Adaptasi Manusia di Dataran Tinggi: Evolusi dalam Menghadapi Hipoksia
Font: Ukuran: - +
![](https://dialeksis.com/images/web/2025/02/tibet.jpeg)
Ilustrasi masyarakat dataran tinggi Tibet. Foto: Kolase Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Manusia terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, salah satunya tampak nyata di Dataran Tinggi Tibet. Di wilayah yang berada di atas 3.500 meter, dengan kadar oksigen yang jauh lebih rendah dibandingkan dataran rendah, komunitas manusia telah berhasil bertahan dan berkembang melalui adaptasi biologis yang luar biasa.
Pada umumnya, manusia yang hidup di lingkungan dengan kadar oksigen rendah rentan mengalami hipoksia, yaitu kondisi ketika tubuh kekurangan oksigen yang diperlukan untuk berfungsi optimal.
Fenomena ini sering ditemui pada pendaki gunung yang mengalami mabuk ketinggian. Namun, penduduk asli daerah tinggi, seperti di Tibet, telah mengembangkan mekanisme adaptasi untuk mengatasi tantangan tersebut.
"Adaptasi terhadap hipoksia di dataran tinggi sangat menarik karena tekanan yang dialami cukup berat dan dapat diukur secara kuantitatif," ujar Cynthia Beall, seorang antropolog dari Case Western Reserve University, sebagaimana dikutip oleh ScienceAlert.
Beall dan timnya telah melakukan penelitian jangka panjang untuk memahami bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan kondisi hipoksik.
Dalam studi terbaru yang diterbitkan pada Oktober 2024, Beall dan rekan-rekannya menemukan bahwa penduduk Tibet memiliki karakteristik unik dalam sistem peredaran darahnya yang mendukung pengangkutan oksigen.
Penelitian tersebut melibatkan 417 wanita berusia 46 hingga 86 tahun yang telah menetap seumur hidup di Nepal, tepatnya di ketinggian sekitar 3.500 meter di atas permukaan laut. Data menunjukkan bahwa jumlah kelahiran hidup per wanita bervariasi antara 0 hingga 14 anak, dengan rata-rata mencapai 5,2 anak.
Selain itu, tim peneliti mengukur kadar hemoglobin dalam darah, komponen penting yang mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan angka kelahiran hidup tertinggi tidak memiliki kadar hemoglobin yang ekstrem, melainkan berada pada kisaran rata-rata.
Menariknya, saturasi oksigen dalam hemoglobin mereka justru lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Temuan ini mengindikasikan bahwa adaptasi yang terjadi memungkinkan peningkatan efisiensi pengangkutan oksigen ke jaringan tanpa mengentalkan darah secara berlebihan, yang jika terjadi dapat membebani kerja jantung.
"Kami sebelumnya mengetahui bahwa kadar hemoglobin yang lebih rendah memiliki manfaat tersendiri. Kini, kami mendapati bahwa nilai rata-rata justru memberikan keuntungan optimal, terutama karena saturasi oksigen yang lebih tinggi berdampak positif terhadap kesehatan," jelas Beall.
Selain itu, penelitian juga mengungkap bahwa wanita dengan keberhasilan reproduksi tertinggi memiliki aliran darah yang lebih cepat menuju paru-paru dan bilik kiri jantung yang lebih lebar dari rata-rata. Semua faktor tersebut berkontribusi pada peningkatan efisiensi transportasi oksigen ke seluruh tubuh, membantu mereka bertahan di lingkungan dengan kadar oksigen rendah.
Tak hanya faktor biologis, aspek budaya juga memainkan peran penting dalam keberhasilan reproduksi. Wanita yang memulai kehamilan pada usia muda dan menjalani pernikahan yang lebih panjang memiliki peluang lebih besar untuk memiliki lebih banyak anak. Meski demikian, perbedaan fisiologis tetap menjadi faktor utama dalam adaptasi terhadap lingkungan tinggi.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa seleksi alam masih berlangsung hingga saat ini. Wanita dengan fisiologi yang paling sesuai dengan kondisi ekstrem cenderung memiliki lebih banyak keturunan yang mampu bertahan dan mewariskan sifat adaptif tersebut ke generasi berikutnya. "Ini merupakan contoh nyata dari seleksi alam yang masih aktif terjadi. Memahami bagaimana populasi seperti ini beradaptasi memberi kita wawasan yang lebih mendalam tentang proses evolusi manusia," pungkas Beall.
Studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini menambah bukti bahwa manusia terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan tantangan lingkungan, terutama di daerah yang memiliki kondisi ekstrem seperti Dataran Tinggi Tibet. [kompas]
Berita Populer
![KNPI](https://dialeksis.com/images/web/2025/02/ULtah-dialeksis-(1).jpg)
![utu](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(16).jpg)
![dispora](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(13).jpg)
![DPKA](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(5).jpg)
![DSI](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(2).jpg)
![dinas pangan](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/ULtah-dialeksis.jpg)
![BPMA](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(17).jpg)
![T.heri](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(9).jpg)
![unimal](https://dialeksis.com/images/web/2025/01/Black-and-Yellow-Simple-Webinar-Event-Instagram-Post-(8).jpg)