Komnas HAM Kecewa Dialog Jokowi & OPM Terjegal Label Teroris
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengungkap bahwa Presiden Joko Widodo sempat membuka opsi rekonsiliasi lewat dialog damai untuk mengakhiri konflik bersenjata di Papua. Namun rencana itu tak pernah terealisasi hingga kini.
Menurut Damanik, opsi itu diutarakan Jokowi setelah menerima usulan Komnas HAM untuk menyudahi konflik di Papua dengan damai. Persetujuan Jokowi kala itu turut disaksikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
"Itu [usulan damai] kami sampaikan. Presiden mengatakan iya. Di depan Menko Polhukam. Jadi ada Pak Mahfud waktu itu, dan ada Pak Pratikno," ujar Damanik dalam diskusi daring, Rabu (5/5) petang.
Bahkan usai pertemuan, kata Damanik, Jokowi sempat memerintahkan Mahfud dan Pratikno agar berdiskusi lebih dalam terkait hal itu dengan Komnas HAM. Di samping itu, Komnas juga mulai menyusun dokumen langkah-langkah yang harus diambil.
Secara berturut-turut, Damanik mengaku pihaknya juga mulai membuka komunikasi dengan Panglima TNI dan Kapolri. Kepada Panglima dalam salah satu pertemuan, Damanik menyampaikan, pendekatan keamanan terbukti tak bisa menyudahi aksi kekerasan yang terus terjadi di Bumi Cenderawasih.
Dia menyinggung konflik serupa yang sempat terjadi di Aceh. Dimulai sejak tahun 1950an, konflik tersebut diakhiri dengan damai lewat perjanjian Helsinki pada 2005.
"Itu di berbagai kesempatan saya katakan," kata Damanik.
Secara pribadi, Damanik juga mengaku sempat menanyakan kepada Panglima TNI, terkait kemungkinan mengubah model operasi agar lebih lunak di Papua. Menjawab hal itu, Panglima TNI Hadi Tjahjanto menurut dia setuju.
Merasa mendapat sinyal positif lewat sejumlah pertemuan itu, Damanik kemudian mengutus Fritz Ramandey, wakil Komnas HAM di Papua, untuk membuka dialog dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terkait kemungkinan pertemuan bisa digelar.
Suatu waktu, ia kaget sebab laporan dari Fritz kepadanya menyebut, sejumlah petinggi OPM setuju menggelar dialog dengan pemerintah. Meski persetujuan itu tak diterima anggota lain.
"Saya kaget ketika Fritz katakan kepada saya, 'Pak Ketua, mereka bersedia berdialog. Tadi juga ada yang tidak bersedia,'" kata Damanik.
Label Teroris Dipersoalkan
Namun, rencana itu belakangan pupus setelah dalam sebuah pertemuan lanjutan, Mahfud mendadak mengajukan pertanyaan kepada Damanik. Kepadanya, Mahfud mengaku menerima usulan untuk melabeli OPM, atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai organisasi teroris.
Usulan itu datang bersamaan dengan insiden penembakan yang menewaskan Kepala BIN Papua, Brigadir Jenderal I Gusti Putu Danny Nugraha Karya. Meski ia tolak, Damanik menilai situasi itu semakin memperkuat legitimasi untuk pemerintah menyetujui usulan KKB sebagai teroris.
"Kemudian tiba-tiba muncul gagasan, dan dibarengi dengan terbunuhnya Kabinda ini. Jadi semacam ada legitimasi untuk kemudian mengabsahkan," katanya.
"Tapi sekali lagi saya katakan, Komnas dengan tegas mengatakan kami kecewa dan mempersoalkan terhadap kebijakan itu," imbuhnya.
Damanik mengatakan pihaknya saat ini telah menarik utusan rencana dialog antara OPM dengan pemerintah usai label itu resmi diumumkan. Meski begitu, ia berharap pemerintah masih mempertimbangkan kemungkinan melanjutkan rencana untuk awal menyelesaikan segregasi di Papua dengan damai.
Ia turut membantah sejumlah pernyataan pejabat yang bilang mayoritas warga Papua mendukung keputusan memerangi OPM. Damanik mengaku masih menerima fakta di lapangan bahwa mayoritas masyarakat ingin konflik di Papua diselesaikan dengan damai.
"Tim kami di Papua selalu mengatakan, saya tanya berkali-kali apa pendapat mayoritas masyarakat. Mereka mengatakan damai. Suara itu sudah sampaikan dan kami sudah mengajak dialog tokoh agama," katanya.[CNN Indonesia]