Beranda / Berita / JSI Gelar FGD RUU Polri, Ini Sejumlah Catatan Penting

JSI Gelar FGD RUU Polri, Ini Sejumlah Catatan Penting

Selasa, 23 Juli 2024 14:15 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Jaringan Survey Inisiatif (JSI) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema "RUU Polri: Antara Reformasi dan Ancaman Demokrasi" pada Selasa, 23 Juli 2024, di Banda Aceh. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jaringan Survey Inisiatif (JSI) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema "RUU Polri: Antara Reformasi dan Ancaman Demokrasi" pada Selasa, 23 Juli 2024, di Banda Aceh. 

Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dengan latar belakang dan keahlian yang beragam, membahas reformasi kepolisian dan penegakan hukum di Indonesia. 

Diantaranya Ridwan Hadi, SH, MH (Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Aceh), Sepriady Utama (Kepala Kantor Komnas HAM Aceh), Dr. Otto Syamsuddin Ishak (sosiolog dan akademisi USK), Adi Warsidi (wartawan senior), Arman Fauzi (Ketua Komisi Informasi Aceh), A Malik Musa (Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh), Putri Nofriza, S.Si, M.Si (Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Aceh), Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh), Aryos Nivada (Dosen FISIP USK), dan Akbar Anzulai (Ketua Ikatan Mahasiswa Kota Banda Aceh (Ikamba)).

Dalam diskusi tersebut, Adi Warsidi menyuarakan penolakannya terhadap revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memperluas wewenang kepolisian. 

Menurutnya, kewenangan yang diatur dalam revisi ini, termasuk pengawasan dan pemblokiran dengan aturan siber, berpotensi memutus peran wartawan dalam menentukan fakta atau hoaks. Yang lebih mengancam lagi adalah wewenang penyadapan tanpa perlu izin. 

"Setiap tahun polisi mendapat peringkat paling atas pelanggaran HAM dan diadukan warga," ucapnya.

Sejalan dengan itu, Aryos Nivada, dosen FISIP USK, menyatakan bahwa rencana revisi UU Polri memuat kewenangan polisi yang terlalu luas, padahal esensi kepolisian adalah memberi keamanan pada warga, bukan menakut-nakuti.

Sementara itu, menurut Kepala Kantor Komnas HAM Aceh Sepriady Utama, perlunya memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam RUU Polri dengan memasukkan klausul yang lebih eksplisit tentang batasan penggunaan kekuatan dan pertanggungjawaban yang lebih jelas. 

Ia juga menekankan pentingnya evaluasi ulang terhadap kewenangan yang terlalu luas yang dapat disalahgunakan, sehingga mengancam prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana.

Semua peserta FGD sepakat bahwa revisi RUU Polri perlu dilakukan secara komprehensif dan hati-hati untuk memastikan bahwa perubahan yang diusulkan benar-benar mampu meningkatkan efektivitas, profesionalisme, dan akuntabilitas Polri dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum yang adil dan berintegritas.***

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda