DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Suasana di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh kian menghangat. Sejumlah dosen dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Teknik menyampaikan keberatan keras terhadap penundaan pergantian anggota Majelis Wali Amanat (MWA) yang dianggap telah melampaui batas waktu wajar.
Mereka menilai, penundaan itu bukan perkara administratif semata, melainkan menyangkut legitimasi hukum dan integritas tata kelola kampus, terutama menjelang pemilihan Rektor USK periode 2026 - 2031 yang kini tengah memasuki tahap awal.
Sumber persoalan ini bermula ketika Prof. Dr. dr. Syahrul, Sp.S, salah satu anggota MWA dari unsur dosen, dilantik sebagai Direktur Sumber Daya Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) di Jakarta pada 31 Juli 2024.
Bagi para dosen, pelantikan itu otomatis mengakhiri status keanggotaannya di MWA. Dasar hukumnya pun jelas. Pasal 30 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2022 tentang USK menyebutkan:
“Keanggotaan MWA berakhir apabila diangkat dalam jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.”
Ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan MWA USK Nomor 2 Tahun 2023, Pasal 5 ayat (2) huruf a angka 1, yang menegaskan bahwa wakil unsur dosen dalam MWA haruslah dosen aktif dengan jabatan fungsional di USK.
“Begitu beliau dilantik di RS PON, maka otomatis keanggotaannya gugur,” kata seorang dosen Fakultas Teknik kepada Dialeksis, Minggu (5/10).
Namun, hingga berita ini diturunkan, kursi yang ditinggalkan Prof. Syahrul belum juga diisi. Ketua MWA USK, Dr. Safrizal ZA, disebut-sebut menunda pergantian tanpa penjelasan resmi yang jelas kepada publik akademik USK.
Penundaan ini memicu kecurigaan di kalangan sivitas akademika. Sejumlah dosen menilai keputusan mempertahankan keanggotaan Prof. Syahrul berkaitan dengan dinamika politik kampus menjelang pemilihan rektor baru.
“Ini bukan soal pribadi, tapi soal marwah kampus. Jika pemilihan rektor dilakukan dengan komposisi MWA yang tidak sah, hasilnya bisa cacat hukum,” ujar seorang dosen Fakultas Ekonomi.
Beberapa dosen lain menyebut, keberadaan anggota MWA yang tidak lagi memenuhi syarat berpotensi menjadi suara ilegal dalam pengambilan keputusan penting kampus. “Menunda pergantian hanya akan memperdalam krisis tata kelola dan mencederai reputasi USK,” kata seorang akademisi lainnya.
Pengamat pendidikan Aceh, Tabrani Yunis, turut menyoroti persoalan ini. Menurut pendiri Center for Community Development and Education (CCDE) tersebut, langkah Prof. Syahrul yang belum mengundurkan diri setelah dilantik di jabatan luar USK menunjukkan lemahnya sensitivitas etika akademik.
“Sebagai profesor dan tokoh akademik, sudah seharusnya Prof. Syahrul menunjukkan keteladanan dengan segera mengundurkan diri dari keanggotaan MWA begitu diangkat sebagai pejabat di luar USK,” ujar Tabrani kepada Dialeksis.
Ia menambahkan, Ketua MWA Safrizal ZA juga memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan aturan dan menjaga integritas lembaga. “Ketua MWA seharusnya segera mengirimkan surat resmi kepada Prof. Syahrul agar mengundurkan diri, supaya posisinya bisa digantikan sesuai mekanisme yang berlaku,” ujarnya.
Menurut Tabrani, lambannya tindakan pimpinan MWA menunjukkan lemahnya komitmen terhadap prinsip good governance. “USK seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan etika dan aturan, bukan justru melanggarnya,” tegasnya.
"Prof Syahrul harus bersikap dan bertindak legowo dan ikut membantu mempercepat proses keanggotaan MWA," jelasnya lagi.
Dalam struktur PTN Badan Hukum seperti USK, MWA adalah organ tertinggi yang menentukan arah kebijakan universitas. Karena itu, keabsahan keanggotaannya menjadi hal mendasar.
Ahli hukum administrasi dari USK yang enggan disebut namanya menilai, jika anggota MWA yang tidak memenuhi syarat masih dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka seluruh hasil keputusan bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Masalah seperti ini tidak boleh dibiarkan. Ia menyangkut kredibilitas hukum dan tata kelola universitas,” ujarnya.
Para dosen juga mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) segera turun tangan. Mereka meminta kementerian memastikan proses pergantian anggota MWA berjalan sesuai hukum, sekaligus mengawasi jalannya pemilihan rektor agar bebas dari manipulasi dan tekanan politik.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi Dialeksis telah berupaya menghubungi Prof. Dr. dr. Syahrul, Sp.S untuk meminta tanggapan dan klarifikasi melalui pesan WhatsApp dan panggilan telepon sejak Sore Minggu (5/10). Namun, hingga malam hari, yang bersangkutan tidak memberikan respon.
Upaya konfirmasi juga disampaikan kepada pihak MWA USK, namun belum diperoleh pernyataan resmi dari Ketua MWA, Dr. Safrizal ZA.
Bagi para akademisi, langkah menyuarakan persoalan ini bukan bentuk perlawanan, melainkan panggilan moral untuk menjaga marwah kampus.
“Jika hukum internal saja diabaikan, bagaimana kita bisa mendidik mahasiswa tentang integritas?” ujar seorang dosen senior Fakultas Teknik.
Mereka berharap persoalan ini segera diselesaikan dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap aturan. “Universitas ini milik publik, bukan milik kelompok. Jangan gadaikan marwah USK hanya karena kepentingan sesaat,” tegasnya.