DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Jika hari ini seseorang bertanya, siapa itu Teuku Raja Keumangan? Maka hampir seluruh masyarakat Aceh, terutama di wilayah Barat Selatan, akan menjawab dengan yakin bahwa mereka mengenalnya. Namun, yang sering orang tahu dari namanya bukanlah seluruh kisah utuh tentang siapa sebenarnya TRK, begitu ia biasa disapa.
Ia bukan hanya sosok Bupati Nagan Raya saat ini. Ia bukan sekadar politisi dari Partai Golkar yang lahir dari garis darah panjang para pejuang dan pemikir. Bukan pula hanya seorang doktor jebolan pendidikan tinggi. TRK adalah paduan sejarah dan keteladanan yang hidup. Ia merupakan cucu dari pendiri Golkar Aceh, putra dari tokoh kader beringin di masanya, sekaligus keturunan ulama dan bangsawan yang namanya harum dalam jejak sejarah Aceh.
Namun yang menarik, dari segala atribut kebangsawanan, status sosial, hingga pendidikan tinggi, tidak sedikit pun membuat TRK memosisikan dirinya lebih tinggi dari orang lain. Dalam setiap tutur katanya, dalam cara ia menyapa masyarakat kecil di sudut-sudut kampung, hingga dalam caranya menundukkan kepala kepada orang tua yang datang menghampirinya tersimpan satu pelajaran penting, bahwa kemuliaan hati jauh lebih agung daripada kebesaran nama.
Di antara sekian banyak program pembangunan fisik dan sosial yang ia dorong selama memimpin Nagan Raya, salah satu yang paling mencerminkan jiwanya adalah pembangunan Masjid Giok. Sebuah masjid megah yang dibangun bukan sekadar untuk menjadi tempat ibadah, tapi juga menjadi simbol kebangkitan peradaban Islam di Nagan Raya yang akan memberi warna baru dalam wajah wisata religius di barat Aceh.
TRK tidak memandang masjid hanya sebagai bangunan. Baginya, masjid adalah pusat peradaban umat. Ia ingin masjid itu menjadi tempat masyarakat kembali menemukan kesejukan hati, tempat anak - anak belajar agama dengan cinta, dan tempat para musafir menepi untuk menenangkan jiwa.
“Masjid ini bukan hanya milik pemerintah. Ini rumah Allah, rumah kita semua. Harus kita bangun dengan hati, bukan sekadar batu dan semen,” katanya suatu waktu kepada koleganya.
Ia terlibat langsung dalam setiap tahapan pembangunan masjid itu, dari pemilihan desain, kualitas batu giok yang digunakan, hingga memastikan bahwa pembangunan tidak hanya selesai, tapi sempurna. Di balik layar, ia juga menanggung beban anggaran pribadi demi memastikan masjid tersebut berdiri megah. Namun lagi-lagi, tak banyak orang tahu.
Dan saat ditanya kenapa tidak dipublikasikan, ia menjawab seperti biasa,“Kalau soal masjid, itu urusan saya dengan Tuhan. Tak perlu ramai-ramai. Biar Allah yang catat, bukan media.”
TRK tidak hanya dikenal sebagai pemimpin administratif. Ia adalah figur yang berdiri paling depan ketika masyarakat mencari tuntunan iman. Setiap perayaan Idul Fitri tiba, TRK selalu memilih menjadi imam salat, bukan sebagai simbol kekuasaan, tetapi karena panggilan jiwa.
Pemandangan itu tak pernah gagal menyentuh hati masyarakat. Ketika pemimpinnya bersujud dan mengimami puluhan ribu umat, doa-doa dari langit dan bumi seolah menyatu dalam harapan bersama.
“Pemimpin kami bukan hanya memimpin pembangunan, tapi juga memimpin kami di atas sajadah,” kata seorang tokoh masyarakat Nagan Raya penuh haru.
Shalat Idul Fitri menjadi momen sakral, di mana TRK berdiri bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai pelayan umat. Dan dari podium khotbah, ia menyampaikan pesan damai, persatuan, dan pentingnya kembali ke nilai-nilai spiritual dalam membangun Aceh ke depan.
Dalam dunia politik yang serba gemerlap dan penuh pencitraan, TRK justru menjadi pengecualian. Ketika banyak pemimpin berlomba-lomba memamerkan amalnya, ia memilih diam dalam amal.
Suatu ketika, tim medianya menyarankan untuk mempublikasikan kegiatan sosial TRK seperti saat ia membiayai pendidikan anak yatim atau diam - diam menjenguk warga sakit di rumah sakit umum. Namun, jawaban TRK tetap sama:
“Urusan langit janganlah diubar ke publik. Biarkan saya dan Tuhan saja yang tahu. Cukup itu jadi ladang amal ibadah saya.”
Kalimat itu menggambarkan betapa dalamnya jiwa spiritual TRK. Ia memaknai kekuasaan bukan sebagai alat untuk menonjolkan diri, melainkan sebagai ladang pengabdian dan ladang akhirat.
Ada pula kisah - kisah kecil yang begitu mengesankan dari sisi spiritual TRK. Beberapa kali dalam perjalanan ke luar negeri, selalu saja hujan turun menyambutnya saat mendarat. Sebagian menganggap itu kebetulan. Tapi bagi orang-orang terdekatnya, hujan itu adalah pertanda berkah.
“Hujan itu seperti salam dari langit,” ujar seorang stafnya dengan penuh keyakinan.
TRK menjalani hidup seolah selalu ditemani tangan tak terlihat yang membimbing. Dan semua itu berangkat dari satu nilai yang ia pegang kuat: keikhlasan.
“Baiknya berbuat itu harus penuh keikhlasan. Selanjutnya, biar tangan Tuhan yang menolong saya di tengah kesusahan,” begitu ucapannya dalam suatu percakapan ringan yang berubah jadi pelajaran besar.
TRK bukan pemimpin yang hidup dalam menara gading. Ia hadir dalam derita rakyatnya, bahkan sebelum mereka sempat mengadu. Pernah suatu malam ia menyetir sendiri ke pelosok kampung hanya untuk mendengarkan keluhan warga yang gagal panen. Ia duduk, mendengar, dan mencari solusi di tempat. Tidak perlu seremoni, tidak perlu liputan media.
Saat banjir melanda, ia adalah yang pertama datang ke lokasi. Saat ekonomi rakyat melemah, ia yang turun langsung ke pasar, menanyakan harga sembako. Dan ketika ada yang kesulitan membayar sekolah anaknya, TRK diam-diam jadi penyelesainya.
Hari ini, banyak pemimpin sibuk membangun monumen dan proyek prestise. Tapi TRK membangun hal yang lebih abadi, kepercayaan dan cinta rakyatnya. Ia tidak membangun menara gading untuk dikenang, melainkan membangun jembatan hati agar rakyatnya merasa dekat.
Dan itulah warisan terbesar seorang Teuku Raja Keumangan warisan yang tak bisa dibeli: keteladanan.
TRK bukan hanya nama. Ia adalah cerita tentang kerendahan hati di tengah kuasa, tentang amal dalam diam, dan tentang keikhlasan yang menembus batas. Dalam dirinya, rakyat menemukan harapan bahwa pemimpin sejati masih ada yang tidak mengaku sebagai pelayan rakyat, tapi benar-benar melayani. Yang tidak bicara tentang visi dan misi, tapi menunjukkan bukti lewat tindakan sehari-hari.
Dan pada akhirnya, bukan gelar, bukan jabatan, bukan nama besar yang membuat orang menghormatinya. Tapi karena kemuliaan hati, yang kini semakin langka, dan pada dirinya justru menjadi sumber cahaya.
Penulis: Talbani Farlian, Putra Barsela