kip lhok
Beranda / Berita / Analisa Pakar Bahasa USK, Membela Diri dan Main Hakim Bukanlah Kesatuan Makna

Analisa Pakar Bahasa USK, Membela Diri dan Main Hakim Bukanlah Kesatuan Makna

Senin, 18 April 2022 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Ahli Bahasa dari Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Mohd Harun. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jagat maya sempat dihebohkan dengan konferensi pers yang menetapkan status tersangka kepada korban begal. Memang bukan kali pertama peristiwa seperti ini terjadi di Indonesia.

Sebagaimana dilansir dari Tempo.co, terdapat sederet korban begal yang justru ditetapkan tersangka karena membunuh pelaku begal di dalam pergumulan membela diri. Diantaranya terjadi pada tahun 2015 di Pekanbaru, kemudian pada akhir tahun 2021 di Medan, dan pada pertengahan tahun 2019 di Malang.

Berdasarkan penelusuran reporter, kejadian serupa juga tidak hanya terpusat pada peristiwa begal saja. Terdapat juga perkara korban rudapaksa yang di saat membela diri, pelaku pemerkosa tewas di tangannya. Tetapi korban pemerkosaan ini yang justru ditetapkan sebagai tersangka karena membunuh orang.

Memang sepintas terkesan jenaka. Tetapi untuk menyelami materi, apakah dengan terbunuhnya pelaku kejahatan karena membela diri bisa disebut sebagai aksi main hakim sendiri sehingga para korban ini pantas dijadikan tersangka.

Menanggapi hal tersebut, Ahli Bahasa dari Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Mohd Harun menyatakan, terdapat kesenjangan makna antara “membela diri” dengan “main hakim sendiri.”

Menurutnya, dua kalimat tersebut tak bisa menjadi satu kesatuan makna atau saling berkorelasi satu sama lain ketika dihadapkan pada kejadian seperti begal atau percobaan pembunuhan.

Secara bahasa, main hakim sendiri merupakan aksi yang secara sengaja diatur untuk menghabisi seseorang, entah itu sekedar membuat orang lain babak belur atau kehilangan nyawa. Main hakim sendiri juga dibarengi dengan niatan di awal untuk melakukan aksi, bukan karena terdesak.

Sedangkan makna membela diri, menurutnya adalah tindakan pencegahan yang bersifat preventif dengan tidak dibarengi dengan niat untuk menghabisi seseorang. Meskipun di dalam upaya membela diri kemudian terjadi sesuatu yang tidak diinginkan semisal pelaku kejahatan kehilangan nyawa, maka aksi tersebut bukanlah kesengajaan tetapi di luar kendali seseorang yang membela diri.

“Makna main hakim dengan membela diri tidaklah serupa. Tidak ada kesamaan makna. Bahkan korelasi makna terlampau jauh antara membela diri dengan main hakim sendiri,” jelas Prof Harun kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (18/4/2022).

Lantas, bagaimana Prof Harun merespons peristiwa-peristiwa yang lagi santer disorot itu. Selaku Guru Besar Bahasa di USK, ia mengatakan, pergumulan membela diri yang menyebabkan pelaku kejahatan tewas di tangan korban tidak serta merta oleh kepolisian bisa langsung menetapkan korban sebagai tersangka.

Prof Harun memandang adanya konferensi pers yang menetapkan korban sebagai tersangka menunjukkan masih ada titik lemah para aparat penyidik dalam mengedepankan asas praduga tak bersalah ketika menyelidiki sebuah kasus. Oleh karena itu, kejadian seperti ini menjadi tolak ukur dari problematika masalah yang dipandang perlu untuk dipelajari bersama. 

Prof Harun menegaskan, upaya membela diri tetapi dalam pergumulan menyebabkan pelaku kejahatan tewas di tangan korban bukanlah aksi yang diinisiasi dari niatan untuk main hakim sendiri.

Memang dari sisi bahasa, kata Prof Harun, sangat dilematis bila membela diri dikait-kaitkan dengan aksi main hakim sendiri. Apalagi main hakim sendiri sangat ilegal di Indonesia.

Secara pembahasan mengapa main hakim sendiri ilegal di Indonesia; pertama, Indonesia memiliki hakim yang berlembaga resmi. Kedua, segala putusan hukum dikeluarkan oleh hakim sehingga orang lain tidak boleh melangkahi putusan sebelum hakim menentukan. 

“Saya ingin mengatakan bahwa perilaku main hakim sendiri itu ilegal di Indonesia. Seseorang tidak punya hak untuk membuat orang lain tersiksa atau menghukum orang lain dengan cara apapun,” ungkapnya.

Lantas, bagaimana ketika dihadapkan dengan peristiwa begal, perampokan yang mengancam nyawa, atau pemerkosaan. Oleh karenanya, Prof Harun menegaskan supaya penertiban hukum di Indonesia tidak memberi batasan kepada orang-orang untuk bisa membela diri.

Adanya peristiwa penetapan status tersangka pada korban begal dinilai telah mendiskreditkan nilai seseorang untuk bisa hidup di dunia hukum. Karena ketika seseorang dihadapkan pada kejadian-kejadian yang mengancam nyawa seolah dihadapkan dengan kesan bahwa orang tersebut hanya boleh pasrah dengan kejahatan.

Prof Harun menyatakan, di dalam hukum Islam saja seseorang dibolehkan makan babi untuk bertahan hidup apabila tak ada makanan halal lain yang bisa dikonsumsi. 

Oleh karenanya, pendekatan seperti hukum Islam inilah yang menurut Prof Harun juga perlu ada pada hukum negara. Prof Harun menegaskan jika dirinya bukan bermaksud untuk menghalalkan pembunuhan, tetapi ada batasan-batasan wajar yang seharusnya bisa diakomodasi oleh hukum negara.

Di sisi lain, kata Prof Harun, sepatutnya bagi korban kejahatan yang terancam nyawa diberi kompensasi kepadanya. Karena secara psikologis, orang yang hampir terbunuh mau dibacok orang akan meninggalkan sisi trauma yang mendalam.

“Pasca kejadian, kadang akibat trauma, para korban ini lebih memilih mati ketimbang harus hidup dengan membawa stres. Malamnya tidur nggak nyenyak karena terus dihantui dengan bayang-bayang orang mau membacok dirinya. Menurut saya, para korban ini harusnya dibayar mahal,” tutup Prof Harun. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda