DIALEKSIS.COM | Bandung - Video Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meninjau pabrik air mineral Aqua Subang mendadak viral di jagat maya. Dalam tayangan berdurasi belasan menit di kanal YouTube pribadinya, Dedi tampak heran sekaligus mempertanyakan sumber air yang digunakan oleh produsen air minum dalam kemasan (AMDK) terbesar di Indonesia itu.
Bukan tanpa alasan. Sejak lama, masyarakat mengenal Aqua sebagai air mineral yang berasal dari sumber mata air pegunungan nan alami. Iklan yang menampilkan percikan air dari tebing dan aliran jernih di lereng gunung telah membentuk imajinasi kolektif bahwa setiap tetes Aqua adalah “air pegunungan murni”. Namun, apa yang dilihat Dedi di lapangan rupanya berbeda dari bayangan itu.
“Saya bukan mau menjatuhkan Aqua, saya pelanggan juga. Cuma kan publik, termasuk saya, mengira Aqua itu ngambil air jatuh dari terjun di gunung. Eh ternyata diambil dari bawah tanah,” kata Dedi dalam video yang diunggah Jumat, 24 Oktober 2025.
Kunjungan itu membawa kejutan. Saat berkeliling pabrik, Dedi menanyakan langsung asal air yang digunakan. Seorang perwakilan perusahaan menjelaskan bahwa air berasal dari titik-titik sumur di sekitar pabrik, bukan dari permukaan atau mata air gunung, melainkan dari lapisan air bawah tanah (akuifer) yang diambil dengan sistem pengeboran.
Dedi pun tampak kaget dan sempat menanyakan potensi dampak lingkungan dari praktik tersebut.
“Ngefek enggak sih buat lingkungan? Atau nunggu longsor?” ujarnya setengah serius.
Sebelum meninggalkan lokasi, Dedi juga menemui warga sekitar. Ia menanyakan apakah masyarakat memperoleh manfaat dari keberadaan pabrik Aqua di wilayah itu. Namun, beberapa warga mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan atau program sosial dari perusahaan.
“Padahal tadi ceritanya bagus banget,” sahut Dedi menanggapi. Ia berjanji akan mengkoordinasikan hal itu dengan pemerintah daerah agar warga mendapat manfaat nyata dari kehadiran pabrik tersebut.
Menanggapi video yang viral itu, PT Tirta Investama (Danone-Aqua) mengeluarkan pernyataan resmi. Perusahaan menegaskan bahwa air yang digunakan bukan berasal dari air tanah dangkal atau sumur bor biasa, melainkan akuifer dalam di wilayah pegunungan yang terlindungi secara alami oleh lapisan batuan kedap air.
“Air ini dilindungi secara alami, bebas dari kontaminasi, digunakan sesuai izin resmi, dan rutin diawasi pemerintah,” kata Enang Noerman Fachjar, Wakil Presiden Bidang Kualitas dan Keamanan Pangan Aqua, melalui akun resmi @sehataqua, Jumat (25/10/2025).
Aqua menyebut seluruh sumber airnya berasal dari 19 titik pegunungan di berbagai daerah Indonesia. Pemilihan sumber air dilakukan dengan sembilan kriteria ilmiah dan lima tahap evaluasi yang memakan waktu minimal satu tahun penelitian, melibatkan tim ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjadjaran (Unpad).
Lapisan akuifer tempat pengambilan air disebut berada di kedalaman 60“140 meter, terlindungi batuan kedap air, dan tidak bersinggungan dengan sumber air warga sekitar.
Dalam penjelasannya, Aqua juga memaparkan bahwa seluruh proses produksi dilakukan secara otomatis tanpa sentuhan tangan manusia, menggunakan pipa stainless steel berkualitas makanan (food-grade). Air yang dialirkan kemudian diuji melalui lebih dari 400 parameter fisika, kimia, dan mikrobiologi, sebelum dikemas dan dipasarkan ke seluruh Indonesia.
Aqua memastikan produk mereka telah memenuhi standar keamanan pangan dari BPOM dan SNI.
Perusahaan menegaskan bahwa seluruh kegiatan pengambilan air dilakukan sesuai izin resmi melalui Surat Izin Pengusahaan Air Tanah (SIPA). Volume air yang diambil dilaporkan secara transparan dan diaudit oleh Badan Geologi dan Kementerian ESDM.
“Manipulasi data tidak diperbolehkan dan diawasi ketat oleh pemerintah,” tulis keterangan resmi Aqua.
Selain itu, Aqua juga mengaku taat membayar pajak air dan retribusi sesuai ketentuan daerah.
Aqua mengklaim memiliki komitmen keberlanjutan melalui program konservasi air berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) di berbagai wilayah Indonesia. Hingga kini, perusahaan menyebut telah menanam lebih dari 2,5 juta pohon, membangun 2.300 sumur resapan, dan membuat 12.000 rorak (lubang resapan biopori).
Program tersebut, kata Aqua, bertujuan “mengembalikan lebih banyak air ke alam dan masyarakat daripada yang diambil.”
Isu yang mencuat dari kunjungan Dedi Mulyadi ini rupanya membuka kembali perdebatan lama tentang transparansi label “air pegunungan” dalam industri AMDK.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam forum Mindialogue CNBC Indonesia mengingatkan publik agar tidak mudah terpedaya oleh label air pegunungan yang terpampang di botol kemasan. Menurutnya, sebagian besar produk air minum kemasan yang beredar di Indonesia berasal dari air tanah, bukan dari sumber air permukaan pegunungan sebagaimana yang diasosiasikan dalam iklan.
“Belum ada satu pun perusahaan air kemasan yang menggunakan air permukaan secara berkelanjutan. Yang disebut air pegunungan itu sebenarnya air tanah,” ujar Hanif, Minggu (25/10/2025).
Ia menegaskan, eksploitasi air tanah secara berlebihan berisiko besar bagi ketersediaan sumber air jangka panjang. “Air tanah sangat sulit pulih. Laju rembesannya hanya sekitar 100 sentimeter per hari, jadi butuh waktu lama untuk kembali,” katanya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai perusahaan wajib bertanggung jawab atas klaim yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ketua YLKI Niti Emiliana menyebut iklan yang menampilkan citra air pegunungan bisa termasuk perbuatan yang dilarang menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
“Pelaku usaha harus bertanggung jawab atas klaim yang dijanjikan. Ini menyangkut itikad baik dalam berbisnis,” kata Niti.
YLKI juga mendorong pemerintah melakukan audit dan peninjauan ulang terhadap izin usaha serta perolehan sumber air perusahaan.
Viralnya video Dedi Mulyadi menjadi semacam momentum publik untuk meninjau ulang relasi antara citra, industri, dan kebenaran lingkungan. Selama ini, masyarakat disuguhi gambaran visual tentang air murni dari pegunungan, padahal realitas teknisnya adalah air dari akuifer dalam yang dibor.
Pertanyaannya kini: sejauh mana konsumen berhak tahu asal usul produk yang mereka konsumsi? Dan sejauh mana korporasi menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan tanggung jawab ekologis?
Di tengah derasnya arus pemasaran dan citra, sikap Dedi Mulyadi menghadirkan dialektika baru tentang kejujuran ekologis dan etika industri air. Bukan semata soal Aqua, tapi tentang bagaimana publik berhak mengetahui dari mana air kehidupan itu berasal.