DIALEKSIS.COM | Blangppidie - Ketika dua gerai Indomaret resmi dibuka di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) pada Senin (4/8/2025), sambutan meriah terdengar dari podium kekuasaan. Disisi lain, bisik-bisik kecemasan mulai mengalir diantara pemilik gerai lokal, kios kelontong, penjual eceran, dan pelaku UMKM yang merasa terancam tenggelam dibalik gemerlap rak rapi dan diskon 20%.
Ritel modern memang datang dengan janji dan seperti biasa, janji itu terdengar manis serapan tenaga kerja lokal, rak khusus UMKM, dan kemitraan pengusaha daerah.
Bupati Abdya, Safaruddin, bahkan menetapkan syarat ideal minimal 30% etalase untuk produk lokal, kontrak dua tahunan yang bisa dievaluasi, dan tenaga kerja wajib dari warga setempat.
Namun, kita semua tahu bahwa dibalik jargon “modernisasi ekonomi” yang dibawa Indomaret, tersimpan kekuatan sistemik yang mampu mendikte arus belanja masyarakat. Yang dulu belanja digerai lokal, kios tetangga, kini pindah ke gerai ber-AC. Yang dulu beli utang di kios kecil, sekarang dihadapkan pada sistem kasir dingin tanpa kompromi.
Memang benar bahwa kedua gerai itu dikelola mitra lokal Tgk. Agam di Geulumpang Payong dan Salwati H. Muslem di Keude Siblah. Tapi apakah kemitraan itu benar-benar menumbuhkan kemandirian ekonomi lokal, atau hanya menjadikan pengusaha daerah sebagai franchise holder yang terikat sistem pusat? Siapa yang sesungguhnya berdaulat atas sirkulasi modalnya?
Kritik paling tajam datang dari Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Susoh (IPPELMAS). Ketua Umumnya, Andika Ichsan, secara terang menyoroti potensi rusaknya ekosistem ekonomi kecil. “Brand Indomaret jauh lebih populer,” katanya.
Ini bukan sekadar soal branding, tapi dominasi produk nasional menyerbu rak-rak toko, menggusur produk lokal yang kalah kemasan, kalah iklan, dan kalah jaringan.
Pemerintah mungkin bertepuk tangan karena telah “membina” 75 UMKM lokal. Tapi jangan-jangan, ini hanya gincu kosmetik untuk menutupi kenyataan bahwa 300 UMKM lainnya tak sanggup bersaing dan mati perlahan. Jangan sampai rak UMKM hanya menjadi tempelan simbolik, sementara 70% ruang lainnya tetap dikuasai oleh produk korporasi besar dari luar.
Indomaret hadir membawa layanan modern isi pulsa, bayar BPJS, isi e-wallet. Tapi layanan ini, yang katanya "mempermudah masyarakat", justru menyingkirkan fungsi sosial kios lokal. Tak ada lagi ruang berutang, tak ada obrolan pagi dengan penjual yang tahu kebiasaan pembeli. Relasi sosial diganti sistem barcode.
Dan yang paling mengkhawatirkan, apakah komitmen “tenaga kerja lokal” akan benar-benar bertahan? Andika mengingatkan, jangan sampai ini hanya strategi awal untuk mendapatkan izin, lalu dalam dua tahun, dominasi pekerja dari luar daerah masuk perlahan dan menggantikan warga lokal yang dulu dijanjikan pekerjaan.
Masuknya Indomaret ke Abdya bukan sekadar pembangunan dua gerai. Ini adalah benturan dua konsep ekonomi ekonomi kerakyatan yang lentur, sosial, dan organik, berhadapan dengan ekonomi ritel yang korporatis, mekanis, dan tersentralisasi.
Maka pertanyaannya bukan sekadar “Apakah Indomaret akan membawa manfaat?” Tapi lebih tajam “Manfaat untuk siapa, dan dengan ongkos sosial-ekonomi sebesar apa?” **Andika Ichsan, Ketua Umum IPPELMAS