KPI Larang Pendakwah dari Organisasi Terlarang Masuk TV, Indikatornya Harus Jelas Dulu
Font: Ukuran: - +
Reporter : Roni
Akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Dr T Lembong Misbah. [Dok. Nat]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, menampilkan pendakwah dari organisasi terlarang. Aturan itu dituangkan dalam Surat Edaran KPI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan.
Menanggapi hal itu, Akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Ar-Raniry, Dr T Lembong Misbah mengatakan, aturan ini harus jelas terlebih dahulu apa yang menjadi indikator pendakwah terpapar organisasi terlarang sebagaimana yang dimaksud KPI.
"Perlu di-clear-kan dulu kriteria terpapar organisasi terlarang yang dimaksud itu seperti apa. Jadi istilahnya indikatornya harus jelas," kata Dr T Lembong Misbah saat dihubungi Dialeksis.com, Selasa (23/3/2021).
"Kalau pun ada pelarangan berarti yang harus betul-betul dijaga itu adalah bagaimana mengukur, nah ini yang sering tidak match, kadang kala pelarangan itu sudah masuk pada tataran like or dislike (suka atau tidak). Tak boleh begitu, tak ada kebenaran di situ," tambahnya.
Menurutnya, tanpa ada indikator yang jelas untuk menentukan pendakwah terpapar organisasi terlarang atau radikal, maka akan banyak orang yang terzalimi dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk meredam suara-suara yang vokal.
"Nah, itu yang tak baik dalam kacamata demokrasi. Kemudian dalam menentukan indikator itu juga tidak bisa diambil dari sepihak, indikator itu harus ada pendekatan dari perspektif agama. Memang ada kalanya ya, sampaikan walau itu berat. Misal khamar, judi, khalwat, ya memang begitu bahasa Al-Qur'an. Nggak bisa disebutkan yang lain seperti disederhanakan begitu, nggak bisa," ujar Lembong.
"Kita semua sepakat, yang dilarang itu jelas adalah mereka yang berkata menghina, mencaci maki dan mengajak pada kerusuhan. Makanya saya pikir persoalan ini harus ditempatkan dulu secara proporsional, bukan dalam pengertian yang umum sehingga bisa ditarik-tarik kemanapun orang suka," tambahnya.
Polemik-polemik yang terjadi soal penceramah ini menurutnya tidak boleh terus berlarut-larut.
"Saya pikir begini, setiap kita baik pemerintah ataupun warga negara sejatinya mulai membangun fraksi (kelompok) kecurigaan atau mengendapkan politik curiga isenglah. Jadi kalau terlalu mengedepankan politik itu, ya kita ini tidak akan ada akurnya, saling tuding menuding antara satu dengan yang lain," ujar Lembong.
"Jadi harus dibangun sekarang semacam pengertian bersama, pemerintah sebenarnya berkeinginan membangun peradaban dan kedamaian, saya yakin semua masyarakat juga ingin begitu. Keinginannya sebenarnya sudah sama, hanya saja karena ada hembusan-hembusan mencurigai satu sama lain, tidak percaya dengan kelompok inilah, kelompok sanalah, nah itu yang kemudian terus menerus menciptakan pergesekan. Saya kira ini harus segera dihentikan," pungkasnya.