DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pagi itu, kabar duka datang lebih cepat daripada doa yang kami persiapkan. Pada pukul 02.20 WIB, di Lambaro, Aceh Besar, Allah SWT memanggil pulang salah seorang guru besar hati bagi kami Dr. Drs. Syamsulrizal, M.Kes Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala (FKIP USK) dan mantan Wakil Bupati Aceh Besar.
Berita kepergiannya meninggalkan ruang hampa yang tak mudah diisi. Bagi saya pribadi yang pernah menjadi muridnya dan kini rekan mengajar di fakultas yang sama almarhum bukan hanya figur akademis atau birokrat yang namanya tertulis di struktur organisasi. Ia adalah teladan sederhana tercermin sebagai guru yang hadir di meja-meja diskusi, pemimpin yang duduk di antara stafnya, dan tetangga yang hangat menatap setiap salam.
Dr. Syamsulrizal dikenal luas karena kesederhanaannya. Ia bergerak tanpa hiasan retorika; dalam tutur kata dan tindakannya ada nuansa ketulusan yang memberi rasa aman kepada siapa saja yang berbicara dengannya. Ia komunikatif bukan sekadar berbicara, tetapi lebih sering mendengar dan setiap kali memberi nasihat, selalu terasa bijak karena lahir dari pengalaman dan empati yang mendalam.
Dalam kapasitasnya sebagai Dekan FKIP, ia memperjuangkan nilai pendidikan yang merakyat. Banyak dari kami yang merasakan langsung perhatiannya terhadap mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga sederhana.
Ia rutin menyempatkan diri menemui mahasiswa di sela-sela rapat, menanyakan kondisi akademik dan kehidupan sehari-hari, serta memberikan dorongan yang hangat ketika semangat turun. Bagi dosen muda, ia menjadi mentor yang sabar; bagi rekan-rekan senior, ia tetap menunjukkan penghormatan yang tulus.
Sebagai mantan Wakil Bupati Aceh Besar, kiprahnya tidak sebatas pengelolaan administrasi. Ia membawa perspektif kepedulian sosial ke dalam tata kelola pemerintahan memperhatikan layanan dasar, pendidikan dasar di gampong-gampong, dan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Banyak kebijakan kecil yang ia dorong pada masanya memberi dampak nyata bagi keluarga-keluarga di tingkat lokal bukan karena pencitraan, melainkan karena komitmen pada perbaikan yang berkelanjutan.
Saya masih ingat satu momen yang selalu saya kenang: suatu sore, ketika listrik padam di ruang fakultas, beliau berjalan dari satu ruang ke ruang lain membantu menenangkan panik administrasi dan menertibkan para mahasiswa yang khawatir ujian akan terganggu. Ia menertawakan kecemasan itu bersama kami, lalu menata ulang skenario ujian dengan tenang. Sikap seperti itu hadir di tengah masalah, bukan menjauh darinya adalah esensi kepemimpinannya.
Kehadiran almarhum meninggalkan jejak yang konkret yakni metode pengajaran yang humanis, jalur komunikasi yang terbuka antara pimpinan dan sivitas, serta dorongan agar ilmu tidak berhenti di bangku kuliah melainkan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Warisan ini bukan sekadar program atau kebijakan; ia terpatri dalam cara kami mengajar, cara kami berbicara kepada mahasiswa, dan cara kami memaknai pengabdian.
Di saat seperti ini, kata-kata terasa begitu terbatas. Hanya doa yang bisa kami panjatkan: semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, husnul khatimah, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan, kesabaran, serta keikhlasan. Untuk beliau, terima kasih atas ilmu, keteladanan, dan persahabatan yang tak lekang oleh waktu.
Rencananya, almarhum akan disemayamkan di rumah duka di Lambaro, Aceh Besar, sebelum dimakamkan. Kepada rekan, kolega, mantan mahasiswa, dan siapa pun yang pernah diberi bimbingan oleh beliau; marilah kita hadirkan penghormatan terakhir dengan penuh kesederhanaan, sebagaimana hidup yang selalu dicontohkannya.
Selamat jalan, kakanda. Jejak kebaikan dan ilmu yang kau tinggalkan akan terus kami rawat. Semoga amalmu menjadi penyejuk bagi keluarga dan penerang bagi generasi yang kau asuh.
Penulis: Herman RN, murid sekaligus pengajar di FKIP Universitas Syiah Kuala (USK)