DIALEKSIS.COM | Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak dua perwira aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menduduki jabatan sipil, yakni Letkol Teddy Indra Wijaya (Sekretaris Kabinet) dan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya (Direktur Utama Bulog), untuk segera mengundurkan diri. Menurutnya, praktik ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang memisahkan peran militer dari ranah sipil.
“Mereka harus mundur,” tegas Usman dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (11/3/2025). Ia menilai Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memiliki kewenangan untuk memerintahkan hal tersebut. “Jika panglima serius menegakkan aturan, ia bisa langsung memberi perintah,” tambahnya.
Usman menyebut penempatan prajurit aktif di posisi sipil sebagai kemunduran reformasi. Ia mengingatkan perjuangan pasca-1998 yang berupaya mengembalikan TNI sebagai alat pertahanan profesional, bukan instrumen politik.
“Langkah ini membangkitkan kembali Dwi Fungsi TNI di birokrasi sipil. Ini jelas ancaman bagi demokrasi,” ujarnya.
Menanggapi kritik tersebut, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa prajurit aktif yang memegang jabatan sipil akan menjalani pensiun dini, sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Mereka akan pensiun dini atau mengundurkan diri dari dinas aktif,” jelas Agus saat dikonfirmasi di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta Selatan, Senin (10/3/2025). Aturan ini, menurutnya, tertuang dalam Pasal 47 UU TNI.
Kasus Teddy dan Novi kembali menyoroti polemik dual peran militer di Indonesia. Teddy, yang baru saja dipromosikan menjadi letkol, kini menjabat sebagai Seskab, sementara Novi memimpin Bulog sejak 2024. Keduanya disebut masih tercatat sebagai prajurit aktif.
Amnesty menilai, ekspansi peran TNI di jabatan sipil berpotensi mengikis transparansi dan memicu intervensi militer dalam kebijakan publik. Usman menegaskan, “Ini ujian bagi komitmen Indonesia menghormati reformasi. Jangan sampai kita mundur ke masa lalu.”