PLN Sebut Harga Listrik Dari PLTU Berbasis Batu Bara Lebih Murah
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - PT PLN (Persero) menyebut harga listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara lebih murah daripada pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero) Evy Haryadi.
Evy mengungkapkan, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memang sudah rendah menjadi US$ 5 - 6 sen (sekitar Rp 725-870) per kilo Watt hour (kWh). Namun jika dibandingkan dengan PLTU yang telah beroperasi saat ini (existing), harga listrik dari PLTU batu bara ini masih jauh lebih murah karena ongkos produksinya hanya US$ 3 sen per kWh.
"Kalau sudah masuk ke sistem, bukan lagi totally cost PLTU, tapi marginal cost di mana marginal cost batu bara US$ 3 sen atau Rp 300 (per kWh)," paparnya dalam Webinar: Masa Depan Batubara dalam Bauran Energi Nasional, Senin malam (27/07/2021).
Melihat hal ini, maka biaya listrik rata-rata atau Levelized Cost of Electricity (LCOE) dari PLTS harus lebih rendah dari US$ 3 sen per kWh untuk bisa mengalahkan PLTU.
"Jadi kalau ada LCOE dalam bentuk PLTS, dia harus lebih rendah dari US$ 3 sen baru bisa kalahkan PLTU," tuturnya.
Namun demikian, dia mengakui, biaya listrik yang murah dari PLTU batu bara ini hanya berlaku untuk PLTU existing. Sementara untuk biaya listrik dari PLTU yang baru dibangun dan baru beroperasi masih jauh lebih mahal.
Dia mengatakan, harga listrik yang dihasilkan dari PLTU baru ini telah mencapai sekitar US$ 7 sen per kWh.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah memiliki proyek PLTU yang sudah dideklarasikan yakni 35 Giga Watt (GW). Proyek 35 GW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7,8%. Namun sayangnya pada tahun 2015- 2020 pertumbuhan ekonomi hanya 4-5%.
"Di sisi lain 35 GW beroperasi, sehingga perlu insentif-insentif yang perlu dibuat untuk mempertahankan pertumbuhan yang tinggi," paparnya.
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target, menurutnya saat ini consumer juga sudah bisa menjadi pro-sumer, yakni selain mengonsumsi, pelanggan juga sudah bisa memproduksi listrik melalui pemasangan PLTS Atap.
"Konsumen bisa pilih PV rooftop, pertumbuhan gak hanya akan masuk sistem PLN tapi juga bisa tumbuh juga di sektor itu langsung," jelasnya.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan pemanfaatan energi surya di RI masih sangat rendah.
Dia berpandangan harga pembangkit EBT semakin kesini semakin murah. PLTS dengan kapasitas di atas 10 MW membuat harganya menjadi lebih murah, yakni di kisaran US$ 5 sen kWh, turun jauh dari harga yang mulanya ada di kisaran US$ 10 sen per kWh.
"Tadinya US$ 10 sen, kini sudah ke arah US$ 5 sen (per kWh) dengan masuknya Cirata, Bali US$ 5,5 sen-US$ 5,9 sen," paparnya dalam Bincang-Bincang Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Jumat (23/07/2021).[CNBC Indonesia]