Beranda / Data / MPR Cabut TAP Terkait Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur: Rekonsiliasi atau Polemik Baru?

MPR Cabut TAP Terkait Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur: Rekonsiliasi atau Polemik Baru?

Minggu, 29 September 2024 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Sidang Paripurna MPR menghasilkan keputusan bersejarah. MPR cabut beberapa TAP penting, termasuk yang terkait Soeharto dan Gus Dur. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mencabut tiga TAP MPR yang terkait dengan tiga mantan presiden Indonesia, yakni Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pencabutan ini dilakukan karena ketiga ketetapan tersebut dianggap mencoreng nama baik mereka terkait tuduhan yang muncul di akhir masa jabatan.

Langkah ini dipandang sebagai upaya negara untuk berdamai dengan masa lalu yang penuh kontroversi, sekaligus membawa Indonesia ke arah rekonsiliasi nasional. Meski begitu, pencabutan ini menimbulkan polemik, terutama terkait polemik masa lalu yang belum sepenuhnya terungkap.

Tiga ketetapan yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Presiden Soekarno, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.

Tuduhan Soekarno Lindungi PKI Tidak Terbukti

TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS Tahun 1967 memuat tuduhan bahwa Soekarno terlibat dalam pengkhianatan negara dengan melindungi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pencabutan ini menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak pernah terbukti secara hukum.

Dalam konteks yuridis, keputusan ini dianggap sebagai langkah yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menegaskan bahwa "setiap orang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum dibuktikan sebaliknya melalui proses hukum."

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno pada 2012, mengakui peran besar Soekarno dalam sejarah Indonesia.

Tuduhan KKN Soeharto Dihapus karena Meninggal Dunia

TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang menyebut nama Soeharto, telah dicabut. Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengatakan bahwa alasan pencabutan tersebut adalah karena Soeharto sudah meninggal dunia, sehingga proses hukum terhadap dirinya dianggap selesai.

Namun, TAP MPR tersebut masih berlaku secara hukum, hanya saja Soeharto dianggap telah menyelesaikan tanggung jawabnya karena wafat. Pencabutan ini dilakukan setelah adanya usulan dari Fraksi Golkar pada September 2024.

Meskipun begitu, TAP ini masih menyisakan polemik, mengingat Soeharto pernah dituduh melakukan pelanggaran HAM dan korupsi selama rezim Orde Baru.

Pemberhentian Gus Dur dalam TAP MPR Tak Berlaku Lagi

TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid kini juga tak berlaku lagi. Pencabutan ini diminta oleh Fraksi PKB, yang menganggap TAP tersebut sudah tidak relevan.

Fraksi PKB berharap bahwa pencabutan ini akan memulihkan nama baik Gus Dur, yang dianggap sebagai tokoh penting dalam proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Gus Dur dikenal memperjuangkan hak asasi manusia dan pluralisme, serta memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas.

Reaksi Pencabutan TAP MPR

Putra Soekarno, Guruh Soekarnoputra, menyambut baik pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS Tahun 1967. Ia mengaku keluarganya telah menunggu lebih dari 57 tahun agar pemerintah merehabilitasi nama baik ayahnya. Guruh menekankan bahwa tuduhan pengkhianatan yang ditujukan kepada Soekarno tidak pernah terbukti.

Di sisi lain, pencabutan TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Soeharto memicu reaksi keras. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut langkah tersebut sebagai penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM pada era Orde Baru. Menurut Usman, pencabutan ini merupakan langkah mundur dalam perjalanan reformasi, mengingat banyaknya kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang belum terungkap.

Usman menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mempersempit ruang bagi masyarakat sipil yang selama ini berjuang melawan korupsi dan pelanggaran HAM. Kasus-kasus seperti peristiwa G30S, penembakan misterius, Tragedi Trisakti, serta berbagai pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur, hingga saat ini belum mendapatkan keadilan.

Dengan pencabutan TAP ini, tampak bahwa perjalanan bangsa menuju rekonsiliasi dan keadilan masih panjang, sementara masa lalu terus menghantui.

Disadur dari artikel: Special Report: Memutihkan Nama Mantan Kepala Negara (okezone.com, 28/09/2024)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda