Beranda / Data / Hikmah di Balik Tenggelamnya KMP Gurita: Alarm Keselamatan Laut yang Tak Boleh Dilupakan

Hikmah di Balik Tenggelamnya KMP Gurita: Alarm Keselamatan Laut yang Tak Boleh Dilupakan

Minggu, 19 Januari 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Herman RN. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tanggal 19 Januari 1996 selalu mengingatkan kita pada tragedi tenggelamnya KMP Gurita adalah kapal feri yang tenggelam antara 5 - 6 mil laut dari Perairan Teluk Balohan, Kota Sabang, Aceh. Walaupun sudah 29 tahun berlalu namun sangat membekas disanubari terdalam masyarakat Aceh. Insiden ini meninggalkan duka mendalam sekaligus pelajaran penting bagi dunia transportasi laut di Indonesia.

Herman RN, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala sekaligus budayawan, menilai tragedi ini sebagai peringatan keras tentang pentingnya keselamatan, pengelolaan transportasi, dan penghormatan pada alam.

“Tragedi KMP Gurita adalah peristiwa yang tidak hanya membawa duka, tetapi juga memberikan banyak pelajaran. Kejadian ini mengingatkan kita tentang pentingnya mematuhi standar keselamatan pelayaran, termasuk jumlah penumpang dan kondisi teknis kapal,” ujar Herman RN dalam wawancara khusus dengan Dialeksis, Minggu (19/1/2025).

Menurutnya, insiden tersebut juga mencerminkan lemahnya pengawasan dalam sektor transportasi laut pada masa itu. Herman menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayaran untuk mencegah kejadian serupa.

“Jika kita lihat ke belakang, tragedi ini terjadi karena beberapa faktor, seperti kelebihan muatan, buruknya cuaca, dan kelalaian dalam mempersiapkan kapal untuk perjalanan. Semua ini harus menjadi refleksi untuk membangun sistem yang lebih baik,” katanya.

Sebagai seorang budayawan, Herman RN juga melihat tragedi KMP Gurita dari perspektif kearifan lokal. Ia menyebutkan bahwa masyarakat Aceh memiliki hubungan yang erat dengan laut, yang selama ini menjadi jalur transportasi utama sekaligus sumber penghidupan.

“Laut adalah sahabat sekaligus tantangan. Dalam tradisi Aceh, kita diajarkan untuk selalu menghormati alam, termasuk laut. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa kita harus menjaga keseimbangan antara teknologi dan kearifan lokal dalam menghadapi alam,” jelasnya dosen sejarah Aceh ini.

Ia menambahkan bahwa budaya masyarakat pesisir mengajarkan pentingnya kewaspadaan dan kesadaran akan kondisi alam.

“Ada ungkapan dalam budaya Aceh: ureung peuah glée meupakee laot (manusia dari gunung bergantung pada laut). Itu menggambarkan hubungan saling ketergantungan yang seharusnya dijaga dengan rasa hormat,” ujarnya.

Herman RN berharap peringatan tragedi KMP Gurita menjadi momentum untuk terus meningkatkan keselamatan pelayaran, khususnya di Aceh.

Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang keselamatan transportasi laut.

“Semoga kejadian ini tidak hanya dikenang sebagai tragedi, tetapi menjadi motivasi untuk perbaikan. Kita perlu membangun kesadaran bersama bahwa keselamatan adalah tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, pengelola transportasi, maupun masyarakat,” pungkas Herman.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI