kip lhok
Beranda / Berita / Bupati Dimandikan Secara Adat Wakil Bupati Mengelak

Bupati Dimandikan Secara Adat Wakil Bupati Mengelak

Senin, 17 Februari 2020 21:07 WIB

Font: Ukuran: - +

Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, tanpa wakil bupati dimandikan dengan adat Gayo. (foto dok. MAG)

DIALEKSIS.COM | Takengon- Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar, mengikuti ritual pemandian reje, sebagai proses kewajiban mempertanggungjawabkan amanah yang diembanya kepada rakyat. Namun wakil Bupati Firdaus, mengelak untuk dimandikan secara adat.

Proses munirin reje (memandikan raja) berlangsung, Senin pagi (17/2/2020) jam 06.00 WIB di Kelitu, sumber air bersih yang turun dari pengunungan. Shabela mengenakan baju kebesaran kerawang Gayo berwarna kuning, warna untuk pemimpin.

Shabela dimandikan oleh pemangku adat yang disaksikan oleh para kepala SKPK yang ada di Aceh Tengah. Menurut Majlis Adat Gayo (MAG) menurin reje merupakan resam yang bernilai sakral yang diadakan setiap tahunnya. 

Peri mestike mekeruh bebasuh haram bersamak, maknanya seorang raja dalam menjalankan roda kepemimpinannya kendati sudah bersifat berkasih sayang, benar, dan suci. Namun sebagai manusia ada yang luput, lupa dan lalai tidak, maka dalam setahun berkuasa diadakan munirin reje.

Menurut Aspala, ketua MAG, acara mekeruh bebasuh haram bersamak memiliki harapan utama rakyat kepada pemimpinya, untuk menjalankan tugas berat dan mulia kedepanya untuk lebih baik dan lebih terpuji lagi.

“Memenuhi tuntutan adat untuk memandikan reje, kami tidak berani menolak. Karena tujuannya baik, yaitu untuk membersihkan diri. Jika wakil bupati tidak hadir, terserah sama majelis adat,” sebut kata Shabela, setelah mandi melanjutkan apel bersama hari jadi Kota Takengon ke-443 di lapangan Setdakab setempat.

“Ketika saya dimandikan tidak ada pendamping, bagi saya tidak masalah. Namun ketika wakil tidak ikut saat munirin reje sudah meyalahi adat, walau tidak salah dalam aturan pemerintah,” sebutnya.

Menurut Shabela acara munirin reje akan dibuat Perbup, pelan-pelan akan kita benahi yang belum lengkap. Upaya itu dilakukan agar masalah adat kita kembalikan ke adat terdahulu.

Menurut ketua MAG, Aspala, sejarah munirin reje, sudah ada semenjak kerajaan Linge. Resam munirin reje setiap tahunya dilaksanakan dengan meriah. Turut dihadiri seluruh jajaran opat mukawal pitu mudeniye. Maksutnya kejurun Linge beserta tujuh cik dan raknyat sekitar mengikuti proses munirin reje.

Pada masa itu, sebut MAG, dalam keteranganya, kejurun Abuk beserta Cik dari Lokop subejadi, Kejurun Petiamang beserta Cik dari Belang Kejeren, dan Kejurun Syiah Utama beserta cik dari Samar Kilang Nosar, ikut serta dalam munirin kerajaan Linge.

Pelaku utamanya, Pengulu Tawar dari Syiah Utama. Pengulu Mungkur dari Mungkur Gewat, Pengulu Bedak, Pengulu Payung, Pengulu Suku, Pengulu Lot, dan Pengulu Uwag. Setelah Indonesia merdeka, kerajaanpun dengan sendirinya lebur, mungkin semenjak itu pula resam nirin reje hilang ditiadakan lagi.

Menurut MAG, pada 1970 kembali dikaji dan digali oleh para orang tua di Kampung Linge, proses munirin reje pertama sekali dilakukan kepada Abdussalam. dimasa itu kampung sekitar Linge juga melakukan acara tersebut. Namun proses munirin reje lambat laun hilang dan kini dihidupkan kembali.

Mengapa wakil Bupati Aceh Tengah, Firdaus tidak turut serta dalam proses adat munirin reje, menjawab Dialeksis.com Senin (17/2/2020) sore, menjelaskan, dia tidak ikuti proses munirin reje, karena aturan untuk itu belum ada.

“Saya tidak minta dimandikan secara adat, makanya saya tidak ikut, selain itu aturan tentang munirin reje juga belum jelas, apakah adatnya demikian. Karena saya tidak minta dimandikan, ya saya tidak ikuti mandi,” sebut Firdaus.

Munirin reje menurut MAG, selain membersihkan diri, bersilaturahmi antara reje dengan rakyatnya dan selanjutnya dilangsungkan proses pertanggungjawaban amanah yang sudah diberikan kepada reje. (baga) 

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda