DIALEKSIS.COM | Jakarta - Banjir bandang dan longsor yang baru-baru ini melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat meninggalkan jejak yang lebih dari sekadar puing dan kerugian materi. Hasil penelusuran redaksi Dialeksis melalui pedoman dan penelitian internasional terkait jamur dan pembersihan pascabanjir (CDC, WHO, EPA, dan tinjauan ilmiah tentang hubungan jamur - respirasi).
Hasilnya menunjukkan satu ancaman pascabanjir yang sering diremehkan namun berbahaya: penumpukan lumpur yang terkontaminasi dan kelembapan yang memicu pertumbuhan jamur. Lumpur bekas banjir tidak hanya membuat akses terganggu lebih berbahaya lagi, ia kerap membawa limbah beracun, bakteri, dan kotoran hewan yang meningkatkan risiko kesehatan publik.
Jamur (mold) tumbuh subur pada kondisi basah dan ada peluang koloni muncul cepat setelah air surut jika bahan basah tidak dikeringkan atau dibuang dalam 24 - 72 jam, spora jamur mulai berkembang dan menyebar ke udara. Kondisi pengungsian yang padat, ventilasi buruk pada tenda atau bangunan sementara, serta material porous yang tetap lembap memperpanjang paparan dan meningkatkan risiko bagi penghuni, terutama anak-anak, lansia, perokok, penderita asma atau PPOK, dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah.
Dampak kesehatan tak selalu langsung terlihat. Paparan jamur berkaitan erat dengan gejala saluran napas (pilek yang tak kunjung reda, bersin, hidung tersumbat), batuk berkepanjangan, mengi, iritasi mata dan kulit, sampai gejala sistemik seperti kelelahan dan sakit kepala pada kasus paparan berkepanjangan.
Studi ilmiah dan laporan pascabencana menunjukkan peningkatan gangguan pernapasan dan eksaserbasi asma di komunitas terdampak banjir menunjukkan hubungan antara kondisi lembap/paparan jamur dan beban penyakit pernapasan. Pada kelompok imunokompromis, paparan berat atau luka terkontaminasi berpotensi berkembang menjadi infeksi jamur yang serius.
Selain masalah kesehatan fisik, lingkungan pengungsian yang lembap memperparah stres pascabencana seperti bau tak sedap, gangguan tidur, hingga penurunan kualitas hidup yang memperlambat pemulihan psikososial. Karena itu, pencegahan dan penanganan jamur harus menjadi bagian integral dari respons bencana bukan sekadar perbaikan fisik bangunan.
Redaksi Dialeksis merangkum langkah-langkah praktis yang dapat mengurangi risiko jamur dan kontaminasi pascabanjir. Langkah-langkah ini selaras dengan panduan kesehatan internasional dan lembaga lingkungan:
• Prioritaskan keselamatan diri: sebelum masuk area terdampak, pastikan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap sarung tangan karet tebal, sepatu bot tahan air, pelindung mata, dan masker respirator (N95 direkomendasikan saat beresiko terpapar debu kering atau spora jamur).
• Keringkan atau buang barang basah dalam 24 - 72 jam: barang porous seperti kasur, karpet, dan papan gypsum yang tetap basah sebaiknya dibuang karena sulit dibersihkan sepenuhnya dan menjadi tempat tumbuh jamur. Mengeringkan bahan-basah secepat mungkin memutus peluang jamur berkembang.
• Bersihkan secara sistematis: mulailah dari permukaan tinggi (dinding pada batas air) turun ke lantai; keluarkan lumpur tebal dengan sekop/papan; cuci permukaan dengan sabun/air bersih sebelum disinfeksi.
• Disinfeksi: setelah pembersihan, gunakan larutan pemutih (campuran pemutih rumah tangga dengan air) untuk menyingkirkan bakteri dan sebagian spora; ikuti takaran penggunaan yang aman dan jangan mencampur pemutih dengan bahan lain. Ventilasi area saat memakai pemutih.
• Perbaiki ventilasi dan keringkan udara: buka jendela, gunakan kipas atau dehumidifier bila tersedia; kelembapan relatif harus diturunkan untuk mencegah pertumbuhan ulang jamur.
• Perhatian khusus untuk kelompok rentan: tempatkan anak kecil, lansia, dan orang dengan penyakit pernapasan pada area kering dan jauh dari lokasi pembersihan yang belum dipastikan aman; jika muncul batuk, mengi, atau iritasi mata/ kulit setelah pembersihan, segera rujuk ke fasilitas kesehatan.
Temuan redaksi Dialeksis menunjukkan bahwa respons pascabanjir tidak cukup sebatas evakuasi dan distribusi bantuan pangan. Pengelolaan lingkungan pemulihan pembersihan lumpur yang aman, fasilitas pengungsian yang kering dan berventilasi, serta pengelolaan limbah berbahaya harus menjadi prioritas bersama: pemerintah daerah, lembaga kesehatan, LSM kemanusiaan, dan donor. Pengadaan masker kelas N95, sarung tangan, fasilitas pencucian barang, serta dukungan tenaga ahli untuk remitasi bangunan adalah intervensi yang cost-effective karena mencegah beban penyakit selanjutnya.
Lumpur pascabanjir membawa risiko yang sering tak terlihat: spora jamur dan kontaminan biologis yang, bila dibiarkan, mengubah krisis fisik menjadi krisis kesehatan berkepanjangan. Dengan pengetahuan yang tepat dan tindakan cepat mengeringkan, membuang bahan tidak terelakkan, memakai APD, dan mendisinfeksi komunitas di Aceh, Sumut, dan Sumbar dapat mengurangi beban penyakit yang mengancam proses pemulihan.
Redaksi Dialeksis mengingatkan: kebersihan dan kekeringan bukan sekadar estetika pascabanjir mereka adalah garis pertahanan pertama terhadap ancaman kesehatan berikutnya. [red]