Kamis, 31 Juli 2025
Beranda / Berita / Teuku Zulkhairi: Teumeunak di Medsos Cemari Marwah Islam dan Aceh

Teuku Zulkhairi: Teumeunak di Medsos Cemari Marwah Islam dan Aceh

Rabu, 30 Juli 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh sekaligus Akademisi UIN Ar-Raniry, Dr. Teuku Zulkhairi. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena maraknya perilaku tidak etis di media sosial, khususnya di kalangan netizen Aceh, kini menjadi keprihatinan serius. Kata-kata kasar, hinaan, fitnah, hingga makian yang terang - terangan tersebar di platform digital seperti TikTok, Facebook, dan kolom komentar berita, menunjukkan bahwa budaya “teumeunak” yang dulu sangat dijauhi kini seolah menjadi tontonan yang dinikmati, bahkan diviralkan.

Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh sekaligus Akademisi UIN Ar-Raniry, Dr. Teuku Zulkhairi, menyoroti fenomena ini sebagai bentuk kemerosotan nilai yang tidak hanya mencederai budaya Aceh, tapi juga bertentangan secara prinsipil dengan ajaran Islam.

“Dalam budaya Aceh, tutur kata adalah cermin kehormatan seseorang. Dulu, orang tua tidak akan membiarkan anak-anaknya berkata kasar. Bahkan seorang ibu di kampung rela menaruh cabai di mulut anaknya yang teumeunak, sebagai bentuk pendidikan bahwa kata-kata buruk tidak layak keluar dari lisan orang beradab,” ujar Dr. Zulkhairi kepada Dialeksis, Rabu (30/7/2025).

Zulkhairi menegaskan, larangan berkata kotor bukan sekadar tradisi warisan leluhur, melainkan ajaran inti dalam Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT secara jelas melarang umat-Nya dari sikap saling mengejek, mencela, dan menggunakan kata-kata kasar:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain."

(QS. Al-Hujurat: 11)

Tak hanya itu, Allah juga memerintahkan agar setiap muslim menjaga lisan dan berkata baik:

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”

(QS. Al-Baqarah: 83)

Lebih tegas lagi, Rasulullah SAW bersabda:

“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, mengutuk, berkata keji dan berkata kotor.” (HR. Tirmidzi)

Menurut Zulkhairi, ayat dan hadis ini menjadi landasan yang tidak bisa ditawar - tawar. “Setiap konten yang mengandung kata - kata kasar, umpatan, dan penghinaan adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai budaya Aceh sekaligus pengkhianatan terhadap akhlak Islam,” tegasnya.

Lebih lanjut, Zulkhairi menilai bahwa membiarkan budaya teumeunak tumbuh di ruang digital sama artinya dengan membiarkan marwah Aceh dan Islam diinjak - injak.

“Ini bukan soal sepele. Ini soal marwah. Ketika bahasa kotor menjadi konsumsi publik di media sosial, kita sedang menghancurkan dua warisan besar kita sekaligus: budaya Aceh yang santun dan Islam yang mulia,” ungkapnya.

Ia mengingatkan, etika bermedia sosial bukan sekadar urusan adab pribadi, tapi juga menyangkut konsekuensi hukum dan agama. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa menjerat pelaku penyebar ujaran kebencian, sementara dari sisi agama, perbuatan itu mendatangkan dosa dan murka Allah.

Menjawab tantangan ini, Dr. Zulkhairi mengusulkan pendekatan kolektif dalam membangun kesadaran digital masyarakat. Ia menyebut perlunya gerakan edukatif yang melibatkan keluarga, lembaga pendidikan, serta aparat pemerintahan.

“Di tingkat gampong, bisa dibentuk forum pembinaan warganet. Di sekolah dan kampus, harus ada kurikulum literasi digital Islami. Di rumah, orang tua harus kembali menjadi madrasah pertama dan utama,” sarannya.

Menurutnya, menjaga etika di dunia digital adalah bentuk aktualisasi dari nilai-nilai Islam dan budaya Aceh dalam kehidupan kontemporer. 

“Jangan warisan Islam dan budaya Aceh hanya jadi hiasan seminar dan baliho. Ia harus hidup dan dijaga, termasuk di ruang digital,” katanya.

Zulkhairi menutup pernyataannya dengan ajakan reflektif kepada seluruh masyarakat Aceh untuk kembali menghidupkan semangat menjaga lisan, tak hanya di kehidupan nyata, tapi juga di layar ponsel.

“Jika dulu kita menjaga lisan di warung kopi, maka hari ini kita harus menjaga lisan di layar ponsel kita. Karena dari situlah wajah Aceh dan wajah Islam kita dinilai oleh dunia,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI