Minggu, 13 Juli 2025
Beranda / Berita / Duta Bahasa Aceh 2024: Bangga Berbahasa Aceh Tanda Anak Muda Cerdas Budaya

Duta Bahasa Aceh 2024: Bangga Berbahasa Aceh Tanda Anak Muda Cerdas Budaya

Sabtu, 12 Juli 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Rafifatul Salma, Duta Bahasa Provinsi Aceh Tahun 2024. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekhawatiran akan punahnya bahasa Aceh kini semakin terasa nyata. Di tengah pesatnya globalisasi dan derasnya arus informasi digital, eksistensi bahasa daerah seperti bahasa Aceh semakin terpinggirkan, terutama di kalangan generasi muda. 

Rafifatul Salma, Duta Bahasa Provinsi Aceh Tahun 2024, memberikan pandangannya mengenai kondisi ini dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan menghidupkan kembali bahasa Aceh agar tidak hilang dari keseharian masyarakat.

Menurut Salma, tantangan utama pelestarian bahasa Aceh hari ini adalah perubahan pola komunikasi generasi muda yang semakin jauh dari akar budaya. 

Ia menyebutkan bahwa anak-anak muda saat ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia gaul atau bahkan bahasa asing dalam keseharian mereka, baik di media sosial, lingkungan pendidikan, maupun dalam interaksi sehari - hari.

 Sementara bahasa Aceh kian jarang terdengar, bahkan di ruang-ruang domestik seperti keluarga dan komunitas lokal.

"Bahasa Aceh kini menghadapi tantangan serius. Derasnya arus globalisasi dan dominasi bahasa gaul telah menggerus kebiasaan menggunakan bahasa daerah. Ketika bahasa daerah ditinggalkan, maka sejatinya kita sedang kehilangan bagian penting dari identitas kita sebagai orang Aceh,” kata Salma kepada Dialeksis.com, Sabtu, 12 Juli 2025.

Salma menekankan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin peradaban dan kearifan lokal. 

Di dalam bahasa Aceh, katanya, tersimpan banyak nilai-nilai budaya, petuah, filosofi hidup, serta struktur sosial yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh sejak dulu. Maka ketika bahasa itu hilang, bukan hanya kata-kata yang lenyap, tapi seluruh cara pandang dan warisan leluhur ikut tergerus.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bahasa Aceh saat ini berada dalam kategori terancam punah dengan skor 3 dari 5 menurut skala UNESCO. 

Ini artinya, jika tidak ada upaya konkret untuk menyelamatkannya, maka bahasa Aceh bisa benar-benar punah dalam beberapa dekade ke depan.

“Ini bukan sekadar angka. Skor itu menunjukkan bahwa bahasa Aceh sedang berada di ujung tanduk. Kita tidak bisa hanya berwacana atau simbolis saja. Harus ada langkah nyata dari kita semua, khususnya generasi muda sebagai pewaris masa depan,” tegasnya.

Untuk itu, Salma mengusulkan sejumlah strategi yang dinilai efektif untuk menghidupkan kembali bahasa Aceh di kalangan anak muda. Salah satu pendekatan yang dianggap relevan dan kekinian adalah dengan memanfaatkan ruang-ruang kreatif yang dekat dengan dunia remaja saat ini. 

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, menurut Salma, bisa menjadi sarana edukatif dan sekaligus hiburan yang menyenangkan jika dimanfaatkan untuk mengangkat konten-konten dalam bahasa daerah.

“Kita bisa bikin vlog dengan bahasa Aceh, buat puisi, konten edukatif, atau drama pendek. Bayangkan kalau satu influencer Aceh punya konten bahasa daerah dan itu viral pasti banyak anak muda lain ikut tertarik. Bahasa itu hidup kalau digunakan, dan saat ini tempat hidup anak muda ya di dunia digital,” ujarnya.

Selain itu, Salma juga menekankan pentingnya peran pendidikan formal dan nonformal dalam mengintegrasikan penggunaan bahasa Aceh ke dalam proses belajar. 

Ia mengusulkan agar pelajaran bahasa daerah tidak hanya jadi formalitas semata, melainkan dijalankan dengan metode yang kreatif dan menyenangkan, sehingga siswa merasa memiliki hubungan emosional dengan bahasa itu.

Di luar itu, ia juga mendorong pemerintah daerah, tokoh adat, komunitas seni, hingga pegiat literasi untuk memperbanyak kegiatan budaya yang menggunakan bahasa daerah. Festival bahasa, lomba baca puisi Aceh, panggung teater lokal, atau pertunjukan musik berbahasa Aceh bisa menjadi cara efektif memperkuat identitas lokal di tengah arus globalisasi.

“Ini kerja kolektif. Pemerintah harus hadir, tapi masyarakat sipil dan komunitas juga punya peran besar. Bahasa daerah bukan hanya soal pelajaran sekolah, tapi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dan kalau kita ingin Indonesia Emas 2045 benar-benar bermakna, maka kekayaan budaya lokal harus jadi pondasinya,” tegas Salma.

Salma juga mengkritisi anggapan bahwa menggunakan bahasa daerah adalah kuno atau kampungan. Menurutnya, justru kebanggaan terhadap bahasa ibu adalah tanda kedewasaan dan kecintaan pada tanah kelahiran.

“Bangga berbahasa Aceh bukan berarti anti-modern. Justru itu bentuk kecerdasan budaya. Kita bisa global, tapi tetap punya akar. Kita bisa bicara Inggris, tapi tetap cinta bahasa sendiri. Itulah yang harus kita tanamkan sejak dini,” tambahnya.

Salma mengajak kepada generasi muda Aceh untuk tidak malu menggunakan bahasa ibu mereka. Ia mengajak mereka menjadikan bahasa Aceh sebagai bagian dari gaya hidup.

“Untuk semua generasi muda, mari kita jaga bahasa Aceh. Ini bukan sekadar menjaga kata, tapi menjaga jiwa. Ini bentuk cinta kita pada Aceh, pada leluhur kita, dan pada masa depan bangsa. Bahasa Aceh adalah warisan, dan kita adalah penjaganya,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI