Covid -19 di Indonesia Meledak, Sentimen Buruk Pasar Pekan Depan!
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang mengumumkan rapat kebijakan moneter di pekan ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, hingga obligasi Indonesia rontok ke zona merah.
Tekanan kini semakin menguat dari dalam negeri, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang terus melonjak membuat aset-aset tersebut terancam kembali merosot pada pekan depan.
IHSG sepanjang pekan lalu membukukan pelemahan 1,45% ke 6.007,12. Penurunan mingguan tersebut menjadi yang pertama setelah sebelumnya mencatat penguatan 3 pekan beruntun.
Data pasar mencatat, sepanjang pekan lalu investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 61,47 miliar di pasar reguler, dan Rp 702 miliar ditambah pasar nego dan tunai. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 68,1 triliun.
Sementara itu nilai tukar rupiah melemah 1,28% melawan dolar AS ke Rp 14.370/US$. Kemudian dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi. Yield SBN tenor 1 tahun, 5 dan 25 tahun mengalami penurunan, sementara sisanya naik.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya.
Mayoritas SBN yield-nya mengalami kenaikan, berarti harganya sedang turun dan mengalami aksi jual.
Maklum saja, The Fed saat mengumumkan kebijakan moneter Kamis (17/6/2021) dini hari waktu Indonesia mengejutkan pasar dengan memberikan proyeksi suku bunga akan naik di tahun 2023. Tidak hanya sekali, bahkan bisa ada 2 kali kenaikan suku bunga masing-masing 25 basis poin hingga menjadi 0,75%.
Proyeksi tersebut jauh lebih cepat ketimbang yang diberikan bulan Maret, yakni kenaikan suku bunga di tahun 2024.
Pasca pengumuman tersebut, yield obligasi (Treasury) AS mengalami kenaikan, yang selisihnya dengan SBN menyempit. Alhasil, aksi jual menerpa SBN.
Proyeksi suku bunga ditambah dengan kenaikan yield Treasury AS membuat dolar AS begitu perkasa. Sepanjang pekan ini, indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April. Rupiah pun terpukul.
Sementara itu bursa saham AS (Wall Street) juga merosot merespon pengumuman The Fed, yang berdampak pada buruknya kinerja IHSG.
Rontoknya IHSG, rupiah hingga SBN terjadi saat makin banyak tanda-tanda perekonomian Indonesia bangkit di kuartal ini dan terlepas dari resesi.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan lalu melaporkan nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 16,6 miliar. Turun 10,25% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM), tetapi melonjak 58,76% dari Mei 2020 (year-on-year/YoY).
Sementara nilai nilai impor Indonesia pada Mei 2021 adalah US$ 14,23 miliar. Turun 12,16% dibandingkan bulan sebelumnya MtM tetapi melejit 66,68% dibandingkan Mei 2020 YoY.
Dengan nilai ekspor impor tersebut, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 2,37 miliar.
Lonjakan impor bukan berarti hal yang buruk. Memang impor merupakan pengurang dari produk domestik bruto (PDB), tetapi impor Indonesia didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal, yang digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri. Artinya, saat impor naik maka industri di dalam negeri kembali menggeliat.
Di sisi lain, kenaikan ekspor menjadi indikasi perekonomian global yang mulai pulih.
Kasus Covid-19 yang kembali menanjak dalam beberapa hari terakhir membuat pelaku pasar was-was. Dalam 4 hari terakhir, penambahan kasus per hari lebih dari 12 ribu orang, bahkan pada hari ini Minggu (20/6/2021) jumlah kasus baru dilaporkan sebanyak 13.737 orang. Penambahan tersebut merupakan yang tertinggi sejak 30 Januari lalu, ketika mencatat rekor tertinggi 14.518.
Rata-rata penambahan kasus dalam 2 pekan terakhir sebanyak 9562 naik hingga 66% dibandingkan rata-rata 3 pekan sebelumnya 5772 kasus.
Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan. Apalagi provinsi DKI Jakarta mencatatkan kenaikan angka positif virus Corona sangat signifikan, bahkan mencatat rekor tertinggi selama pandemi. Jumlah pasien yang terpapar positif Covid-19 hari ini dilaporkan sebanyak 5.582 kasus.
Jika PPKM diketatkan, maka pemulihan ekonomi terancam tersendat lagi, yang tentunya dapat memukul IHSG, rupiah, hingga SBN.
Sementara itu dari luar negeri, perhatian tertuju ke testimoni ketua The Fed, Jerome Powell, akan menjadi perhatian pelaku pasar guna mencari kejelasan terkait tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE).
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya Kamis lalu tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Jika Powell menyiratkan tapering akan dilakukan di semester II tahun ini, tentunya lebih cepat daru spekulasi pasar sebelumnya di awal tahun depan, maka pasar finansial berisiko mengalami gejolak lagi, termasuk di Indonesia.[CNBC Indonesia]