Beranda / Berita / Ekonomi Digital Makin Bergairah

Ekonomi Digital Makin Bergairah

Sabtu, 03 April 2021 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Perekonomian digital Indonesia bakal makin berkembang dan bergairah. Tak hanya di kawasan utama seperti Jakarta dan kawasan penyangganya di Bodetabek atau kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, tapi juga di kota-kota lapis (tier) kedua dan ketiga seperti Denpasar atau Magelang di Jawa Tengah.

Upaya pengembangan dan pemerataan infrastruktur teknologi informasi untuk memperluas akses digitalisasi diyakini akan membuat ekonomi digital daerah-daerah “luar prioritas” tersebut tumbuh lebih tinggi dibanding wilayah yang sudah lebih maju, seperti Jabodetabek atau Surabaya.

Laporan bertajuk Unlocking The Next Wave Of Digital Growth: Beyond Metropolitan Indonesia menyatakan bahwa perekonomian digital akan didorong oleh kota-kota nonmetropolitan, di luar dari “kuatnya pengaruh” bisnis DKI Jakarta dan Jawa. Laporan ini disusun oleh Alpha JWC Ventures, perusahaan modal ventura di Indonesia, bersama Kearney, perusahaan konsultan manajemen global.

Laporan ini membagi wilayah dengan menggunakan sistem tiering per wilayah berdasarkan perhitungan sejumlah indikator, seperti: pengeluaran per kapita, ukuran populasi, penetrasi internet, pertumbuhan PDB provinsi, dan kepadatan populasi. Ada empat lapis kota yang diteliti dalam studi ini.

Menurut laporan tersebut, dari 514 kota yang dianalisis, sebanyak 15 kota dikategorikan sebagai metropolitan atau tier 1, yakni Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Sebanyak 76 kota lagi ditetapkan sebagai rising urbanites atau tier 2. Kota-kota yang masuk dalam kelompok ini antara lain Semarang, Makassar, dan Denpasar

Di bawah kota-kota lapis kedua, ada 101 kota dikategorikan sebagai slow adopters atau tier 3. Tiga kota di antaranya adalah Magelang, Prabumulih (Sumatera Selatan), dan Bangli (Bali). Sisanya sebanyak 322 kota merupakan rigid watchers atau tier 4, dua di antaranya adalah Kabupaten Jepara (Jawa Tengah), Kabupaten Jayapura (Papua).

Menurut Alpha JWC Ventures dan Kearney, ekonomi digital di kota tier 2 dan 3, seperti Denpasar dan Magelang, ditaksir akan tumbuh lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Kondisi ini, kata mereka, didukung oleh sejumlah perusahaan rintisan/startup yang memiliki spesialisasi di bidang e-commerce, peminjaman (PtoP lending), dan e-payments.

Alpha JWC memprediksi kota-kota akan semakin pentingnya ke depan. Pertumbuhan ekonomi digital mereka ditaksir akan mengalahkan pertumbuhan kota tier pertama. Selain itu, kota lapis 2 dan 3 ini diprediksi juga akan meningkatkan pangsa produk domestik bruto/PDB nasional berkisar 3-5 persen pada 2030.

“Saat ini, area-area nonmetropolitan tumbuh lebih cepat dan secara ekonomi peranan mereka semakin penting dibandingkan dengan Jakarta karena adanya upaya pemerintah dalam mendiversifikasi ekonomi dan infrastruktur,” kata Alpha JWC Ventures dan Kearney dalam rilisnya kepada Lokadata.id, Rabu (31/3/2021).

Laporan yang sama menyatakan, meski pandemi Covid-19 masih cukup tinggi, Indonesia pada 2020 tetap mendapatkan nilai investasi digital yang nilainya cukup signifikan, yakni mencapai AS$4,4 miliar atau hampir Rp64 triliun . Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan capaian 2019 sebesar AS$2,2 miliar.

Google-Temasek Research memperkirakan, pada 2016-2019, investasi ke sektor ekonomi digital di Indonesia mencapai US$9,8 miliar. Hal itu bakal menggelembungkan nilai ekonomi digital di Indonesia hingga AS$40 miliar, dan pada 2025 sudah mencapai AS$133 miliar. Pada 2015, nilai ekonomi digital di Indonesia hanya US$8 miliar.

Menurut laporan Alpha JWC, pandemi Covid-19 sedikit banyak telah mengakselerasi adopsi digital serta menghasilkan inovasi. Teknologi menjadi terdemokratisasi dan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kota-kota tier 2 dan 3 ini baru saja memulai adopsi digital dan akan menyusul kota tier pertama.

Pemerataan ekonomi digital di daerah ini juga tampak dalam hasil studi East Venture Digital Competitiveness Index 2021. Studi ini menunjukkan bahwa daya saing digital antarprovinsi di Indonesia makin merata.

Studi ini menyebutkan, berdasarkan hasil pemetaan, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan daya saing digital tertinggi yakni mencapai 77,6. Setelahnya, diikuti Jawa Barat 57,1 dan Jawa Timur 48,0.

Studi yang sama menyebutkan, Bali dan Kepulauan Riau menjadi provinsi yang mencatatkan peningkatan skor secara signifikan, bahkan menembus dominasi provinsi-provinsi dari Jawa. Bali berada di peringkat keempat dengan skor 47,7 (naik dari peringkat ketujuh dengan skor 40,6 pada tahun lalu). Sedangkan Kepulauan Riau naik ke peringkat ketujuh dengan peningkatan skor dari 35,9 menjadi 43,0 pada tahun ini.

“Di dua provinsi tersebut, makin banyak penduduk yang bergantung pada internet dalam pekerjaan atau menjalankan usahanya,” tulis studi tersebut seperti dikutip. Studi ini menyebut, peningkatan skor di Bali misalnya tidak lepas dari faktor infrastruktur digital yang makin maju dan meluas.

E-commerce melaju di daerah

Indikasi melajunya ekonomi digital daerah luar Jawa ini juga terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Statistik E-Commerce 2020. Laporan ini disusun berdasarkan survei terhadap 17 ribu lebih e-commerce di 34 provinsi seluruh Indonesia, Agustus 2020.

Laporan BPS menyebutkan, berdasarkan indikator pendapatan usaha total e-commerce, provinsi di luar Jawa memiliki persentase tertinggi dalam hal jumlah usaha. Pada e-commerce kelompok pendapatan di bawah Rp300 juta per tahun, jumlah usaha di Nusa Tenggara Timur mencapai 93,29 persen.

Setelah NTT, ada Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Sebagai perbandingan, untuk kelompok pendapatan yang sama, persentase usaha e-commerce di DKI Jakarta hanya 50,19 persen, Jawa Barat 79,49 persen, dan Jawa Timur 73,13 persen. Bali merupakan provinsi dengan jumlah e-commerce terbanyak untuk pendapatan di atas Rp50 miliar.

Direktur Riset Institute for Developments of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya mengatakan, wajar saja jika pertumbuhan kinerja ekonomi digital di daerah-daerah slow adopter berpotensi lebih tinggi. Alasannya, baseline pertumbuhan mereka lebih rendah ketimbang daerah yang sudah maju lebih dulu secara digital.

“Tapi dari segi size of transaction susah sekali menyusul,” kata Berly kepada Lokadata.id, Kamis (1/4). Dia menambahkan, ada sejumlah indikator yang nantinya akan menentukan pertumbuhan ekonomi digital suatu daerah, di antaranya: jumlah penduduk, rata-rata pendapatan, dan akses internet. "Ini tiga faktor penting dalam e-commerce size."

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reforms on Economics (Core), Mohammad Faisal menjelaskan, daerah-daerah yang transaksi e-commerce-nya meningkat lantaran sisi permintaan mereka secara agregat masih memiliki ruang untuk tumbuh. Sebaliknya, daerah yang pangsa pasar e-commerce-nya sudah sesak akan sedikit melambat.

Faktor lain, kata Faisal, tentu juga datang dari upaya digitalisasi dan kesiapan infrastruktur di masing-masing daerah. Dia menambahkan, pandemi Covid-19 sedikit banyak mempercepat proses ini, terutama di daerah-daerah seperti: Bali, Sulawesi, dan Kalimantan.

“Daerah-daerah yang transaksi e-commercen-ya tumbuh ini tentu akan memiliki kontribusi yang memadai terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi mereka,” kata Faisal kepada Lokadata.id.

Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai transaksi e-commerce secara keseluruhan pada semester I/2020 tumbuh positif 26,9 persen dibandingkan periode yang sama 2019. Meskipun ada perlambatan, transaksi digital pada Q2/2020 masih tumbuh 7,28 persen. Pada Q1, nilai transaksi digital tumbuh 51,98 persen. Pada Q3/2020, pertumbuhan e-commerce kembali membal dengan 19,55 persen.[Lokadata]

Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda