkada. Benarkah Aceh rawan dalam pelaksanaan Pilkada kali ini.
Untuk mendapatkan jawaban atas framing bahwa Aceh rawan Pilkada, Jaringan Survei Inisiatif (JSI) mengelar diskusi yang diselenggarakan secara virtual pada 16 November 2024 ini. Hasil diskusi, semua pihak sepakat tidak ada hal yang urgen, mengganggu sehingga Aceh menjadi daerah yang rawan.
Simaklah kesimpulan mereka yang memberikan pendapat tentang label rawanya Aceh dalam Pilkada 2024, dalam diskusi yang diselenggarakan JSI ini.
Muhammad AH, Panwaslih Aceh, meminta pemerintah Aceh untuk mempertanyakan ke sejumlah institusi pemerintah pusat, agar Aceh senantiasa dilabelkan sebagai daerah rawan dalam Pilkada.
“Pihak TNI, Kemendagri, serta baru baru ini Lemhannas menyatakan Aceh daerah rawan Pilkada. Seharusnya Pemerintah Aceh memertanyakan hal ini dan sekaligus meminta pihak pusat agar jangan selalu melabelkan Aceh menjadi daerah rawan konflik setiap momentum pesta demokrasi baik Pemilu dan Pilkada,” pinta Muhammad AH.
Pemerintah Aceh juga harus meminta klarifikasi atas pertanyaan institusi tersebut terhadap indikator ataupun katagori kerentanan dan kerawanan Pilkada di Aceh. Hal ini harus dilakukan agar semua persoalan jelas, pintanya.
“Jangan sampai Aceh selalu disalah artikan dan mendapat label kerawanan untuk setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Pj gubernur Aceh bersama DPRA harus mengirimkan surat secera resmi meminta klarifikasi atas pernyataan sejumlah petinggi di negeri ini yang melabelkan Aceh sebagai daerah rawan,” pinta Muhammad AH.
Pihaknya selaku Panwaslih Aceh telah memetakan kerawanan di Pilkada Aceh. Mulai dari hak pilih, akses internet, keamanan, politik uang, politisasi sara, netralias ASN, logistic, dan TPS.
“Semuanya sudah dipetakan Panwaslih, tidak ada indikasi kerawanan terjadi dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh,” jelasnya.
Menurut Muhammad AH, untuk itu Pemerintah Aceh, harus melakukan klarifikasi soal kerawanan ini, agar Aceh tidak dilabelkan dalam setiap pesta demokrasi sebagai daerah rawan.
Sementara itu, Agusni AH (Ketua KIP Aceh) menjelaskan, sukses dan tidaknya Pilkada Aceh sangat ditentukan keterlibatan semua pihak. Karena pesta demokrasi tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali. Jadi tidak hanya diletakan pada penyelenggara saja.
“Ini tanggungjawab semua kita rakyat Aceh, bukan hanya tanggungjawab penyelenggara saja. Untuk itu mari kita sukseskan, artinya semua pihak benar benar ikut berpartisifasi aktif dalam menyukseskan Pilkada,” pinta Agusni.
“Kami selaku penyelenggara sudah menjalankan semua proses, semua tahapan Pilkada hingga akhir ini. Bahkan hingga menuju pemungutan suara tidak ada kendala yang menjadi hambatan sekaligus kerawanan yang mengganggu jalannya pelaksanaan Pilkada,” jelasnya.
Intinya menurut Agusni AH, kerawanan dalam setiap tahapan di Pilkada tidak ditemukan, karena komitmen penyelenggara dalam menjalankan tugas semua berdasarkan ketentuan undang dan peraturan yang mengikat dan mengatur pelaksanaan Pilkada Aceh.
“Kami harap jangan dilakukan framing selalu olah ada kesalahana atau gangguan Pilkada sehingga ada arah penolakan hasil Pilkada ke depan. Karena semua yang sudah kami lakukan sampai sejauh ini, menuju pemungutan suara tidak ditemukan gangguan mengarah kepada kerawanan pelaksanaan Pilkada,” jelasnya.
Perlu menjadi catatan penting, kata Agusni, pihaknya selaku penyelenggara berkomitmen untuk menyukseskan Pilkada, tetap netral sesuai apa yang menjadi mandat dalam UU dan peraturan.
Sementara itu, Khairil Arista Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, memberikan penegasan soal adanya label yang disebutkan Aceh sebagai daerah rawan Pilkada.
“Menurut kami tidak ditemukan hal urgen dan sangat mengganggu sehingga Aceh menjadi daerah yang rawan dalam pelaksanaan Pilkada. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan mekanisme,” sebutnya.
Khairil menilai, semua kejadian yang berlangsung saat hingar bingar Pilkada dan belum ditangani dengan baik, menunjukan lemahnya penegakan hukum. Hal itu dapat dilihat dari belum tuntasnya kasus seperti pelemparan granat, urusan perusakan spanduk, dan pengancaman.
“Hal ini menandakan penegakan hukum belum berjalan dengan baik terkait urusan kasus kasus bermuatan politis yang terjadi dalam proses demokrasi Pilkada ini,” jelasnya.
Direktur NGO HAM ini juga menilai fungsi dan peran Panwaslih Aceh belum optimal, belum bekerja maksimal untuk antisipasi sekaligus penanganan kasus kasus yang teridentifikasi masuk ke urusan penanganan Pilkada Aceh.
Sementara itu, Dosen FSIP UIN Ar Raniry Banda Aceh, Rizkika Lhena Darwin menilai, dirinya melihat belum ada dimensi terbatas tentang kerawanan pilkada. Salah satunya menjadi konsen dan penting, yaitu kerawanan politik berbasis gender dalam kontestasi politik pilkada.
“Kenapa ini saya ingin konsen karena pada tahun 2017 kita ada lima calon kepala daerah yang perempuan,” jelasnya.
Tapi di pilkada 2024, cuma ada 4 Kepala daerah perempuan di 3 kabupaten dan kota ,ada Simeulue,Langsa dna kota Banda Aceh, ditengah tren nasional bahwa Kepala daerah perempuan itu naik, tapi di Aceh malah mengalami penurunan. Saya berpikir ini harus kita konsen,” sebutnya.
“Hak warga negara dalam maju di kontentasi Kepala daerah dan tidak ditindak lanjuti itu akan menjadi lemah, untuk itu perlu ada mekanisme pelamaran khusus bagi pemilih perempuan. Ibu-ibu paling mudah dalam kena politik uang,” jelasnya.
“ Soal wacana yang berkembang dalam diskusi ini tentang harus ada desk pengaduan, kalau menurut saya ini bagus dan harus ada pengaduan berbasis gender. Jadi harus ada tindak lanjut terhadap kampanye negatif terhadap pemimpin perempuan,” jelasnya.
Dilain sisi, Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, menilai sudah tidak relevan lagi melabelkan Aceh sebagai daerah rawan konflik menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
"Sudah tidak layak dan tidak pantas Aceh dilabelkan sebagai daerah rawan dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi, baik Pemilu maupun Pilkada. Label ini seharusnya dicabut dan dihilangkan oleh institusi pemerintah pusat," tegas Aryos dalam diskusi tersebut.
Kegelisahan Aryos muncul menyusul berbagai pernyataan dari pejabat tinggi negara. Mulai dari Panglima TNI hingga pernyataan Gubernur Lemhannas dalam rapat bersama Komisi I DPR pada 13 November 2024, yang menyebutkan adanya kerawanan dan kerentanan tinggi di Aceh berdasarkan data dari Bawaslu, BSSN, BAIS TNI, dan Polri.
Menurut Aryos, meskipun Aceh memiliki sejarah konflik selama lebih dari tiga dekade, data empiris menunjukkan perkembangan positif dalam pelaksanaan demokrasi di wilayah tersebut.
"Memang benar, transisi dari konflik ke damai di awal pelaksanaan Pilkada Aceh diwarnai tindak kekerasan, pembakaran, dan pengemboman pada Pilkada 2006 dan 2012. Namun, Pilkada 2017, Pemilu 2019, hingga Pemilu 2024 telah berlangsung sukses dengan tingkat partisipasi yang tinggi," jelasnya.
Ia menambahkan, reproduksi narasi konflik yang terus-menerus justru dapat berdampak buruk bagi citra Aceh sebagai suatu daerah yang membangun pasca konflik guna mengejar ketertinggalan dengan provinsi lain. Terlebih, menurutnya, sering terjadi pencampuradukkan antara kasus kriminalitas dengan kerawanan politik yang sebenarnya merupakan dua hal berbeda.
"Ada kecenderungan dari pihak tertentu yang ingin membangun narasi seolah-olah ada masalah besar dalam pelaksanaan Pilkada. Narasi ini bisa digunakan sebagai justifikasi untuk penolakan hasil Pilkada nantinya," ungkap Aryos.
Untuk menyukseskan Pilkada 2024, Aryos menekankan pentingnya partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk para calon kepala daerah dan masyarakat.
"Pilkada Aceh 2024 harus menjadi contoh baik bagi daerah lain. Proses demokrasi yang sukses harus mencerminkan kehendak rakyat dan menjaga kedamaian," jelasnya.
Menanggapi situasi ini menurut Aryos, diperlukan komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menghindari stigmatisasi yang dapat merugikan citra daerah.
“Keberhasilan pelaksanaan pemilu dan pilkada sebelumnya seharusnya menjadi bukti bahwa Aceh telah berhasil mentransformasi diri menjadi wilayah yang kondusif bagi berlangsungnya proses demokrasi,” pungkasnya. *Baga