Senin, 07 Juli 2025
Beranda / Berita / Pengamat: Seragam Batik Sekolah, Pola Baru Pungli yang Membebani Siswa Miskin

Pengamat: Seragam Batik Sekolah, Pola Baru Pungli yang Membebani Siswa Miskin

Sabtu, 05 Juli 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Pengamat kebijakan publik sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala, Dr. Nasrul Zaman. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Seragam batik yang diwajibkan kepada siswa SD, SMP, SMA, dan SLB di Aceh dinilai menjadi cara baru pungutan liar (pungli) yang menggerogoti akses pendidikan bagi warga miskin. Kritik keras ini datang dari pengamat kebijakan publik sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala, Dr. Nasrul Zaman.

Menurut Nasrul, praktik ini kerap terjadi secara berulang saban tahun ajaran baru. Orang tua siswa, kata dia, dipaksa membeli seragam batik, sepatu, hingga alat tulis di toko atau penjahit tertentu yang ditunjuk oleh sekolah. 

“Ini bukan sekadar soal pakaian. Ini cara baru mereka meraup untung, dengan memanfaatkan kekuasaan dan celah dalam sistem pendidikan,” kata Nasrul melalui keterangan tertulis kepada Dialeksis, Sabtu, 5 Juli 2025.

Dia menyebut, akumulasi biaya yang harus ditanggung orang tua bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kebijakan masing-masing sekolah. Beban ini, lanjutnya, sangat tidak adil, terutama bagi keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan harian.

“Wajib belajar sembilan tahun itu idealnya memberi ruang luas bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk tetap bisa sekolah. Tapi kenyataannya, biaya seragam yang tinggi justru menjadi penghalang,” ujarnya.

Nasrul menganggap kewajiban memakai seragam batik bukanlah bagian dari peningkatan mutu pendidikan. Bahkan sebaliknya, menjadi beban tambahan yang tidak memiliki nilai akademik. “Tidak ada hubungan antara kualitas pendidikan dan seragam batik. Ini hanya memelihara budaya rente di lingkungan sekolah,” tegasnya.

Ia mendesak Dinas Pendidikan Aceh turun tangan menertibkan aturan penggunaan seragam di sekolah-sekolah. Menurutnya, dinas harus bersikap tegas dan melarang pemaksaan penggunaan seragam tertentu yang tidak esensial. 

“Kami minta Dinas Pendidikan bersikap. Jangan biarkan pendidikan kita terjebak dalam urusan kain dan sepatu yang justru menjauhkan anak-anak dari ruang kelas,” katanya.

Bagi Nasrul, pendidikan seharusnya menyingkirkan semua bentuk hambatan, termasuk yang berasal dari dalam institusinya sendiri. Ia menekankan bahwa pemerintah daerah, sekolah, dan para guru mestinya memastikan bahwa pendidikan tetap inklusif dan adil.

“Pendidikan harus jadi jalan pembebasan, bukan menjadi ruang eksploitasi ekonomi bagi orang tua siswa. Jika batik itu hanya simbol formalitas yang mahal, lebih baik ditiadakan saja,” tutupnya.

Pernyataan Nasrul ini mencuat di tengah meningkatnya keluhan masyarakat terhadap biaya masuk sekolah, khususnya di jenjang dasar dan menengah. Dalam banyak kasus, komite sekolah dan pihak manajemen diduga menjalin kerja sama dengan pihak tertentu untuk pengadaan seragam, sepatu, hingga alat tulis, dengan harga yang tidak kompetitif.

Hingga berita ini diturunkan, Dinas Pendidikan Aceh belum memberikan tanggapan resmi. Namun desakan publik untuk meninjau ulang kebijakan seragam sekolah terus menguat.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI