PIMM Gelar Diskusi Publik Bahas Peran Perempuan dalam Mengisi Kemerdekaan Indonesia
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Dewan Pengurus Daerah Aceh (DPD) Perempuan Indonesia Maju Mandiri (PIMM), Provinsi Aceh menggelar diskusi publik bertajuk "Peran Perempuan dalam Mengisi Kemerdekaan" di Universitas Ubudiyah Indonesia, pada Selasa, 20 Agustus 2024. Foto: Naufal Habibi/ dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Pengurus Daerah Aceh (DPD) Perempuan Indonesia Maju Mandiri (PIMM), Provinsi Aceh menggelar diskusi publik bertajuk "Peran Perempuan dalam Mengisi Kemerdekaan" di Universitas Ubudiyah Indonesia.
Acara yang berlangsung pada Selasa, 20 Agustus 2024 dimulai dari pukul 08.30 hingga 13.00 WIB ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting dan ratusan peserta yang terdiri dari akademisi, aktivis perempuan, dan masyarakat umum yang peduli terhadap peningkatan peran perempuan dalam pembangunan, khususnya di Aceh.
Diskusi publik ini menghadirkan tiga pemateri utama yang memiliki kompetensi di bidang masing-masing. Prof. Adjunct DR. Marniati, SE., M.KES., Rektor Universitas Ubudiyah Indonesia, berbicara mengenai "Peran Perempuan dalam Pembangunan di Aceh: Peluang dan Tantangan."
Sementara itu, Safrina Salim, SKM., M.Kes., Kepala Perwakilan BKKBN Aceh, membahas peran perempuan dalam menyiapkan Generasi Emas 2045 dari perspektif hukum keluarga.
Azriana R. Manalu, SH, mantan Ketua Komnas HAM RI (periode 2015-2019), turut memberikan pandangan tentang "Hak-Hak Perempuan dalam Konteks Pemilukada Indonesia, khususnya Aceh."
Diskusi yang dipimpin oleh moderator Nurul Akmal, SE., MM., ini juga menjadi momen penting dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara BKKBN dan Universitas Ubudiyah Indonesia.
MoU ini diharapkan akan menjadi langkah strategis dalam memperkuat kolaborasi dalam mendukung peran perempuan dalam pembangunan Aceh.
Dalam sambutannya, Prof. Marniati menyoroti berbagai tantangan yang masih dihadapi perempuan Aceh dalam dunia politik dan pembangunan.
Menurutnya, meskipun semakin banyak perempuan Aceh yang berani tampil sebagai pemimpin di berbagai tingkatan, ruang bagi mereka masih sangat terbatas.
"Perempuan masih sering menjadi pilihan nomor dua setelah laki-laki. Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita terima atau kita lawan," tegasnya.
Beliau juga mengkritik keras masih adanya penolakan terhadap kepemimpinan perempuan di Aceh, terutama di tingkat pemerintahan.
Meskipun Aceh memiliki sejarah panjang tentang peran perempuan dalam perjuangan, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati, diskriminasi terhadap perempuan masih terasa kuat.
"Andai saya laki-laki, mungkin saya sudah menjadi pilihan utama partai," ujarnya.
Safrina Salim dalam paparannya menekankan pentingnya peran perempuan dalam mempersiapkan generasi emas 2045.
Menurutnya, perempuan memiliki peran krusial dalam membentuk keluarga yang kuat dan sejahtera, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada pembangunan Aceh secara keseluruhan.
"Perempuan adalah pilar utama dalam keluarga, dan keluarga adalah unit dasar dalam masyarakat. Oleh karena itu, memperkuat peran perempuan berarti memperkuat masyarakat dan negara," jelasnya.
Azriana R. Manalu, yang berbicara tentang hak-hak perempuan dalam konteks Pemilukada, menyoroti bagaimana perempuan sering kali terpinggirkan dalam proses politik di Aceh.
"Hak-hak perempuan dalam politik harus dilindungi dan diperjuangkan, terutama dalam konteks Aceh yang memiliki karakteristik politik yang unik," katanya.
Beliau juga menyerukan agar ada kebijakan yang lebih proaktif dari pemerintah untuk memastikan partisipasi perempuan dalam politik.
Menutup acara, Prof. Marniati menyampaikan harapannya agar diskusi ini tidak hanya menjadi sekadar wacana, tetapi juga menjadi momentum untuk merenungkan dan mengevaluasi sejauh mana peran perempuan telah berkembang dalam pembangunan Aceh.
"Kita perlu memastikan pemerintah hadir untuk memberikan perlindungan dan keberpihakan pada perempuan dalam segala bidang, baik itu pendidikan, ekonomi, politik, hukum, maupun sosial," katanya.
Beliau juga menyoroti pentingnya dukungan dari semua pihak untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di Aceh.
"Saya bertekad untuk mematahkan isu bahwa perempuan tidak boleh memimpin di provinsi ini suatu hari nanti. Ini bukan hanya tentang hak perempuan, tetapi juga tentang masa depan anak-anak kita," ujarnya.
Diskusi ini diakhiri dengan ajakan dari Prof. Marniati kepada seluruh perempuan Aceh untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka dan berkontribusi aktif dalam pembangunan.
Diharapkan dengan semangat ini, diskusi publik tersebut tidak hanya memperkuat peran perempuan dalam pembangunan Aceh, tetapi juga menjadi platform penting untuk membahas isu-isu yang masih menghambat kemajuan perempuan di provinsi ini.
"Mari kita ubah diri kita dan melindungi generasi penerus dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan. Kita harus berada di garis terdepan dalam pemerintahan untuk memastikan perempuan Aceh mendapatkan perlindungan dan kesetaraan yang mereka layak dapatkan," pungkasnya.***