Beranda / Berita / Toko Buku Tutup, Pengamat: Kalah dalam Ekosistem Digital

Toko Buku Tutup, Pengamat: Kalah dalam Ekosistem Digital

Jum`at, 26 Mei 2023 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

 Pengamat Industri Perbukuan dan Perpustakaan, Taufiq A Gani. [Foto: Net] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Toko buku Gunung Agung, salah satu toko buku legendaris dan bersejarah di Indonesia, mengumumkan akan menutup seluruh gerainya pada akhir tahun ini, setelah beroperasi selama hampir 70 tahun.

Menanggapi hal itu, Pengamat Industri Perbukuan dan Perpustakaan, Taufiq A Gani mengatakan, tutupnya Gunung Agung itu menunjukkan bahwa toko buku tersebut tidak menjanjikan lagi dari segi bisnis, hal itu terindikasi terhadap industri perbukuan menjadi lesu.

"Saya melihat grafik penjualan buku di Indoensia ini, paling besar dari belanja pemerintah. Jadi yang beli buku itu dari pengadaan pemerintah yang ditepatkan di berbagai perpustakaan daerah, perpustakaan PTN dan lain-lainnya," jelasnya kepada Dialeksis.com, Jumat (26/5/2023). 

Sambungnya, penerbit itu sangat bergantung pada belanja pemerintah.

Selanjutnya, kata Taufiq, redupnya bisnis toko buku itu juga disebabkan masyarakat tidak lagi membeli buku fisik, tetapi terjadi perubahan dan keinginan membeli buku elektronik.

"Karena pengguna internet Indonesia meningkat pesat artinya ada pergeseran masyarakat kita sudah menuju pada bacaan digital," kata Taufiq A. Gani yang juga Peserta Lemhannas PPRA 65. 

Untuk itu, Kepala Pusdatin Perpusnas RI ini menyarankan, agar toko buku tidak tutup maka penerbit, toko buku, dan perpustakaan harus melakukan transformasi ke digital.

"Selama ini mereka identiknya menjual buku kertas, sekarang dia harus berpikir untuk menjual akses. Akses itu kan berbayar, model bisnisnya berubah, mulai dari jualan barang menjadi jualan akses," terangnya.

Di samping itu, kata Taufiq, dengan menjual akses tersebut maka unsur monetisasi atau untuk menghasilkan uang akan berkembang sehingga dunia bisnis digitalnya hidup.

Menurut Taufiq, tutupnya toko buku Gunung Agung itu membuktikan bahwa pihaknya telah kalah di ekosistem digital.

"Coba lihat seperti Gramedia dia tetap eksis, mereka terus berbisnis, menjual akses, keberadaan toko buku itu hanya untuk menjaga brand mereka. Di Gramedia dia menjual aksesoris, alat olahraga, jadi konter buku semakin berkurang, karena orang sudah berubah kesana," terangnya.

Taufiq membeberkan bahwa perpustakaan juga sangat bergantung pada penerbit, kalau penerbit tidak menjual buku lantas perpustakaan mau menyajikan apa di rak-raknya.

"Semua itu harus bergerak ke akses, artinya penerbit menjual akses kemudian perpustakaan yang dulunya membeli buku sekarang pustaka membeli atau berlangganan akses," imbuhnya.

Mantan Kepala UPT Perpustakaan USK ini menjelaskan, dengan penjualan akses tersebut maka muncul istilah bookless library atau perpustakaan tanpa buku. Jadi pustaka itu menjual suasana, juga bisa jadi meeting point, social space, dan learning space. [nor] 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda