Selasa, 28 Oktober 2025
Beranda / Berita / Elegi Seorang Loyalis: Nanan dan Tata Kelola yang Tertunda

Elegi Seorang Loyalis: Nanan dan Tata Kelola yang Tertunda

Selasa, 28 Oktober 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ilustrasi sosok si Nanan. Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Di bawah langit tembaga yang seolah terpaku pada dinding - dinding istana Atjecen cerita fiksi, Raja Maliki menorehkan satu keputusan yang mengguncang lanskap kekuasaan menunjuk Nanan sosok setia yang selama ini berdiri di pinggir panggung sebagai Menteri Perencanaan. Keputusan itu bukan sekadar gestur politik; ia adalah upaya menambatkan kembali narasi kepercayaan yang telah lama terkikis oleh kalkulasi dan keraguan.

Nanan, sebelum dilantik, dikenal sebagai “orang murni” dalam mitologi istana bisa dikatakan loyal tanpa syarat, hadir tanpa diminta, dan menunggu dengan sabar saat panggilan belum tiba. Ia adalah simbol dari kesetiaan yang tak bersuara. Namun seperti halnya dalam banyak kisah kekuasaan, loyalitas tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas. Dan seperti sutra yang tampak utuh namun menyimpan sobekan di dalam lipatan, pelantikan itu mulai menyingkap tabir.

Tepuk tangan menyambut lantikan awalnya, namun riuh itu segera meredup menjadi bisik, lalu membeku menjadi sunyi. Nanan yang dulu responsif terhadap pesan merpati pos, kini lamban membaca laporan. Komunikasi yang semula cair berubah menjadi teka-teki. Rapat-rapat penting tentang sumber daya, tata ruang, dan anggaran kerap ditinggalkannya; delegasi menggantikan kehadiran, namun tidak menggantikan substansi. Di lorong-lorong istana, pertanyaan yang paling sering terdengar bukan pujian, melainkan, “Di mana Nanan ketika rencana rakyat harus diputuskan?”

Perubahan sikap itu bukan sekadar soal kesibukan. Ada pola yang mengarah pada dua tafsir: pertama, strategi menjaga jarak demi kalkulasi politik; kedua, kegamangan menghadapi konsekuensi nyata dari jabatan. Seorang sumber dekat istana menyebut, “Ia menjual narasi: ‘Saya tak tergantikan.’ Tapi ketahanan narasi berbeda dengan kemampuan menanggung tanggung jawab.” Di balik kalimat itu tersimpan kritik tajam, bahwa loyalitas yang tidak diuji oleh kapabilitas adalah ilusi yang rapuh.

Perdana Menteri Besar, sang penyeimbang kekuasaan, tidak melihat ini sebagai drama personal. Baginya, Menteri Perencanaan bukan sekadar posisi kehormatan, melainkan poros strategis yang menentukan arah kebijakan publik. Ketika koordinasi macet dan program terhambat oleh ketidakhadiran atau delegasi yang tidak berdaya, pertanyaan yang muncul bukan lagi tentang loyalitas, melainkan tentang keberlanjutan tata kelola. Maka, keputusan untuk mempertimbangkan penggantian Nanan bukanlah hukuman atas kesetiaan, melainkan perlindungan terhadap mekanisme negara dan rakyat yang bergantung padanya.

Langkah ini, dari satu sisi, mencerminkan prinsip tata kelola yang sehat: jika seorang pejabat tidak mampu menjalankan fungsi esensialnya, maka kepentingan publik harus didahulukan. Namun dari sisi lain, pergantian itu mudah dipelintir menjadi drama politik. Narasi tandingan pun bermunculan: bahwa ada tekanan agar program tertentu yang berada di luar mekanisme resmi disahkan demi kepentingan kelompok tertentu. Padahal, di Atjecen, mekanisme pemeriksaan program seharusnya meliputi kajian teknis, uji kelayakan anggaran, dan kesesuaian dengan visi raja. Seorang penasihat istana menegaskan, “kita punya prosedur, kita punya pilar. Setiap program harus lolos dari janji indah menuju bukti nyata.”

Namun formalitas itu tidak menutup fakta bahwa politik selalu menyimpan sudut gelap. Ketika polemik penggantian Nanan merebak, para pendukungnya menyusun narasi tandingan, bahwa ia adalah korban intrik, bahwa perubahan sikapnya adalah harga dari pengasingan bertahun-tahun. Di sisi lain, ada yang melihatnya sebagai peringatan: bahwa loyalitas tanpa kapabilitas adalah bom waktu bagi tata kelola.

Kisah ini tidak berhenti pada nama Nanan. Ia membuka lensa tentang bagaimana kerajaan atau negara menyeimbangkan dua kutub: penghargaan terhadap loyalitas dan kebutuhan akan kompetensi. Maliki, yang menggunakan kepercayaan sebagai perekat blok politiknya, kini dihadapkan pada dilema klasik: mempertahankan loyalis yang tak kompeten demi stabilitas, atau mengambil risiko politik demi efektivitas administrasi?

Bagi pembaca Dialeksis yang peka terhadap nuansa, ada tiga pelajaran penting. Pertama, loyalitas politik adalah modal, bukan jaminan efektivitas. Kedua, birokrasi yang sehat harus memiliki prosedur evaluasi yang tegas dan transparan. Ketiga, pergantian pejabat harus disertai komunikasi publik yang jernih agar tidak menjadi ladang propaganda.

Kisah Nanan juga mengajarkan tentang pentingnya komunikasi publik. Seorang menteri yang sulit dijangkau bukan hanya merugikan kolega, tetapi juga merusak kepercayaan rakyat. Ketidakhadiran dalam rapat, delegasi tanpa otoritas, dan janji yang tak pernah menjadi realisasi adalah jurang yang memisahkan pejabat dari warga.

Catatan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk merawat kesadaran kolektif: bahwa Atjecen, seperti republik manapun, membutuhkan pemimpin yang mampu memadukan integritas dan kapabilitas. Maliki mungkin melihat pelantikan Nanan sebagai upaya menyembuhkan luka lama; Perdana Menteri melihat penggantian sebagai langkah menjaga agar roda pemerintahan tetap berputar. Rakyat, seperti biasa, menunggu hasil nyata tercerminkan dari jalan yang rapi, air yang mengalir, sekolah yang layak bukan sandiwara pewayangan di istana.

Jika ada pelajaran etis dari kisah ini, maka ia berbunyi begini seperti ini kepercayaan itu mulia, tetapi kepercayaan yang tidak diuji oleh tanggung jawab bisa menjadi bumerang. Kepemimpinan yang matang bukan hanya tentang memberi kesempatan, tetapi juga memastikan bahwa kesempatan itu berbuah bagi mereka yang paling membutuhkan. Dalam keseimbangan yang rapuh itulah nasib Nanan, Maliki, dan Atjecen ditulis sebuah narasi yang elegan sekaligus getir, yang layak dibaca oleh siapa pun yang masih percaya bahwa pemerintahan adalah seni melayani, bukan sekadar mempertahankan nama dan loyalis, karena Atjecen butuh sosok yang mau bekerja serius, berani, dan berbuat ikhlas. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI