Jejak Tommy Soeharto di Kasus BLBI
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akhirnya memanggil Hutomo Mandala Putra atau dikenal Tommy Soeharto terkait penyelesaian hak tagih negara dana BLBI senilai Rp 2,61 triliun.
Dalam pengumuman yang dipublikasi di media massa, pemanggilan ini ditujukan kepada Tommy Soeharto, Pengurus PT Timor Putra Nasional, dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono.
BLBI merupakan dana darurat yang disuntik pemerintah kepada Bank Swasta dan BUMN pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998. Dana tersebut dibagikan oleh pemerintah ketika penutupan 16 bank pada tahun 1997 memicu serbuan para deposan Indonesia yang takut kehilangan tabungan mereka jika bank yang mereka gunakan ditutup.
Karena ancaman semua bank rentan akan kolaps apabila semua deposan tiba-tiba memutuskan untuk menarik simpanannya, akhirnya pemerintah memberikan bantuan likuaditas. Situasi ini diperparah akibat devaluasi rupiah, meninggalkan bank-bank tersebut tanpa arus kas yang memadai untuk membayar para deposan. Biaya awal BLBI mencapai Rp 144,5 triliun.
Salah satu diantaranya adalah bank milik anak mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal sebagai Tommy Soeharto. Bank Pesona Utama milik Tommy memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp 2,33 triliun.
Secara rinci Kesepuluh bank yang disebutkan Hicks adalah sebagai berikut:
BDNI milik Sjamsul Nursalim memperoleh Rp 37,04 triliun
Bank BCA milik Liem Sioe Liong memperoleh 26,59 triliun
Bank Danamon milik Usman Admadjaja memperoleh 23,05 triliun
Bank Umum Nasional milik Bob Hasan dan Kaharudin Ongko memperoleh 12,06 triliun
Bank Indonesia Raya perusahaan publik (Bambang Winarso) memperoleh Rp 4,02 triliun
Bank Nusa Nasional milik Aburizal Bakrie memperoleh Rp 3,02 triliun
Bank Tiara Asia perusahaan publik (HR Pandji M. Noe) memperoleh Rp 2,97 triliun
Bank Modern milik Samadikun Hartono memperoleh Rp 2,55 triliun
Bank Pesona Utama milik Hutomo Mandala Putra memperoleh 2,33 triliun
Bank Asia Pacific memperoleh 2,05 triliun
Kesepuluh Bank tersebut memperoleh dana BLBI senilai total Rp 115,71 triliun.
Meskipun tujuan utama BLBI adalah untuk memastikan para deposan dapat memperoleh kembali tabungannya, Hick mengungkapkan bahwa dana tersebut banyak disalahgunakan oleh para pemilik bank yang menggunakannya untuk menuangkan ke dalam kerajaan bisnis mereka yang runtuh.
Ada juga laporan pemilik bank yang menggunakan dana BLBI untuk spekulasi dolar dan mentransfernya ke luar negeri, sehingga memperparah devaluasi rupiah.
Mengutip berbagai sumber, Bank milik Tommy tersebut awalnya bernama Bank Pesona Kriyadana yang lahir dari merger tiga bank yang berasal dari tiga kota yang berbeda yakni Bank Kota Asri (Surabaya), Bank Parahyangan Ekonomi (Bandung) dan Berdjabat Banking Corp (Jakarta) pada 20 Mei 1974.
Nama bank hasil merger itu dinamakan Overseas Express Bank, atau disingkat OEB. OEB kemudian melakukan merger beberapa kali lagi dengan bank lain. Tercatat, pada era 1980-an, bank ini terus tumbuh, setelah sahamnya diambil alih (50%) oleh Bank Indonesia pada April 1980 dan sisanya dimiliki oleh investor lain.
Pada tahun 1991, OEB pun diakuisisi dan berpindah tangan ke grup Humpuss (Tommy Soeharto) dan Arseto (Sigit Harjojudanto) sebanyak 70% (dengan harga diperkirakan Rp 170 miliar). Mereka kemudian menyuntikkan dana sebesar Rp 400 miliar ke bank tersebut, dengan sisa 30%-nya diakuisisi oleh Mamiek Soeharto. Pasca akuisisi oleh anak-anak Presiden Soeharto, bank tersebut kemudian berganti nama baru menjadi Bank Utama pada tanggal 18 Agustus 1992.
Pada akhirnya, setelah segala upaya dilakukan termasuk memberikan tambahan BLBI hingga mencapai Rp 2.334.896.340.396, Bank Pesona kemudian diputuskan untuk dibekukan menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada 13 Maret 1999, dan berakhirnya riwayat bank yang tiga kali berganti nama itu kemudian ditegaskan dengan likuidasi bank pada 27 April 2004.[CNBC Indonesia]