Para Miliarder Berlomba ke Luar Angkasa
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta- Minggu lalu Virgin Galactic perusahaan komersial luar angkasa asal Inggris sukses mengangkut miliarder Richard Branson terbang, setinggi 86 km di atas permukaan Bumi. Hal ini memicu perlombaan miliarder dunia untuk mencicipi perjalanan luar angkasa berikutnya.
Jeff Bezos pemilik dari Amazon juga menginginkan pengalaman serupa. Kedua pebisnis kelas kakap itu berkeinginan mendorong banyak orang kaya di dunia melakukan perjalanan ke luar angkasa.
"Kita di sini ingin membuat luar angkasa ini lebih terjangkau untuk semua orang," kata Branson setelah penerbangan, melansir The Guardian, Senin (19/7).
"Selamat datang di new space age," tambahnya.
Ternyata sudah banyak orang yang memesan penerbangan ke luar angkasa ini. Perusahaan seperti Space X, Virgin Galactic, dan Space Adventures ingin membuat program perjalanan luar angkasa ini menjadi hal yang normal.
Miliarder Jepang Yusaku Maezawa berinvestasi di program Space X pada 2018 untuk mendapatkan akses private trip mengelilingi bulan dan kembali. Juni ini ada seorang yang merahasiakan diri sosoknya mengaku sebagai space enthusiast membayar US$ 28 juta untuk terbang menggunakan Blue Origin's New Sehepard dengan Jeff Bezoz.
Namun, peluncuran industri pariwisata ruang angkasa ini berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan pada lingkungan, kata Profesor Geografi di University College London, Eloise Marais. Bahkan bahan bakar pesawat jet itu bisa berdampak negatif bagi atmosfer Bumi.
Dia mencontohkan, ketika roket diluncurkan ke luar angkasa, mereka membutuhkan jumlah besar propelan atau bahan pendorong roket untuk keluar dari atmosfer. Untuk roket Falcon 9 Space X adakah kerosene, dan untuk NASA itu adalah hydrogen cair dalam sistem peluncuran luar angkasa mereka.
Bahan bakar itu memancarkan berbagai zat ke atmosfer, termasuk karbon dioksida, air, klorin, dan bahan bakar kimia lainnya.
"Emisi karbon dari roket itu masih kecil dibandingkan dengan industri pembuatan pesawatnya," kata Marais.
Namun, mereka meningkat hampir 5,6% per tahun dan Marais telah menjalankan simulasi selama satu dekade untuk mencari tahu pada titik mana bagaimana karbon dioksida dapat terkumpul di atas atmosfer.
"Untuk satu penerbangan jarak jauh, itu satu hingga tiga ton karbon dioksida," kata Marais.
"Sementara untuk peluncuran roket itu menghasilkan 200-300 ton karbon dioksida dua kali lipat lebih besar," jelasnya.
Jumlah penerbangan roket masih sangat kecil. Sepanjang tahun 2020 misalnya ada 114 percobaan peluncuran orbital di dunia menurut NASA. Itu setara dengan 100 ribu penerbangan di setiap hari di industri penerbangan.
Namun, emisi dari roket dipancarkan langsung ke atmosfer, yang berarti karbon dioksida tinggal di bagian itu lebih lama dua hingga tiga tahun.[CNBC Indonesia]