DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pada era Orde Baru, ada jampi - jampi politik lam nanggroe bernama "Surak Tupe". Ia bukan mantra hitam atau rajah sakti. Tapi, simfoni sorakan memekakkan telinga, menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Tujuannya: membuat ciut "tupai" (baca : pesaing atau penghalang) agar "buah" jabatan jatuh ke pangkuan si empunya hajat.
Biasanya, sorakan diperkuat dengan restu ulama, tokoh berpengaruh atau bahkan dari organisasi publik yang tak begitu populer.
Sebuah orkestra dukungan yang ketulusannya dipertanyakan, tapi terkoordinir, meskipun kadang tak selalu efektif.
”Surak Tupe” dikirim ke gedung parlemen atau partai politik, sebab calon kepala daerah dipilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Filosofinya: berusaha menyoraki lawan hingga lari terbirit-birit, lewat suara tokoh. Apakah ini kearifan lokal yang cerdas, sekaligus… ehm , agak licik?
Kini, di tengah gemuruh tuntutan profesionalisme, meritokrasi dan birokrasi tanpa diskriminasi, yang dibutuhkan adalah keahlian mumpuni, rekam jejak cemerlang, visi - misi brilian dan integritas bersih.
Ibaratnya, kalau mau menjadi nahkoda kapal, harus memahami detil cara berlayar, bukan cuma tahu cara bikin ombak sendiri supaya kapal lain karam.
Tapi apa lacur, fenomena "Surak Tupe" ternyata lebih bandel dari noda tinta permanen. Arwahnya enggan beristirahat dengan tenang dalam buku sejarah politik.
Ia bukan lagi bagian keisengan menjelang Pilkada, tapi telah bereinkarnasi. Lalu, bertransformasi dari teriakan lapangan terbuka menjadi bisikan-bisikan syahdu di balik tirai kekuasaan.
Meski zaman telah berganti, rupanya masih banyak orang merindukan, bahkan mempraktikkan "Surak Tupe" versi modern.
Bukan lagi di arena terbuka, tapi "sorakan syahdu" bermain dari balik layar, diiringi "tepukan mesra" pihak berkepentingan melalui media sosial yang tiba-tiba viral.
Bentuknya pun lebih elegan dan "berpendidikan", berupa tumpukan surat rekomendasi tokoh publik dan politisi berpengaruh. Lalu, dibungkus dalam pemberitaan media kacangan.
Tanpa Kapasitas
Bayangkan saja skenarionya: seseorang yang rekam jejak tak ubahnya halaman kosong, atau setidaknya, "biasa saja" di mata awam, tiba-tiba melesat bak roket menuju kursi empuk nan strategis.
Publik mengernyitkan dahi. "Apa gerangan keahliannya?" bisik mereka. Namun, di meja para pengambil keputusan, terhamparlah barisan ”surat sakti".
Tanda tangan basah para influencer politik dan tokoh terkemuka terpampang di sana, seolah menjadi cap validasi bahwa si calon adalah ”mutiara terpendam” yang baru ditemukan.
Ini bukan lagi ”Surak Tupe” penuh kebisingan, tapi versi senyap yang nyatanya lebih mematikan keadilan.
Ironisnya, dalam drama "Surak Tupe" modern, si "tupai" bukan lagi pesaing vokal yang disoraki hingga lari terbirit-birit.
"Tupai" itu justru bisa jadi kandidat yang jauh lebih kompeten, lebih berintegritas, namun tak punya akses ke lingkar elite ”pahlawan” pemberi rekomendasi.
Mereka tak bersuara, bukan karena gentar. Tetapi, suara mereka tak punya ruang di tengah deru legitimasi palsu yang disematkan oleh tumpukan ”Surak Tupe”.
Mereka kalah sebelum bertanding, bukan karena kualitas, tapi kurangnya "koneksi" yang bisa menghasilkan "surat sakti".
Rekomendasi yang dulu mungkin hanya sekadar catatan "teman sejawat yang baik", kini telah menjelma, menjadi sebuah deklarasi "layak dipertimbangkan" yang terkadang tak bisa ditawar.
Ini legitimasi yang dibentuk di atas jejaring, bukan di atas substansi. Seolah-olah, rekomendasi itu punya kekuatan magis mengubah seseorang yang tidak punya kapasitas menjadi kandidat "paling tepat", hanya karena ada nama besar di baliknya.
Buah jabatan, yang seharusnya didapat setelah matang dan melalui proses seleksi ketat, kini dipetik prematur. Cukup ada bisikan "pemilik kebun" bahwa buah ini "layak panen", meskipun isinya masih kecut.
Ironi
Di tengah gencarnya gaung reformasi birokrasi dan penerapan sistem meritokrasi ” di mana yang terbaiklah layak memimpin ” praktik "Surak Tupe" modern adalah tamparan telak.
Kita mengelu-elukan konsep " the right man in the right place ", namun kenyataannya seringkali yang duduk di kursi empuk justru mereka yang "punya right connection in right place ".
Jabatan strategis bukan lagi amanah bagi yang paling cakap, tapi hadiah untuk yang paling dekat, paling jago lobi, dan paling lihai mengumpulkan koleksi "Surak Tupe".
Masyarakat, sebagai penonton setia drama politik ini, mungkin tidak terlalu paham seluk-beluk di balik layar.
Mereka mungkin tidak tahu ada "Surak Tupe" versi surat rekomendasi yang bermain di balik penunjukan pejabat. Kalaupun tahu, paling hanya saling berbisik sambil menyeruput kopi pagi.
Namun, mereka pasti merasakan dampaknya: pemimpin "kurang nyambung" dengan tugasnya, kebijakan "aneh bin ajaib", atau proyek "mandek tak jelas rimbanya".
Semua itu efek domino sistem yang membiarkan "surat sakti" mengalahkan kompetensi nyata.
Maka, sudah saatnya kita tak hanya berfokus pada "sorakan" dan "tupai" di permukaan, tapi harus membongkar "hutan", tempat mereka bersarang.Proses seleksi harus dirombak menjadi sistem baja yang tak bisa ditembus bisikan-bisikan manis alias tumpukan kertas ”Surak Tupe”. Uji kompetensi harus menjadi raja. Rekam jejak adalah mahkota dan transparansi sebagai mahligai.
Para pemberi rekomendasi pun, jika memang punya integritas, harusnya lebih selektif dan berani mempertanggungjawabkan pilihan mereka.
"Surak Tupe", baik yang bising maupun yang bisik-bisik, memang sebuah jenaka metafora, tapi sungguh memilukan sebagai realitas lam nanggroe bansa tseuneubeh .[]
Penulis: Nurdin Hasan, Jurnalis Freelance