Minggu, 13 Juli 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Bahasa Aceh Terancam Punah, Siapa yang Peduli?

Bahasa Aceh Terancam Punah, Siapa yang Peduli?

Jum`at, 11 Juli 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi bahasa Aceh terancam punah. Foto: Kreatif Dialeksis

DIALEKSIS.COM | Dialektika - Bahasa Aceh kini menghadapi ancaman serius terhadap kelestariannya. Penelitian terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa bahasa Aceh berstatus “definitely endangered” menurut kriteria UNESCO. Dalam skala vitalitas 0 - 5, posisi bahasa Aceh berada di level 3, yang berarti masih digunakan sebagian komunitas namun mulai tergerus penggunaannya di ranah publik. Indikator ini tercermin dari penurunan signifikan penutur aktif, terutama di kalangan generasi muda.

Banyak keluarga Aceh masa kini lebih sering berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia, bahkan di rumah sendiri, sehingga transmisi bahasa ibu ke anak mulai terputus. Fenomena ini membangkitkan keprihatinan berbagai kalangan di Aceh mulai dari akademisi, budayawan, hingga tokoh politik yang angkat bicara agar semua pihak bergerak sebelum terlambat.

Sebagai provinsi yang kaya budaya, Aceh memiliki tanggung jawab besar menjaga warisan bahasanya. Kepunahan sebuah bahasa bukan sekadar hilangnya alat komunikasi, tetapi juga lenyapnya identitas, sejarah, dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.

“Jika bahasa punah, maka kita kehilangan lebih dari sekadar kata - kata. Kita kehilangan budaya, jati diri, dan sejarah peradaban kita,” ungkap Farhan, salah satu tokoh Aceh, dengan nada prihatin kepada Dialeksis. Data BRIN ini pun telah menjadi alarm peringatan bagi masyarakat Aceh. Berikut ini dialektika pendapat dan solusi dari empat narasumber Herman RN, Ahmad Farhan Hamid, Dr. Teuku Afifuddin, dan Din Saja mengenai upaya menyelamatkan bahasa Aceh dari jurang kepunahan.

 Di Mana Peran Negara?

Herman RN budayawan sekaligus dosen bahasa di FKIP Universitas Syiah Kuala “ menegaskan bahwa temuan BRIN bukanlah hal mengejutkan, karena sinyal kepunahan bahasa daerah sudah lama terlihat. Yang ia soroti justru kelalaian pemerintah dalam merespons situasi ini.

“Apa yang diungkap BRIN bukan hal baru. Pertanyaannya di mana peran negara? Selama ini, pemerintah tidak serius menjadikan bahasa Aceh sebagai muatan lokal wajib. Qanun Nomor 10 Tahun 2022 tentang Bahasa Aceh pun hanya simbolis. Coba lihat, ada berapa toko atau jalan di Aceh yang menggunakan nama dalam bahasa Aceh?” tegas Herman RN.

Qanun yang ditetapkan akhir 2022 tersebut sejatinya bertujuan melindungi dan mengembangkan bahasa Aceh, namun implementasinya di lapangan dirasa masih minim. Contoh konkrit, menurut Herman, dapat dilihat dari penamaan ruang publik yang jarang menggunakan bahasa Aceh, menandakan kurangnya upaya nyata menjadikan bahasa ini “berdaya” di negerinya sendiri.

Lebih lanjut, Herman RN menguraikan sejumlah faktor yang mempercepat kemunduran bahasa Aceh. Pernikahan antarsuku, migrasi penduduk, dan dominasi media berbahasa Indonesia disebutnya sebagai katalis yang mengikis jumlah penutur aktif.

“Media lokal di Aceh hampir tak ada yang konsisten menggunakan bahasa Aceh,” ujarnya, menggambarkan betapa ruang publik di Aceh kini lebih didominasi Bahasa Indonesia. Dalam pandangannya, bahasa Aceh perlahan terdesak ke pinggiran, hanya dipertuturkan oleh komunitas terbatas dan jarang sekali muncul di forum-forum resmi maupun media massa.

Herman juga memberikan kritik tajam terhadap sikap lembaga riset yang terkesan hanya memberikan prediksi tanpa aksi nyata. BRIN, menurutnya, jangan hanya membunyikan alarm kepunahan tanpa solusi konkrit. 

“BRIN sendiri juga harus introspeksi. Jangan hanya meneliti untuk menyatakan ‘bahasa ini akan punah’, tapi apa solusi konkret mereka? BRIN punya pusat riset di setiap provinsi, tapi kerja mereka tidak terasa di lapangan,” kritiknya pedas.

Ia menyayangkan lemahnya program pendokumentasian dan revitalisasi oleh lembaga terkait. Seharusnya, jika memang khawatir bahasa Aceh punah, langkah-langkah seperti merekam penutur lansia, menyusun kamus digital, hingga program dwibahasa di sekolah sudah dijalankan sejak dulu. “Jangan hanya jadi tukang prediksi kepunahan,” ujarnya dengan nada menyindir.

Tak lupa, Herman RN menyoroti lemahnya political will pemerintah daerah. Menurutnya, pembangunan fisik di Aceh tidak diimbangi dengan pembangunan identitas budaya.

“Negara sibuk dengan pembangunan infrastruktur, tapi abai membangun identitas budaya. Bahasa Aceh bisa bertahan 100 tahun lagi atau punah lebih cepat, tergantung keseriusan semua pihak. Tapi selama kebijakan hanya sekadar proyek pencitraan, jangan harap ada kemajuan,” tandasnya penuh kekecewaan.

Bagi Herman, inisiatif-inisiatif pemerintah masih sering bersifat seremonial belaka tanpa dampak berkelanjutan. Ia memberi contoh, program bahasa Aceh di sekolah ada namun sekadar pelengkap kurikulum “ belum menjadi bagian hidup sehari-hari siswa.

Herman memprediksi, tanpa intervensi nyata, bahasa Aceh berpotensi hilang dalam 2-3 generasi mendatang. Padahal, hilangnya bahasa berarti turut hilangnya khazanah pengetahuan lokal Aceh. 

“Kepunahan bahasa bukan sekadar kehilangan kosakata, melainkan runtuhnya kearifan lokal, sejarah, dan identitas masyarakat Aceh,” ujarnya prihatin.

Oleh sebab itu, Herman RN mendesak alarm bahaya ini segera diubah menjadi aksi nyata. “Tantangan BRIN dan pemerintah kini adalah mengubah alarm bahaya menjadi aksi nyata sebelum segalanya terlambat,” tutupnya mengakhiri pendapat.

Pesan Herman jelas: dibutuhkan gerak cepat, terpadu, dan berkelanjutan dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat agar bahasa Aceh tetap hidup.

Membangun Kebijakan dan Kelembagaan Bahasa

Ahmad Farhan Hamid tokoh Aceh yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR RI menyambut baik meningkatnya kepedulian terhadap isu ini. Menurut Farhan, data BRIN yang menyatakan bahasa Aceh terancam punah harus menjadi momentum “kebangkitan” gerakan pelestarian.

 “Ini bukan sekadar data, ini adalah peringatan serius bagi kita semua,” ujarnya menegaskan.

Ia sepakat bahwa gejala pergeseran bahasa di Aceh nyata adanya, disebabkan oleh perubahan pola komunikasi keluarga, pengaruh globalisasi, hingga minimnya pewarisan bahasa dari generasi tua ke generasi muda.

Farhan mencatat banyak orang tua muda di Aceh kini justru lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing saat berbicara dengan anak, akibatnya anak tak lagi terbiasa mendengar apalagi menggunakan bahasa Aceh sejak dini. “Ini realita yang harus kita ubah,” ujarnya singkat.

Dari sisi kebijakan, Farhan Hamid mendorong adanya langkah-langkah strategis di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ia merekomendasikan pembentukan lembaga otoritatif semacam Majelis atau Dewan Bahasa Aceh yang berada langsung di bawah Wali Nanggroe atau Gubernur Aceh.

Lembaga ini, dengan cabang di setiap kabupaten/kota, diharapkan dapat menjadi motor koordinasi pelestarian bahasa daerah di seluruh Aceh. “Upaya penyelamatan bahasa Aceh perlu wadah resmi agar programnya berkesinambungan dan terpantau,” kata Farhan.

Melalui majelis bahasa tersebut, standar ejaan, kosakata, hingga program revitalisasi bisa digodok dan dijalankan dengan dukungan pemerintah daerah setempat.

Farhan juga menyoroti pentingnya kebijakan pendidikan untuk mendukung pelestarian. Ia merekomendasikan agar bahasa-bahasa lokal di Aceh, termasuk Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, dll., dimasukkan ke kurikulum muatan lokal di sekolah.

“Ini penting agar anak-anak akrab dengan bahasa ibu masing-masing sejak bangku sekolah,” ujarnya, sejalan dengan rekomendasi Pra Kongres Peradaban Aceh 2015 lalu.

Farhan menjelaskan, muatan lokal bahasa daerah cukup diajarkan sesuai wilayah misal di wilayah pesisir diajarkan bahasa Aceh, di dataran tinggi bahasa Gayo, dan seterusnya. Dengan demikian, generasi muda tumbuh dengan landasan bahasa ibu yang kuat dan tidak malu menggunakan bahasa lokal dalam pergaulan sehari - hari.

Lebih jauh, Farhan Hamid mengusulkan serangkaian kebijakan afirmatif: hari berbahasa Aceh sekali sepekan dan penggunaan bahasa Aceh dalam acara-acara resmi tertentu. 

“Perlu dicanangkan satu hari dalam seminggu sebagai hari berbahasa lokal di instansi pemerintah,” ujarnya, sebagaimana telah diterapkan di beberapa daerah lain.

Usulan ini bukan tanpa preseden Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, misalnya, baru-baru ini mengeluarkan edaran yang mewajibkan pegawai negeri berbicara dalam bahasa Aceh setiap hari Kamis.

“Mulai hari Kamis, seluruh ASN Aceh Besar kita wajibkan menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Kita harap di sekolah pun demikian, agar anak-anak tidak kehilangan jati diri budayanya,” demikian penjelasan Farhan tentang kebijakan di Aceh Besar tersebut. Langkah seperti ini, menurut Farhan Hamid, patut dicontoh dan diperluas cakupannya di tingkat provinsi.

Tak kalah penting, ia mendorong payung hukum yang kuat. “Kita perlu Qanun atau peraturan gubernur sebagai landasan hukum pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal di Aceh,” tegas Farhan.

Qanun tersebut akan memperkuat posisi bahasa Aceh dan bahasa daerah lain, misalnya dengan mengatur kewajiban penggunaan bahasa Aceh pada papan nama instansi, ruang publik, dan acara adat. Selain itu, Farhan merekomendasikan agar perguruan tinggi di Aceh membuka program studi khusus bahasa dan sastra Aceh.

Langkah ini akan melahirkan tenaga ahli dan pendidik bahasa Aceh yang kompeten, sekaligus memperkaya kajian ilmiah mengenai bahasa daerah. 

“Kita butuh jurusan bahasa Aceh di universitas, supaya ada generasi yang memang terlatih mengajarkan dan mengembangkan bahasa kita,” ujarnya.

Farhan Hamid juga menekankan pentingnya dokumentasi dan literasi. Ia menyarankan pembuatan kamus bahasa Aceh dalam bentuk cetak maupun digital, termasuk penyusunan ensiklopedia Aceh yang memuat khazanah budaya-bahasa Aceh.

“Kamus dan ensiklopedia itu semacam warisan tertulis. Kelak generasi muda bisa belajar kosa kata dan budaya Aceh dengan referensi yang terpercaya,” katanya.

Menurut Farhan, upaya pendokumentasian ini harus dibarengi program kreatif agar bahasa Aceh membumi di era digital. Misalnya, pembuatan aplikasi belajar bahasa Aceh, konten media sosial berbahasa Aceh, hingga lomba-lomba kreativitas (cerita pendek, vlog, stand-up comedy) dalam bahasa Aceh. Inovasi-inovasi tersebut dapat menarik minat generasi muda, sehingga mereka melihat bahasa Aceh relevan dengan kehidupan modern.

Pada intinya, Farhan Hamid percaya pelestarian bahasa Aceh adalah tanggung jawab kolektif. “Pelestarian bahasa Aceh tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak. Ini tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.

Pemerintah, akademisi, seniman, media, komunitas, hingga keluarga di rumah harus bergerak serentak. Farhan mengajak semua elemen bersinergi: pemerintah menyediakan regulasi dan dukungan anggaran, sekolah dan kampus mengintegrasikan dalam pendidikan, komunitas budaya menggerakkan kegiatan bahasa, media memberi ruang siar, serta orang tua membiasakan di rumah.

“Kalau semua bergerak bersama, bahasa Aceh insyaAllah bisa kita selamatkan,” pungkasnya optimis. Ia berharap langkah-langkah yang ia usulkan dapat segera diwujudkan, sehingga hasil penelitian BRIN ini menjadi titik balik kebangkitan upaya pelestarian bahasa dan budaya Aceh.

Kolaborasi Berbasis Data dan Aksi Nyata

Perspektif berikutnya datang dari Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn., Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA) yang juga akademisi seni di ISBI Aceh. Teuku Afifuddin menyoroti pentingnya pendekatan berbasis data dalam merumuskan kebijakan pelestarian bahasa. Menurutnya, berbagai riset tentang vitalitas bahasa Aceh seharusnya menjadi acuan pemerintah dalam bertindak.

“Pemerintah kita belum terbiasa bekerja berdasarkan data. Dengan adanya pemerintahan baru, kita berharap Aceh ke depan dibangun berdasarkan data. Setiap program dari setiap dinas harus berbasis riset. Banyak hasil penelitian yang sudah ada, tetapi belum dimanfaatkan oleh pemerintah,” tegas Afifuddin.

Pernyataan ini mencerminkan kritiknya bahwa selama ini banyak kebijakan budaya hanya bersifat populis tanpa landasan kajian mendalam, sehingga kurang efektif. Ia mendorong agar hasil-hasil penelitian dari BRIN, Balai Bahasa, maupun kampus-kampus di Aceh mengenai bahasa daerah segera diimplementasikan dalam bentuk program nyata oleh dinas terkait.

Sebagai seniman dan budayawan, Teuku Afifuddin mengaku mengamati langsung pergeseran penggunaan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Ia menceritakan pengalaman pribadinya saat berbelanja di sebuah gerai waralaba di Banda Aceh.

“Ketika saya menggunakan bahasa Aceh untuk berkomunikasi dengan kasir atau pelayan toko, mereka justru menjawab dalam Bahasa Indonesia dengan logat Aceh,” tuturnya.

Hal ini berbeda dengan pengalamannya di daerah lain, seperti Sumatra Barat atau Jawa. “Di Minang dan Jawa, kalau kita ke toko pakai Bahasa Indonesia, mereka menjawab pakai bahasa daerah mereka sampai kita bilang tidak bisa bahasa daerah, barulah mereka pakai Bahasa Indonesia,” ujarnya membandingkan.

Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa di Aceh, penggunaan bahasa Aceh tidak lagi otomatis dalam interaksi sehari-hari, bahkan di kalangan generasi muda yang bekerja di layanan publik.

Afifuddin melihat fenomena ini sebagai tanda bahwa pola komunikasi masyarakat Aceh telah bergeser, dimana Bahasa Indonesia lebih dominan bahkan dalam konteks lokal. Generasi muda Aceh, terutama di perkotaan, disebutnya makin jarang menggunakan bahasa Aceh dalam percakapan biasa. Jika dibiarkan tanpa langkah konkret, Afifuddin mengkhawatirkan kemunduran bahasa Aceh akan berlangsung lebih cepat daripada yang diperkirakan.

Dalam pandangan Teuku Afifuddin, tugas pemerintah tak cukup hanya mengakui hasil riset, tetapi harus proaktif mencari solusi dan menjalankannya.

“Pemerintah bertanggung jawab atas kondisi daerah dan masyarakatnya, termasuk dalam menjaga kelangsungan bahasa Aceh,” tambahnya.

Ia memuji inisiatif-inisiatif yang telah ada, misalnya program Revitalisasi Bahasa Daerah oleh Kemendikbudristek yang tahun lalu memberi penghargaan kepada Pemkab Aceh Besar.

Namun, Afifuddin menekankan perlunya langkah yang lebih terpadu di level daerah. Beberapa solusi konkret yang ia tawarkan antara lain: memasukkan bahasa Aceh dalam kurikulum sekolah secara formal, mengadakan program-program berbasis komunitas (seperti perlombaan pidato/puisi Aceh, kursus bahasa Aceh di gampong-gampong, dsb.), serta memanfaatkan media massa dan digital sebagai sarana pelestarian.

“Bahasa Aceh sebaiknya hadir juga di ruang-ruang kreatif anak muda “ entah itu di radio, televisi lokal, YouTube, podcast, hingga konten TikTok,” ujarnya memberi contoh. Dengan dukungan pemerintah, ia yakin komunitas kreator lokal bisa dilibatkan untuk menghasilkan konten berbahasa Aceh yang menarik generasi milenial dan Gen-Z.

Teuku Afifuddin juga mengingatkan bahwa pelestarian bahasa adalah kerja jangka panjang. Hasilnya mungkin tidak instan, namun harus dimulai sekarang.

“Jika tidak ada langkah nyata, dalam beberapa dekade mendatang, bahasa Aceh hanya akan menjadi bahasa pasif yang tidak lagi digunakan dalam komunikasi sehari-hari,” katanya penuh kekhawatiran.

Bahasa pasif yang ia maksud adalah bahasa yang mungkin masih dikenal orang (dipahami pasif), tetapi nyaris tak pernah diucapkan lagi dalam percakapan nyata. Agar prediksi suram itu tidak terjadi, kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan.

“Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam upaya menjaga bahasa Aceh tetap hidup di tengah perkembangan zaman,” jelas Afifuddin.

Selanjutnya dirinya menegaskan, persoalan ini merupakan masalah yang sangat serius. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu segera membentuk tim khusus untuk menghimpun data dan merumuskan solusi yang tepat. Tim ini sebaiknya terdiri dari lembaga-lembaga yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 114 Tahun 2012 tentang Strategi Pemajuan Kebudayaan.

Lembaga yang dimaksud antara lain adalah Majelis Adat Aceh, Dewan Kesenian, serta komunitas seni dan budaya. Selain itu, Majelis Pendidikan Aceh, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang membidangi pendidikan dan kebudayaan khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh perlu dilibatkan secara aktif.

Dengan pembentukan tim ini, diharapkan penyusunan program kerja kebudayaan tidak hanya berfokus pada kegiatan hiburan atau event semata, melainkan benar-benar menyentuh substansi pelestarian dan pemajuan budaya daerah secara menyeluruh.

Sebagai Ketua DKA, Afifuddin berkomitmen menjembatani para seniman dan budayawan dengan pemerintah. Ia berencana mendorong program seperti festival sastra Aceh, lomba penulisan cerita rakyat Aceh, hingga penerbitan ulang hikayat-hikayat Aceh klasik dengan terjemahan. Baginya, pelestarian bahasa dapat berjalan beriringan dengan pelestarian seni.

“Bahasa Aceh adalah aset budaya,” ujarnya dalam suatu workshop, menekankan bahwa bahasa daerah seharusnya dipandang sebagai kekayaan yang bisa diberdayakan.

Afifuddin percaya, bila seluruh elemen masyarakat menyadari nilai penting bahasa Aceh dan bergerak berdasarkan data serta kreativitas, maka bahasa Aceh akan mampu bertahan bahkan berkembang di tengah arus modernisasi.

Menghidupkan Bahasa lewat Kearifan Seni dan Komunitas

Din Saja seorang penyair, seniman, dan budayawan Aceh turut bersuara mengenai isu ini dengan perspektif yang unik. Dikenal juga dengan nama Ade Soekma atau Fachruddin Basyar, Din Saja selama ini aktif menggerakkan komunitas seni dan literasi di Aceh.

Ia memandang bahasa Aceh dan kesenian Aceh sebagai dua hal yang tak terpisahkan. “Puisi, syair, dan hikayat Aceh itu bukan sekadar karya seni, tetapi warisan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dan sejarah,” ujarnya.

Baginya, di dalam sastra lisan Aceh tersimpan pepatah, petuah, dan identitas kolektif orang Aceh. Oleh karena itu, upaya melestarikan bahasa Aceh bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali sastra dan seni tradisional Aceh. Din Saja sering menggelar diskusi dan pembacaan puisi berbahasa Aceh sebagai cara menularkan kecintaan generasi muda terhadap bahasa ibunya.

Salah satu gagasan yang kerap disuarakan Din Saja adalah pentingnya memasukkan materi seni-budaya Aceh dalam kurikulum pendidikan formal sejak dini.

Dengan demikian, anak-anak Aceh tak hanya belajar bahasa Aceh secara teoretis, tetapi juga menyerap jiwa bahasanya melalui karya seni.

“Jika generasi muda kita mengenal dan memahami kekayaan budaya ini, mereka akan tumbuh dengan identitas yang kuat sebagai anak Aceh,” katanya.

Ia mengusulkan agar di sekolah-sekolah Aceh, pelajaran muatan lokal tidak terbatas pada hafalan kosakata, namun mencakup apresiasi puisi Aceh (poemeura), syair, hikayat, dan cerita rakyat. Metode pembelajaran pun dibuat kreatif, misalnya siswa diminta mementaskan drama berbahasa Aceh atau menulis karangan pendek dalam bahasa Aceh. Literasi budaya dan seni, tegas Din Saja, adalah kunci untuk membuat generasi muda bukan hanya melek huruf, tapi juga melek jati diri.

Dari sisi komunitas, Din Saja melihat banyak ruang di Aceh yang bisa dioptimalkan sebagai wadah berbahasa Aceh. Salah satunya warung kopi sebuah institusi sosial khas Aceh.

Menurut Din, warung kopi sebenarnya berpotensi menjadi “ruang budaya” tempat orang bisa berbicara dalam bahasa Aceh secara santai.

Ia berbeda pandangan dengan sebagian orang yang mengkritik menjamurnya warung kopi. Bagi Din Saja, fenomena warung kopi justru menunjukkan ruang interaksi sosial yang dinamis dalam budaya Aceh.

“Di warung kopi, kita melihat perpaduan tradisi dan modernitas. Tempat orang Aceh peu haba (bercakap-cakap) dari hal remeh sampai serius,” ujarnya.

Ia menyarankan agar komunitas dan pemerintah daerah berkolaborasi mengadakan acara kebudayaan di warung-warung kopi, seperti pojok baca puisi Aceh, diskusi sejarah Aceh, atau lomba cerita berbahasa Aceh. Ide ini sejalan dengan konsep Din Saja bahwa budaya tidak harus selalu di gedung kesenian; ia hidup di tengah masyarakat. “Warung kopi itu pusat diskusi dan lahirnya ide-ide. Kenapa tidak kita manfaatkan untuk melestarikan bahasa Aceh?” tantangnya.

Din Saja dikenal sebagai sosok yang optimistis memandang adaptasi budaya. Ia percaya budaya Aceh, termasuk bahasanya, mampu bertransformasi mengikuti zaman tanpa kehilangan inti jati dirinya.

“Budaya itu tidak statis. Ia terus bergerak dan menemukan bentuk baru,” ujarnya filosofis.

Dengan semangat ini, Din Saja mendorong para budayawan muda Aceh untuk menemukan cara-cara baru memperkenalkan bahasa Aceh ke publik. Misalnya, menciptakan konten musik atau film pendek berbahasa Aceh yang dikemas modern.

Ia mengapresiasi munculnya kreator-kreator muda yang mulai memasukkan unsur bahasa Aceh di kanal YouTube atau Instagram mereka. Langkah kecil seperti ini, menurutnya, bisa berdampak besar menumbuhkan kebanggaan berbahasa Aceh di kalangan milenial.

Kritik terhadap pemerintah juga disampaikan Din Saja, namun dengan nada yang lebih berupa ajakan. Ia berharap pemerintah Aceh lebih memberi ruang dan dukungan pada inisiatif komunitas.

“Bayangkan jika setiap kecamatan punya sanggar bahasa atau sastra Aceh yang aktif, dan pemerintah memfasilitasi pelatihannya. Itu pasti akan sangat membantu,” ujarnya.

Ia mengapresiasi kebijakan resmi seperti Qanun Bahasa Aceh, tapi mengingatkan tanpa dukungan nyata di level akar rumput, qanun tinggal tulisan belaka. Din Saja mendorong Pemda agar mengikutsertakan seniman dan budayawan dalam menyusun program pelestarian. Dengan demikian, program yang dibuat lebih tepat sasaran karena melibatkan pihak yang paham kondisi lapangan. Kolaborasi lintas disiplin juga menurutnya penting: ahli linguistik, seniman, sejarawan, pendidik, tokoh agama semua perlu duduk bersama merancang langkah penyelamatan bahasa Aceh.

“Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pendidik, dan seluruh elemen masyarakat harus diwujudkan,” ucapnya, senada dengan pandangan narasumber lain.

Menutup pendapatnya, Din Saja kembali menekankan urgensi waktu. “Jika kita tidak mulai sekarang, kapan lagi?” katanya retoris.

Ia mengingatkan, setiap detik yang terlewat tanpa aksi adalah hilangnya penutur baru yang semestinya bisa kita ciptakan. “Bahasa Aceh harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar sejarah yang terlupakan,” ujarnya dengan semangat.

Bagi Din Saja, bahasa Aceh bukan sekadar alat komunikasi; di dalamnya mengalir ruh dan jiwa orang Aceh. “Anak-anak kita perlu memahami bahwa puisi, syair, dan hikayat adalah cerminan jiwa Aceh. Ini bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang siapa kita sebagai masyarakat Aceh,” tutupnya mengingatkan.

Pesan tersebut seakan merangkum keseluruhan isu: melestarikan bahasa Aceh sama halnya dengan menjaga marwah Aceh itu sendiri.

Semua Pihak Harus Bergerak

Dari pemaparan keempat narasumber di atas, benang merah yang muncul adalah perlunya keterlibatan aktif semua pihak. Pemerintah Aceh diharapkan mengambil peran lebih serius dengan kebijakan yang implementatif dan berbasis riset.

Lembaga pendidikan perlu membumikan bahasa Aceh dalam kurikulum dan kegiatan sekolah. Komunitas seni-budaya dan media lokal juga punya andil besar menyediakan ruang bagi bernafasnya bahasa Aceh.

Tak kalah penting, keluarga sebagai lingkungan pertama harus kembali membiasakan bahasa Aceh di rumah. Seperti dikatakan Farhan Hamid, pelestarian bahasa daerah adalah tanggung jawab kolektif mustahil berhasil jika hanya dibebankan pada satu-dua institusi.

Meski tantangannya tidak ringan, ada optimisme tersendiri ketika banyak elemen masyarakat Aceh mulai menyadari isu ini. Kesadaran adalah langkah awal perubahan. Data ilmiah sudah memberi peringatan; selanjutnya gerakan nyata yang akan menentukan nasib bahasa Aceh ke depan.

Apakah Aceh mampu menjaga bahasa ibunya tetap hidup di tengah gempuran globalisasi? Suara Herman RN, Farhan Hamid, Teuku Afifuddin, dan Din Saja sepakat bahwa jawabannya ada di tangan kolektif masyarakat Aceh sendiri.

Yang diperlukan kini adalah komitmen dan sinergi: dari tingkat elit pemerintahan hingga akar rumput, bergerak dalam irama yang sama demi satu tujuan menjadikan bahasa Aceh kembali bertutur di tanah Rencong dari generasi ke generasi. Sebab, bila bahasa Aceh selamat, maka identitas dan marwah Aceh pun akan lestari.

“Ini pekerjaan rumah kita bersama. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” ujar para tokoh penuh harap.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI