kip lhok
Beranda / Berita / Orang Indonesia Kurang Bahagia Dibanding Sejawatnya di Asean

Orang Indonesia Kurang Bahagia Dibanding Sejawatnya di Asean

Senin, 19 Juli 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Masyarakat Indonesia ternyata kurang bahagia dibandingkan sejawatnya di Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Paling tidak itulah yang bisa dibaca dalam laporan Indeks Kebahagiaan Dunia 2021. Dilihat dari skor dan rankingnya, Indonesia lebih baik dibandingkan hasil report tahun sebelumnya.

Laporan tahunan yang ke-9 ini disusun para peneliti dalam Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB. Dari 149 negara yang diteliti, Indonesia dengan skor 5,345 berada di posisi ke-82. Pada indeks sebelumnya, skor Indonesia 5,286 dan menempati ranking ke-84. Indonesia paling tidak lebih bahagia dibandingkan penduduk Cina dan Turki.

Tim ini membuat peringkat berdasarkan tujuh variabel, yakni tingkat produk domestik bruto per kapita, dukungan sosial, tingkat harapan hidup sehat, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kemurahan hati, persepsi atas korupsi, dan distopia (ketakutan akan hidup yang dipersepsikan lebih buruk di masa datang).

Berbagai data tersebut dikumpulkan dari banyak lembaga riset. Beberapa data yang dipakai berasal dari the Gallup World Poll, Lloyd’s Register Foundation, dan the Institute of Global Health Innovation. Untuk laporan tahun 2021, para peneliti memasukkan dampak pandemi Covid-19 dalam indeks.

Apa yang membuat orang Indonesia kurang bahagia? Ada perubahan konstelasi penyebab penduduk Indonesia kurang bahagia. Pada laporan 2020, tiga penyebab terbesar adalah distopia, dukungan sosial, dan PDB per kapita. Pada 2021, faktor distopia dan PDB per kapita membesar, sebaliknya dukungan sosial mengecil.

Berdasarkan gabungan data di atas, kesejahteraan sosial memang terlihat menurun. Untuk melihat ini para peneliti menggabungkan tiga data: perubahan data PDB per kapita, perubahan tingkat pengangguran, dan jumlah kematian akibat Covid-19. Secara total kesejahteraan penduduk Indonesia turun 0,9 persen.

Menurut psikolog klinis Roslina Verauli, perubahan kehidupan di tengah pagebluk merupakan stresor (penyebab stres). Hampir satu setengah tahun, situasi tak juga membaik. Saat terjadi berkepanjangan, stres berubah menjadi stres kronis. Hal ini menimbulkan kelelahan mental, emosi-emosi negatif, hingga burn out pada individu.

Tentu saja, kata Vera, kondisi tersebut memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang. Terutama masyarakat di Indonesia dengan pola kekerabatan yang erat, dan budaya kolektif yang senang berkumpul, mulai dari urusan ronda, arisan, hingga halalbihalal. Tiba-tiba, di saat pandemi, semua itu jadi terlarang.

Pandemi membuat sebagian besar dari kita bekerja dalam isolasi dan saling berjauhan. “Tidak heran bila tingkat kebahagiaan orang Indonesia mengalami perubahan,” ujar Vera kepada Lokadata, Jumat (16/7/2021). Untuk mengatasinya, kata Vera, keluarga menjadi tumpuan untuk meningkatkan ketangguhan menghadapi krisis atau pandemi.

Untuk membentuk pribadi yang tangguh dalam menghadapi pandemi, kata Vera, yang harus diperbaiki adalah pola organisasi dalam keluarga. Di dalamnya, antara lain terdapat faktor kedekatan secara emosional, dukungan sosial, dan fleksibilitas dalam menjalankan berbagai peran di dalam keluarga.

Dua faktor lainnya adalah komunikasi dalam keluarga dan sistem kepercayaan (beliefs) dalam keluarga. Setiap anggota keluarga sebaiknya saling terbuka membicarakan perasaannya, dan dapat berkomunikasi dengan jelas. Sistem kepercayaan tecermin dalam kemampuan memaknai kesulitan hidup, aspek religiositas, dan kemampuan mempertahankan pandangan positif.[Lokadata]

Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda