DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lembaga Swadaya Masyarakat Koalisi Masyarakat Pejuang Keadilan (LSM KOMPAK) menyoroti keras maraknya aktivitas tambang Galian C ilegal di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang diduga kuat berlangsung di bawah pembiaran aparat penegak hukum.
Koordinator LSM KOMPAK, Saharuddin, mengungkapkan bahwa aktivitas pengambilan batu gajah di Desa Kuta Jeumpa, Kecamatan Jeumpa, telah berlangsung secara terang-terangan tanpa izin resmi. Lebih ironis lagi, material hasil tambang ilegal tersebut disebut digunakan dalam proyek pembangunan breakwater di Desa Panjang Baru, Kecamatan Susoh, yang dibiayai dari anggaran APBN.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pelecehan terhadap prinsip keadilan hukum dan sosial. Proyek negara tidak boleh mengandalkan hasil kejahatan lingkungan,” tegas Saharuddin, Kamis (9/10/2025).
Menurutnya, penggunaan material ilegal dalam proyek pemerintah menunjukkan lemahnya moral hukum di tingkat lokal. Aparat terkesan menutup mata, sementara praktik pelanggaran hukum berlangsung tanpa hambatan.
LSM KOMPAK juga mengungkap adanya dugaan bahwa rekanan proyek tersebut memiliki hubungan keluarga dengan salah satu anggota DPR RI. Dugaan ini, menurut Saharuddin, menjadi alasan aparat di lapangan enggan melakukan penindakan tegas.
“Kalau benar ada hubungan darah dengan pejabat pusat, apakah itu berarti hukum tidak berdaya? Penegakan hukum jangan hanya berani terhadap rakyat kecil. Hukum harus tajam ke atas, bukan sebaliknya,” sindirnya.
Ia menegaskan, praktik seperti ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai dasar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan di hadapan hukum, serta Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari sisi sosial dan lingkungan, aktivitas tambang ilegal tersebut dinilai berpotensi merusak ekosistem, mencemari sumber air, serta menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat sekitar.
“Batu gajah itu digali tanpa izin, tanpa kajian lingkungan, dan tanpa tanggung jawab. Ketika banjir datang atau sungai rusak, rakyat kecil yang menanggung akibatnya, bukan pejabat atau rekanan proyek,” ujar Saharuddin dengan nada kesal.
LSM KOMPAK menilai pembiaran ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural, di mana kekuasaan digunakan untuk melindungi pelaku ekonomi kuat dengan mengorbankan kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Saharuddin mendesak Kapolda Aceh untuk turun langsung dan menindak tegas seluruh pihak yang terlibat tanpa pandang bulu. Ia menilai, kasus ini menjadi ujian moral dan integritas bagi aparat penegak hukum di Aceh.
“Kapolda Aceh harus membuktikan bahwa hukum tidak bisa dibeli oleh kekuasaan atau relasi politik. Hentikan segera galian ilegal, tangkap pelakunya, dan bersihkan aparat yang bermain mata,” ujarnya lantang.
Ia juga menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga ke tingkat pusat. Jika penegakan hukum di Aceh tidak menunjukkan hasil nyata, LSM KOMPAK berencana melayangkan laporan resmi ke Mabes Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Rakyat Aceh menunggu keberanian aparat untuk membuktikan bahwa hukum masih hidup di negeri ini,” pungkas Saharuddin.