DIALEKSIS.COM | Aceh - Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali atau yang akrab disapa Abu Sibreh, mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap lambatnya respons pemerintah pusat dalam menangani bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah provinsi di Sumatera, terutama Aceh.
Pernyataan itu disampaikan Abu Sibreh pada Dialeksis, Selasa (8/12/2025) usai meninjau langsung beberapa daerah terdampak yang hingga hari kesepuluh pascabencana masih mengalami keterbatasan akses, terisolasi, dan minim intervensi pemerintah pusat.
Menurutnya, situasi Aceh pascabencana justru menunjukkan absennya negara.
“Sudah seminggu musibah berlalu, Aceh seperti daerah tak bertuan. Ulama Aceh protes dan kecewa dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan bencana Sumatera, khususnya Aceh,” tegasnya.
Abu Sibreh menyatakan bahwa negara seharusnya menjadi pihak pertama yang hadir memberikan perlindungan dan pertolongan. Namun kenyataannya, banyak wilayah terdampak masih belum tersentuh bantuan memadai.
“Seharusnya negara hadir memberi perlindungan dan pertolongan kemanusiaan. Tapi sampai hari kesepuluh, masih ada daerah yang terisolasi tanpa kejelasan kapan bantuan tiba,” ujarnya.
Ia juga menyoroti belum optimalnya koordinasi lintas lembaga. Akses jalan yang putus, jaringan telekomunikasi yang mati, serta listrik yang belum pulih membuat bantuan logistik terhambat.
“Kalau akses saja belum dibuka, bagaimana bantuan mau sampai? Ini harus jadi prioritas,” tambahnya.
Dalam pernyataannya, Abu Sibreh juga mengkritik kebijakan pemerintah yang menurutnya menunjukkan inkonsistensi antara urusan kemanusiaan dan urusan ekonomi.
“Kedaulatan negara tidak hilang dalam urusan kemanusiaan. Tapi kenapa kedaulatan negara bisa hilang dalam penguasaan tambang dan hutan oleh asing? Kenapa itu dibiarkan, sementara bantuan kemanusiaan dari luar justru ditutup? Ini kan aneh,” katanya.
Padahal, sambungnya, beberapa negara sudah menyatakan kesediaan memberikan bantuan setelah melihat skala kerusakan yang melanda Aceh dan daerah lain di Sumatera.
Abu Sibreh menilai pemerintah terlalu sibuk membangun citra melalui kunjungan dan publikasi, namun minim tindakan nyata di lapangan.
“Selama ini penanganan bencana lebih heboh di media sosial. Kunjungan demi kunjungan dilakukan, tapi di lapangan rakyat tetap menderita,” ujarnya.
Ia meminta pejabat tidak mengeluarkan pernyataan yang membangun harapan kosong.
“Siapapun pejabat dalam suasana musibah, jangan memberi statemen yang membuat rakyat hanya berharap. Hilangkan kata ‘pasti ini, pasti itu’. Hindari pola asal bapak senang,” tegasnya.
Salah satu hal yang turut memperlambat penanganan bencana, menurut Abu Sibreh, adalah birokrasi yang tidak adaptif terhadap kondisi darurat.
“Dalam penanganan kemanusiaan, hilangkan birokrasi yang bertele-tele. Jangan ada aturan yang menghambat relawan atau lembaga sosial yang ingin membantu. Setiap jam sangat berharga bagi keselamatan rakyat,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa penanganan bencana membutuhkan komando yang jelas, terukur, dan berjalan 24 jam, bukan hanya rapat-rapat seremonial yang tidak efektif.
Abu Sibreh meminta Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian penuh dan mengambil alih koordinasi penanganan bencana besar di Sumatera yang menelan ratusan korban jiwa dan merusak ribuan rumah.
“Ini bencana besar. Presiden harus turun tangan langsung memastikan semua lembaga bergerak cepat,” katanya.
Ia menegaskan bahwa rakyat Aceh saat ini berada dalam kondisi sangat memprihatinkan. Banyak keluarga kehilangan rumah, terjebak tanpa akses, serta kesulitan mendapat air bersih dan logistik.
Menutup keterangannya, Abu Sibreh mengingatkan bahwa bencana adalah urusan kemanusiaan yang tidak boleh diperlakukan sebagai agenda politik atau pencitraan.
“Rakyat Aceh sedang terluka. Mereka butuh negara hadir, bukan sekadar janji. Jangan biarkan Aceh seperti daerah tak bertuan,” ujar Abu Sibreh.