1.106 Koperasi dan BUMDes Berpotensi Naik Kelas Berkat Program Makan Bergizi Gratis
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi makan siang gratis yang akan membuat koperasi dan BUMDes naik kelas. [Foto: dok. Kemenkopukm]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto berpotensi mendorong koperasi di Indonesia naik kelas.
Mengutip data Berikan Protein Initiative (BPI), sedikitnya ada 1.106 koperasi dan BUMDes berpotensi naik kelas.
Naik kelasnya koperasi akan didorong oleh wacana subtitusi susu sapi dengan susu ikan.
Terlebih, berdasarkan data ODS, hingga Desember 2023 terdapat 12.054 koperasi yang bergerak di industri pertanian, kehutanan, dan perikanan. Selain itu, terdapat 1.735 koperasi aktif yang bergerak di industri pengolahan.
Seperti diketahui, susu ikan tengah ramai dibicarakan masyarakat Indonesia karena punya potensi menjadi alternatif susu sapi. Susu ikan merupakan salah satu produk turunan dari hidrolisat protein ikan (HPI) alias produk yang berasal dari daging ikan segar yang digiling menjadi bentuk bubuk.
Melansir data dari BPI, apabila susu ikan masuk dalam program MBG, ada banyak manfaat yang dihasilkan, di antaranya bisa mendorong kemandirian protein dalam negeri. Selain itu, langkah ini juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Masuknya susu ikan ke program MBG mampu meningkatkan PDB negara dan menambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan Badan (PPh) Badan, dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPH).
Rencana ini juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru di Indonesia, meski hanya melakukan subtitusi 1 persen susu sapi segar dengan susu ikan.
Berdasarkan hitung-hitungan BPI, subtitusi tersebut bisa menyerap lapangan pekerjaan lebih dari 23.382 orang, di antaranya menciptakan lapangan kerja bagi 10.250 orang untuk bekerja di industri HPI dan 5.932 orang yang bekerja di industri susu ikan.
Sebanyak 7.200 nelayan juga akan terbantu dan 1.106 Bumdes dan Koperasi dipredikasi akan naik kelas.
Subtitusi juga akan mendorong lebih dari 512 unit industri berdiri. Banyaknya industri yang berdiri akan menambah jumlah pasokan ikan segar untuk menyokong produksi industri.
Sebanyak 64.803 ton ikan diprediksi akan dibutuhkan setiap tahunnya untuk mendukung kelangsungan produksi industri. Estimasi pendapatan yang bisa dihasilkan nelayan mencapai Rp 648 miliar per tahun.
HPI yang dihasilkan diestimasi bisa mencapai 12.300 ton per tahun dengan nilai ekonomi HPI mencapai Rp 1,8 triliun per tahun.
Subtitusi juga bisa menumbuhkan lebih dari 593 unit industri susu ikan. Output dari produksi susu ikan diestimasi bisa mencapai 41.000 ton per tahun dengan nilai ekonomi sebesar Rp 4 triliun per tahun.
Bukan hanya itu saja, subtitusi ini juga bisa memanfaatkan ikan yang selama ini terbuang. Karena 1 dari 3 ikan yang ditangkap tidak pernah sampai ke piring konsumen. Sebanyak 35 pesen dari total produksi perikanan tangkap global sebesar 90,3 juta ton terbuang sia-sia.
Ikan yang terbuang Sebagian besar berasal dari sortiran tangkapan pukat (bycatch). Nelayan memilih membuang karena ikan bycatch tidak memiliki nilai jual dan tidak ada marketnya. Bangkai ikan terbuang dapat menimbulkan aroma tidak sedap dan mencemari ekosistem pesisir yang dapat memicu kematian biota laut lain.
Pemanfaatan susu ikan ini juga bisa mengangkat profesi nelayan. Maklum saja, nelayan masih merupakan profesi termiskin di Indonesia. Sebanyak 90 persen dari 16,2 juta nelayan di Indonesia masih hidup di Bawah garis kemiskinan. Sebanyak 2,7 juta nelayan di Indonesia menyumbang 25 persen angka kemiskinan nasional.
Akses pasar yang sulit membuat nelayan berada dalam ketidakpastian pendapatan dan terjerat utang untuk menutup biaya operasional.[*]