DIALEKSIS.COM | Jakarta - Industri perbankan Indonesia terus mengalami konsolidasi dalam beberapa tahun terakhir. Bank umum (bank komersial) baik konvensional maupun syariah mengalami sedikit penurunan jumlah akibat merger dan konversi, sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) termasuk BPR Syariah mengalami penurunan yang lebih signifikan karena banyak bank kecil ditutup atau digabung.
Berikut ini gambaran terbaru (hingga 2024/2025) tentang jumlah masing-masing jenis lembaga keuangan tersebut di seluruh Indonesia, lengkap dengan contoh nama-nama bank yang terlibat dalam perubahan tersebut.
Jumlah bank umum di Indonesia menurun dari 119 bank pada tahun 2014 menjadi sekitar 110 bank pada 2019. Tren ini berlanjut hingga kini total 105 bank umum beroperasi pada tahun 2023. Angka tersebut mencakup bank umum konvensional dan bank umum syariah.
Secara rinci, terdapat 92 bank umum konvensional (termasuk 4 bank BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, ditambah 24 Bank Pembangunan Daerah/BPD milik pemerintah daerah, puluhan bank swasta nasional, serta 7 kantor cabang bank asing). Sementara itu bank umum syariah berjumlah 13 bank pada 2023 contohnya Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan hasil merger tiga bank syariah BUMN pada 2021, ditambah bank syariah lainnya seperti Bank Muamalat, BCA Syariah, Panin Dubai Syariah, dan tiga BPD yang telah berkonversi penuh ke syariah (Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah, dan Bank Riau Kepri Syariah).
Penurunan jumlah bank umum konvensional terjadi sebagian besar karena aksi merger dan konsolidasi di sektor perbankan. Misalnya, Bank Danamon mengakuisisi dan melebur Bank Nusantara Parahyangan pada 2019 (mengurangi satu bank dari daftar bank umum).
Demikian pula, Bank IBK Indonesia terbentuk dari penggabungan dua bank kecil (Bank Agris dan Bank Mitraniaga). Di sisi lain, beberapa bank daerah memilih konversi ke bank syariah daripada tetap beroperasi secara konvensional; contohnya Bank Riau Kepri resmi beralih menjadi Bank Umum Syariah pada 2022, berganti nama menjadi BRK Syariah. Langkah konversi ini mengikuti jejak Bank Aceh (berkonversi 2016) dan Bank NTB (2018) yang terlebih dahulu menjadi bank syariah penuh milik pemerintah daerah.
Tren Transformasi Bank Kecil dan Munculnya Bank Digital
Selain merger, tren menarik lainnya adalah akuisisi bank-bank kecil oleh investor besar untuk dijadikan bank digital. Daripada mendirikan bank baru (yang mensyaratkan modal Rp10 triliun sesuai regulasi OJK POJK No.12/2021), banyak perusahaan teknologi dan konglomerat memilih membeli bank kecil yang sudah ada. Contohnya antara lain: BCA mengakuisisi Bank Royal dan mengubahnya menjadi BCA Digital (bank digital yang beroperasi secara terpisah dari induknya), Sea Group asal Singapura mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi dan merombaknya menjadi SeaBank, serta Emtek Group bersama Grab mengakuisisi Bank Fama yang kemudian di-rebranding menjadi Superbank.
Begitu pula, perusahaan fintech Kredivo masuk ke Bank Bisnis Internasional, WeLab asal Hong Kong mengakuisisi Bank Jasa Jakarta, dan startup Ajaib mengambil alih sebagian saham Bank Bumi Arta. Langkah-langkah ini menunjukkan kolaborasi antara sektor perbankan dan teknologi: bank berukuran kecil bertransformasi menjadi bank digital untuk menyasar segmen nasabah baru di era digital.
Transformasi digital ini tidak langsung mengurangi jumlah bank (karena lisensi bank tetap ada, hanya berganti kepemilikan/segmen bisnis), namun merupakan bagian dari dinamika konsolidasi industri. Bank-bank besar pun memperkuat layanan digitalnya misalnya, BRI dengan aplikasi BRImo dan jaringan agen BRILink, serta Bank Mandiri dengan Super App Livin’ sehingga lanskap persaingan perbankan semakin mengarah ke inovasi digital.
Meskipun demikian, secara keseluruhan jumlah bank umum tetap cenderung menurun karena beberapa bank kecil yang diakuisisi akhirnya dilebur ke entitas induk atau bergabung satu sama lain apabila berada dalam grup yang sama.
Pertumbuhan Bank Syariah: Merger BSI dan Konversi BPD
Pada sektor perbankan syariah, terdapat perkembangan penting yang memengaruhi komposisi bank umum syariah. Puncaknya adalah merger tiga bank syariah BUMN (BRI Syariah, BNI Syariah, Mandiri Syariah) pada awal 2021 yang melahirkan Bank Syariah Indonesia (BSI). Merger ini menyatukan sumber daya tiga bank menjadi satu entitas bank syariah terbesar di Indonesia, namun sekaligus mengurangi jumlah total bank syariah (tiga bank menjadi satu).
Selepas merger BSI, jumlah Bank Umum Syariah turun sejenak, tetapi kemudian naik kembali seiring konversi bank-bank daerah ke skema syariah. Seperti disebutkan sebelumnya, tiga BPD kini beroperasi penuh sebagai bank syariah: Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah, dan Bank Riau Kepri Syariah. Konversi Bank Riau Kepri menjadi BRK Syariah diresmikan pada Agustus 2022, menambah deretan bank syariah nasional. Selain itu, beberapa Unit Usaha Syariah (UUS) milik bank konvensional tengah bersiap untuk spin - off menjadi bank syariah tersendiri, mengikuti tenggat regulasi yang ditetapkan OJK.
Dari sisi jumlah, bank syariah masih jauh lebih sedikit dibanding bank konvensional. Dari total 105 bank umum pada 2023, hanya 13 yang beroperasi secara syariah. Pangsa aset perbankan syariah terhadap industri perbankan nasional pun masih sekitar 10% (dengan total aset bank syariah Rp980 triliun per akhir 2024). Meski jumlahnya terbatas, pemerintah dan regulator terus mendorong pertumbuhan perbankan syariah karena potensi pasarnya besar di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Hadirnya BSI sebagai bank syariah raksasa dan konversi beberapa bank daerah diharapkan mempercepat penetrasi layanan syariah.
Penurunan Signifikan Jumlah BPR dan BPR Syariah
Berbeda dari bank umum yang relatif stabil penurunannya, jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengalami penyusutan drastis akibat gelombang konsolidasi dan pencabutan izin bank-bank kecil. Pada 2014, terdapat lebih dari 1.800 BPR (termasuk BPR Syariah) di Indonesia. Jumlah ini terus menurun setiap tahun. Akhir 2019 tercatat 1.709 bank (1.545 BPR konvensional dan 164 BPR Syariah).
Penurunan kian cepat dalam tiga tahun terakhir: akhir 2021 jumlah BPR tersisa 1.468, lalu turun menjadi 1.402 bank pada penghujung 2023. Memasuki tahun 2024, tren tersebut berlanjut; per Oktober 2024 jumlah BPR tinggal 1.369 bank, dan akhir 2024 sekitar 1.356 BPR. Hingga Maret 2025, total BPR (termasuk BPR Syariah) yang masih beroperasi hanya 1.345 bank. Dengan kata lain, dalam kurun 2019 - 2025 terjadi penurunan sekitar 360 bank. Gelombang penutupan dan penggabungan ini jauh lebih besar dibanding sektor bank umum.
Penurunan tajam ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, banyak BPR bermasalah dicabut izinnya oleh OJK karena alasan kesehatan bank, rasio keuangan buruk, atau kasus fraud. Sepanjang tahun 2024 saja, OJK mencabut izin usaha 20 BPR yang kemudian dilikuidasi oleh LPS.
Contohnya, pada akhir 2024 OJK menutup BPR Arfak Indonesia (Bank Arfindo) di Papua Barat karena kondisinya yang memburuk. Bahkan bank perkreditan syariah pun tak luput, misalnya PT BPRS Gebu Prima di Medan yang dicabut izinnya oleh OJK pada April 2025. Kedua, OJK mendorong konsolidasi sukarela BPR/BPRS melalui merger, terutama bagi bank yang kesulitan memenuhi ketentuan modal minimum. BPR wajib memiliki modal inti sebesar Rp6 miliar paling lambat akhir 2024, sehingga banyak bank kecil terpaksa mencari partner merger atau investor baru. Hasilnya, puluhan BPR bergabung satu sama lain.
OJK mencatat sejak 2023 hingga November 2024 terdapat 53 BPR/BPRS yang dimerger menjadi 17 bank saja, sehingga terjadi pengurangan 36 bank melalui konsolidasi. Sebagai contoh, empat BPR milik grup Insani di Jawa (PT BPR Rejeki Insani, PT BPR Dutabhakti Insani, PT BPR Bina Kharisma Insani, dan PT BPR Bina Sejahtera Insani) baru-baru ini melebur menjadi satu entitas bernama PT BPR Bina Sejahtera Insani pada Juni 2025 dengan persetujuan OJK. Merger semacam ini mengurangi jumlah unit bank, namun diharapkan memperkuat permodalan dan tata kelola bank hasil penggabungan.
Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa langkah penertiban ini bertujuan menyisakan industri BPR/BPRS yang lebih sehat. Pihak OJK memperkirakan ke depannya mungkin hanya sekitar 1.000-an BPR/BPRS yang akan bertahan dan beroperasi sehat di Indonesia. BPR/BPRS yang kondisinya lemah, modal minim, atau manajemen buruk harus berbenah atau akan tereliminasi. Ketua Dewan Komisioner LPS bahkan mendukung tegas langkah ini, agar yang tersisa hanyalah BPR/BPRS yang berkinerja baik demi melindungi masyarakat.
Di sisi lain, kinerja industri BPR yang tersisa masih tumbuh positif. Meskipun jumlah banknya menyusut, total kredit yang disalurkan BPR per Oktober 2024 tercatat Rp147,1 triliun, tumbuh 6% dibanding tahun sebelumnya. Dana pihak ketiga yang dihimpun BPR juga meningkat, menunjukkan bahwa konsolidasi telah meninggalkan pemain-pemain yang lebih kuat.
Pangsa pasar BPR/BPRS sendiri terhadap industri perbankan memang kecil hanya sekitar 1,8% dari total aset perbankan nasional dan 2,1% dari penyaluran kredit per 2023 namun peran mereka tetap vital terutama dalam melayani usaha mikro, kecil, dan menengah di daerah. Dengan jumlah BPR/BPRS yang kini lebih ramping, diharapkan pengawasan dapat lebih fokus sehingga setiap bank rakyat yang tersisa benar-benar berdaya saing dan terpercaya di wilayah operasionalnya masing-masing.
Perkembangan terkini menunjukkan arah konsolidasi di semua jenis lembaga perbankan. Bank umum berkurang jumlahnya akibat merger strategis dan pengalihan segmen (digitalisasi), bank syariah bertambah porsi pasarnya melalui merger dan konversi bank daerah meski jumlah entitasnya relatif sedikit, sedangkan BPR/BPRS menyusut drastis sebagai dampak penyehatan industri. Regulator terus memandu proses ini dengan kebijakan permodalan dan pengawasan ketat.
Bagi masyarakat, perubahan peta lembaga keuangan ini diharapkan berdampak positif dalam jangka panjang jumlah bank mungkin lebih sedikit, namun struktur perbankan menjadi lebih kuat dan mampu lebih baik melayani perekonomian nasional. [arn]