Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Catatan Kecil Denyut Nadi Aceh Tahun 2022

Catatan Kecil Denyut Nadi Aceh Tahun 2022

Sabtu, 31 Desember 2022 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM- Masa lalu akan menjadi sejarah dan kenangan. Semuanya akan berlalu dan kita tidak mungkin untuk tetap bersama masa lalu. Dalam hitungan jam, tahun 2022 tidak lama lagi akan meninggalkan kita.

Lembaran baru di tahun depan akan kita ukir, tentunya semua berharap apa yang sudah baik dilakukan pada tahun ini, tahun depanya akan semakin baik. Apa yang kurang dan masih harus diperbaiki pada tahun 2022, kiranya di tahun 2023 nanti, pengalaman pahit itu tidak terulang kembali.

Di negeri ujung barat Pulau Sumatera, juga ada secuil catatan penting tentang akhir perjalanan tahun 2022. Dari seluruh sisi kehidupan manusia, tidak semuanya mampu dirangkum untuk diuraikan dalam tulisan ini.

Dialeksis.com merangkum beberapa catatan yang sudah terdata, apa sejarah yang sudah diukir di bumi Aceh dalam kurun waktu 2022. Rangkuman catatan ini masih banyak kurangnya, karena belum sepenuhnya data didapatkan.

Untuk itu, Dialeksis.com mengurai sekilas catatan yang ada. Baik itu pertumbuhan ekonomi, perkembangan hukum, korupsi, layanan publik, persoalan HAM, serta beragam persoalan lainya.

Kita mulai dari catatan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). Organisasi masyarakat sipil yang berperan dalam advokasi kebijakan publik dan pemberantasan korupsi.

Menurut Koordinator MaTA, Alfian, soal pemberantasan pemberantasan tindak pidana korupsi di Aceh yang masih dalam koridor tidak baik-baik saja.

“Masih banyak kasus yang menjadi atensi publik dan belum dapat diselesaikan sesuai dengan harapan publik,” ujar Alfian.

Mangkraknya kasus korupsi yang belum sepenuhnya teratasi oleh penyidik menjadi titik lemah yang harus menjadi perhatian bersama. Meskipun terdapat klarifikasi-klarifikasi yang diungkapkan ke publik, akan tetapi dengan jangka waktu yang sangat lama itu masih belum mampu terselesaikan.

“Saya pikir ini penting sekali menjadi perhatian bersama bahwasanya penegakan hukum terhadap kasus kejahatan luar biasa atau kasus korupsi ini belum pada kondisi baik-baik saja, khususnya di Aceh,” tegas Alfian.

Di samping itu, menyangkut dengan tata kelola pemerintahan, korupsi di Aceh menurut Alfian masih cukup masif terjadi. Walaupun ada upaya-upaya pencegahan seperti diketahui melalui seminar-seminar, akan tetapi belum ada langkah kongkret yang dilakukan.

“Pemerintah Aceh sendiri pada hari ini belum ada upaya secara kongkret untuk bagaimana melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Korupsi yang paling besar itu ada di sektor pengadaan barang dan jasa,” ungkap Alfian.

Makanya, tegas Alfian, butuh langkah kongkret untuk penindakan korupsi di Aceh. Pencegahan korupsi tak cukup dengan omongan komimen-komitmen semata, tetapi harus ada langkah nyata yang berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.

“Selain di sektor pengadaan barang dan jasa, sektor bantuan dana hibah dan bantuan sosial lainnya juga kerap jadi ladang korupsi. Ini menjadi tanggungjawab kita bersama dan sekaligus menjadi catatan MaTA untuk terus kami dorong supaya ada perbaikan sistem dan ada langkah tegas yang perlu dilakukan,” ucapnya.

Di sisi lain, hal yang tak kalah menarik dari catatan MaTA ialah politisi dari partai politik yang ada di Aceh didorong untuk memberikan kontribusi nyata dalam penanganan terhadap pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi.

“Kita berharap bahwa politisi di Aceh maupun parpol ini jangan dianggap sebagai bagian dari pemberi kontribusi terjadinya kemiskinan dan terjadinya kebodohan di Aceh saat ini,” sebut Alfian.

Bagaimana dengan KontraS? Selama tahun 2022, banyak hal yang telah dilakukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh.

KontraS Aceh adalah organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu hak asasi manusia dan juga isu pemenuhan hak korban.

Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menyatakan, selama tahun 2022 ada beberapa kegiatan yang dilakukan dan membekas dalam ingatan.

Catatan KontraS Aceh: Pertama, kegiatan paling terkini dari KontraS Aceh adalah penanganan pengungsi Rohingya yang sudah berkali-kali terdampar di Aceh.

Menurut Husna, belajar dari pengalaman terakhir, pihaknya berharap agar dihadirkan mekanisme khusus untuk penanganan pengungsi Rohingya.

Kedua, KontraS Aceh juga mengapresiasi reparasi mendesak yang sudah diberikan kepada 245 korban pelanggaran HAM masa lalu. Pihaknya mendesak agar pemerintah memiliki juga peraturan terkait rekomendasi dan pemberian reparasi bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.

Ketiga, soal polemik kasus rumah ibadah baik di Bireuen maupun di Singkil. KontraS Aceh mendorong agar polemik agama ini bisa segera diselesaikan dengan baik.

Keempat, KontraS Aceh bersama organisasi masyarakat sipil lainnya yang juga bekerja untuk advokasi Revisi Qanun Jinayah. Desakan agar Pasal 47 dan Pasal 50 terkait pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak dalam Qanun Jinayah. Dalam draft terakhir kemarin tidak dilakukan penghapusan tetapi penambahan hukuman.

“Kita berharap semoga akan ada peraturan terkait kekerasan seksual terhadap anak dan kekerasan seksual yang komprehensif. Dalam revisi ini terkait pemulihan korban masih belum menjadi fokus,” sebutnya.

Adapun untuk tahun 2023, akan ada beberapa hal yang menjadi fokus kerja KontraS Aceh ke depan, diantaranya mengenai Revisi Qanun Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

“KontraS Aceh masuk ke dalam kelompok organisasi masyarakat sipil yang juga akan ikut menyumbang pokok-pokok pikiran untuk diberikan kepada Pemerintah Aceh terkait Revisi RTRW dan juga Revisi UUPA,” pungkasnya.

Petumbuhan ekonomi

Bagaimana pertumbuhan ekonomi di Aceh pada tahun 2022? Dialeksis.com sedikit mengambarkanya, berdasarkan data Badan Pusat statistic Aceh.

Perekonomian Aceh Triwulan III 2022 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp53,44 triliun dengan migas dan tanpa migas adalah sebesar Rp49,82 triliun.

Sementara itu PDRB atas harga konstan dengan migas adalah sebesar Rp35,14 triliun dan tanpa migas adalah sebesar Rp33,42 triliun.

Ekonomi Aceh dengan migas triwulan III-2022 terhadap triwulan II-2022 (q-to-q) tumbuh sebesar 1,72 persen. Sementara pertumbuhan q-to-q triwulan III-2022 tanpa migas adalah sebesar 1,78 persen.

Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha konstruksi sebesar 18,54 persen. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi ada di komponen ekspor barang dan jasa luar negeri yaitu sebesar 3,99 persen.

Ekonomi Aceh dengan migas triwulan III-2022 bila dibandingkan triwulan III2021 (y-on-y) mengalami pertumbuhan sebesar 2,13 persen. Sementara y-on-y tanpa migas mengalami pertumbuhan sebesar 2,72 persen.

Dari sisi produksi pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan dan minum sebesar 51,08 persen. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi ada di komponen ekspor barang dan jasa luar negeri, yaitu mencapai 60,41 persen.

Ekonomi Aceh triwulan I s.d III-2022 terhadap triwulan I s.d III-2021 (c-to-c) tumbuh sebesar 3,23 persen dengan migas, sementara tanpa migas tumbuh sebesar 2,54 persen.

Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan dan minum sebesar 43,76 persen. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi ada di komponen komponen impor barang dan jasa luar negeri sebesar 88,42 persen

Untuk lebih jelas dan detil tentang pertumbuhan ekonomi Aceh menurut PDRB, lapangan kerja dan pertumbuhan setiap tri wulanya, silakan klik link Badan Pusat Statistik Aceh.

Komisi Informasi Aceh dan Pengadilan

Selama tahun 2022, Komisi Informasi Aceh (KIA) telah menyelesaikan 48 sengketa informasi publik. Hal itu diungkapkan Ketua KIA, Arman Fauzi dalam catatan akhir tahun lembaga yang dipimpinnya.

Komisi Informasi Aceh (KIA) telah hadir sejak 10 tahun lalu. KIA merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik KIA dibentuk sejak pertengahan tahun 2012.

Di usia yang baru 10 tahun, berbagai terobosan telah dilakukan, tentunya dengan memperhatikan fungsi tugas dan wewenang dari KIA. Organisasi ini diberi tugas untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa informasi melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Untuk Aceh, sejak Januari hingga Desember 2022, KIA telah menerima 32 permohonan penyelesaian sengketa informasi dari berbagai pihak. Baik yang berbadan hukum dalam bentuk yayasan, kelompok orang, maupun permohonan dalam kapasitas individu atau perorangan.

KIA sudah menjalankan tugasnya dalam penyelesaian sengketa melebihi jumlah permohonan yang masuk pada tahun 2022 ini.

Tahun ini sebanyak 48 Sengketa telah selesai diputus oleh Majelis Komisioner di KIA, diantaranya 29 sengketa melalui putusan Ajudikasi Nonlitigasi, 15 sengketa melalui mediasi, dan 4 sengketa atau register dinyatakan ditutup melalui penetapan karena permohonan dicabut oleh pemohon.

Di samping menjalankan penyelesaian sengketa informasi publik, KIA telah melaksanakan Monitoring dan Evaluasi (Monev) keterbukaan informasi di badan publik tingkat provinsi.

Kegiatan Monev ini melibatkan 134 badan publik, namun hingga batas waktu yang ditentukan, hanya 77 badan publik yang mengembalikan kuisioner untuk selanjutnya diverifikasi oleh tim Monev KIA.

Hasil Monev tahun ini mengalami peningkatan signifikan hampir dua kali lipat. Terdapat 19 badan publik yang memperoleh kualifikasi informatif (kualifikasi tertinggi), angka ini lebih tinggi dari tahun lalu di mana hanya 10 badan publik yang informatif.

Layanan informasi publik diharapkan tidak hanya di lingkungan badan publik, tetapi juga di tingkat provinsi dan kabupaten. KIA bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Aceh (DPMG Aceh), Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Aceh (Diskominsa) serta Tenaga Profesional Pendamping Desa di Aceh terus meningkatkan sosialisasi kepada seluruh gampong yang ada di Aceh.

Tahun ini, ada 20 gampong di Aceh telah dilakukan pendampingan dan Monev oleh tim bersama yang terdiri dari KIA, DPMG Aceh, Diskominsa dan Tenaga Profesional Pendamping Desa tingkat Provinsi.

Bagaimana dengan Pengadilan Tinggi Banda Aceh (PT BNA)? Sebagai Pengadilan Tingkat Banding yang juga menaungi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), mengalami peningkatan dalam jumlah perkara yang diterima dan diadili, bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Menurut data Humas PT Banda Aceh, persentase peningkatan itu tergambar jelas. Bila tahun 2019, perkara Tipikor yang telah diperiksa dan belasan jumlahnya yang diputuskan ada 17 perkara.

Kemudian tahun 2020 meningkat menjadi 25 perkara, disusul jumlah yang tidak kalah jauh pada tahun 2021 dengan 23 perkara, dan terakhir hingga penghujung Desember 2022 telah terakumulasi sebanyak 38 perkara.

“Jumlah perkara terus bertambah hingga ke jumlah puluhan hingga akhir tahun 2022, dengan jumlah terbanyak yang kami temui selama empat tahun terakhir.” ungkap Dr. Taqwaddin, Humas PT Banda Aceh yang juga Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor, dalam keteranganya kepada media.

Taqwaddin menjelaskan, memperhatikan jumlah perkara yang signifikan ini patut menjadi perhatian sehubungan dengan bertambah maraknya kasus rasuah di bumi Aceh.

Meningkatnya perkara korupsi, berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap perorangan dari institusi yang melakukan korupsi, apalagi kejahatan tersebut menciptakan ketidakadilan yang mengorbankan masyarakat, jelasnya.

Itulah gambaran sekilas catatan, sebagian kecil sendi kehidupan di Aceh yang tergambar pada tahun 2022. Masih banyak catatan lainya yang belum Dialeksis.com urai ke publik, catatan itu kini sedang dikumpulkan datanya.

Semoga catatan kecil ini memberikan gambaran bagaimana sisi sebagian penghidupan manusia di Aceh, dan apakah pada tahun depan ada perubahan perbaikan? **** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda