kip lhok
Beranda / Berita / Meskipun Terlarang Perkawinan Usia Dini Masih Tinggi

Meskipun Terlarang Perkawinan Usia Dini Masih Tinggi

Senin, 17 Mei 2021 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Perkawinan anak atau perkawinan pada usia dini masih juga marak meskipun pemerintah sudah menaikkan batas minimal usia pernikahan laki-laki dan perempuan. Trennya memang menurun, namun jumlahnya masih cukup mengkhawatirkan.

Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa batas usia pernikahan untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Batas usia ini kemudian direvisi melalui UU No. 16/2019 menjadi sama-sama 19 tahun, baik untuk pria maupun perempuan.

Badan Pusat Statistik merekam data usia kawin pertama penduduk Indonesia lewat Survei sosial ekonomi nasional (Susenas). Hasilnya menunjukkan bahwa perkawinan usia dini memang menurun tapi tak cukup signifikan. Penerapan UU baru tak banyak berpengaruh pada perkawinan anak-anak.

Dari total populasi muda-mudi menurut usia kawin pertama, pada 2017 tercatat 2,66 persen anak usia di bawah 16 tahun menikah. Jumlahnya sekitar 700 ribu. Pada kategori usia 16 hingga 18 tahun, jumlahnya kira-kira 5,5 juta atau 20,89 persen.

Pada 2019 ketika UU 16/2019 disahkan, terdapat 2,52 persen anak usia di bawah 16 tahun menikah. Secara absolut jumlahnya berkurang walau masih lebih dari 661 ribu anak. Penurunan juga terlihat pada kategori usia anak 16 hingga 18 tahun. Tepatnya 20,55 persen atau sekitar 5,3 juta anak.

Survei yang terakhir digelar pada Maret 2020 menunjukkan hasil menggembirakan: angka pernikahan anak turun. Pada kategori usia di bawah 16 tahun menjadi 2,16 persen (561 ribu) dan pada usia 16-18 tahun sebanyak 19,68 persen (5,1 juta anak). Jumlah ini tergolong masih sangat besar.

Dan lagi, menurut Yayasan Sapa, kenyataan di lapangan berbeda. “Saya melihat justru kasus pernikahan anak ini semakin meningkat,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Sapa, Sri Mulyati kepada Lokadata.id, Kamis (6/5/2021). Yayasan Sapa adalah organisasi relawan di Kabupaten Bandung yang fokus pada isu perempuan.

Sri berkisah, dalam situasi pandemi ada kecenderungan tingkat ekonomi masyarakat turun. Biasanya di kelompok masyarakat bawah yang dikorbankan adalah pendidikan anak perempuan, salah satunya adalah dengan menikahkan anak perempuan di usia dini. “Tingkat risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi di masa pandemi,” kata Sri.

Undang-undang memang memberikan lubang (loophole) untuk pengesahan perkawinan usia dini. Perkawinan di bawah umur bisa disahkan jika ada dispensasi dari Pengadilan Agama. Peluang inilah yang banyak dimanfaatkan orang tua untuk menikahkan anak perempuannya dengan berbagai alasan, di antaranya ekonomi, dan hamil sebelum nikah.

Seorang pembantu pegawai pencatat nikah (P3N) sebuah desa di Kabupaten Bandung, Jawa Barat menuturkan betapa mudahnya proses itu. “Nanti mereka (calon pengantin) dites baca Al-Quran, dan solat. Dengan bawa orang tua mereka ditanya alasannya ingin menikah apa. Sudah itu dapat dispensasi.”

Selain itu, pernikahan tersebut seringkali tak tercatat secara hukum. Akibatnya, pengantin anak tak memiliki buku nikah. Kelak, anak mereka pun sulit mengurus akte kelahiran. “Selama masih ada dispensasi, Undang-Undang tak ada gunanya,” kata petugas P3N yang tak mau disebut namanya itu kepada Lokadata.

Dampak buruk pernikahan anak begitu banyak, baik fisik maupun psikis, terutama pada kaum perempuan. Beberapa yang terekam di media massa adalah tingginya tingkat kematian ibu usia remaja, dan bayi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian pada perkawinan usia muda, hingga hambatan karier perempuan.

Itu sebabnya, pemerintah harus memasukkan variabel lain di luar batasan usia. Misalnya, pendidikan minimal, terutama untuk anak perempuan, setidaknya SMA atau yang sederajat. Sosialisasi tentang dampak buruk pernikahan anak juga harus menjangkau orang tua, terutama di daerah-daerah yang memiliki angka perkawinan dini yang tinggi.[Lokadata]

Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda