Politik Uang Dan Politik Korupsi
Font: Ukuran: - +
Reporter : TB.Massa Djafar
Assoc. Prof. Dr.TB.Massa Djafar (Akademisi Ilmu Politik,Fisip UNAS, dan Politisi)
DIALEKSIS.COM | Analisis - Transisi demokrasi di Indonesia memasuki 25 tahun telah menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada sebanyak lima kali. Keberhasilan suatu negara mengakhiri transisi dari sistem politik otoritarian ke demokrasi sangat ditentukan oleh konsolidasi demokrasi. Pada tahap yang sangat menentukan ini, adalah bagaimana membangun pelembagaan politik. Yaitu, membuat sejumlah regulasi atau Undang-Undang lembaga-lembaga politik demokrasi mulai dari lembaga Pemilu, Partai Politik, Parlemen.
Komitmen politik para aktor politik, penyelenggara Pemilu, aparat penegak hukum serta tak kalah penting adalah partisipasi politik masyarakat. Sejak tahun 1999, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pemilu dan Kepartaian, dan proses transisi demokrasi dan peralihan pemerintahan relatif mulus.
Indonesia termasuk salah satu negara demokrasi baru yang stabil. Namun belum masuk katagori negara demokrasi baru yang stabil dan maju. Dimana perkembangan ekonomi, menunjukan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dan kualitas demokrasi yang lebih terukur. Terutama dilihat dari aspek penyelenggaran pemilu dan peran partai politik.
Indonesia dalam 10 tahun terakhir, Indeks Demokrasi terus mengalami penurunan dari 7.03 pada tahun 2015, ke 6.53 poin pada tahun 2023. Penyelenggaraan pemilu masih banyak menyimpan pekerjaan rumah. Salah satu isu yang krusial dalam pemilu adalah pratek politik uang (money politics).
Politik uang dapat didefenisikan Politik Uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang pada umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum, Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Dasar Hukum, pasal 73, ayat 3, Undang-Undang No.3 tahun 1999 berbunyi :
Barang siapa waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemeberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu. (UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum Presiden).
Dalam pemantauan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), praktek politik uang meliputi hampir semua daerah. Setidaknya, ada lima propinsi sangat rawan politik uang, baik pada pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Hal ini dikemukan oleh Bawaslu saat peluncuran pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024. Pertama. Propinsi Maluku Utara dengan skor 100. Kedua Propinsi Lampung 55,56. Ketiga Propinsi Jawa Barat 50, 4. Keempat Propinsi Banten sekor 44,44. Kelima. Propinsi Sulawesi Utara 38.89.
Dari data tersebut menunjukkan cukup signifikan masih kuatnya praktek politik uang dalam pemilu. Disisi lain, tuntutan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sangat tinggi, yaitu agar Pemilu dan Pilkada yang jujur dan adil. Harapan ini selaras dengan peningkatan kualitas demokrasi, sebagaimana pernyataan forum rektor se Indonesia yang diselengarakan di Universitas Gajah Mada pada tahun 2020. Protes mahasiwa terhadap penyelengaraan pemilu curang tidak surut. Bahkan puncak dari protes mahasiswa ketika DPR mencoba menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi membolehkan setiap partai politik boleh mencalokan kepala daerah pada pemilukada. Menurut pandangan mahasiswa dan para akademisi, langkah DPR bertolak belakang dengan prinsip demokrasi. Besarnya gelombang demontrasi mahasiswa pada akhirnya berhasil menekan DPR, dan DPR akhirnya menghentikan manuver politiknya.
Persoalannya, apakah fenomena politik uang suatu perbuatan yang dilakuan secara terstrukur, sistematis dan masif, mengisyaratakan masih lemahnya penegakan hukum (law Enforcement) dan fungsi kontrol sosial yang ditandai oleh partisipasi masyarakat ?
Problem UU dan Penegakan Hukum.
Isu Undang-Undang Pemilu dan penegakan hukum masih dominan dalam pemilu dan pilkada khususnya tekait dengan politik uang. Para ilmuan politik, Robert Dahl, misalnya menyoroti pembangunan demokrasi pegakan hukum (law enforcement). Pandangan Dahl (1996), diteruskan oleh Huntington (1991), keberhasilan transisi demokrasi sangat bergantung pada pelembagaan demokrasi. Dimana penegakan aturan main dan komitmen para aktor politik dan penyelenggara pemilu sangat menentukan keberhasilan konsolidasi demokrasi dan mengakhiri transisi demokrasi. Yaitu, sebagai prasyarat tumbuh berkembannya demokrasi suatu negara.
Ada beberapa hal yang menjadi krusial dalam efektivitas penegakan hukum :
Terdapat perbedaan subtansi dalam regulasi menyangkut sanksi politik uang. Pertama, pada Undang-Undang Pemilu No.7 Tahun 2017, sanksi pelanggaran pemilu dilihat dari tiga momen. Pasal 515, praktek politik uang pada saat pemungutan suara dikenakan hukuman 3 tahun penjara dan denda 36.000.000,00. Kemudian, Pasal 523 ayat (1) pelanggaran pada saat kampanye yaitu pada masa kampanye, dikenakan pasal 280 ayat (1), dapat dipidana 2 tahun dan denda Rp.24.000.000.00. Pada pasal 523 ayat (2) pelanggaran yang dilakukan pada masa tenang, sebagaimana yang dimaksud Pasal 278 ayat (2), dipidana paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000,00.
Kedua, dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pada pasal 187A ayat (1). Pelanggaran pemilu berupa money politics tidak membedakan momen, apakah pada (masa kampanye, masa tenang dan pemberian suara). Sanksi diatur dalam Pasal 73 ayat (4) pelanggar dapat dipidana paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan. Dan paling sedikit denda Rp.200.000.000.00 (dua ratus juta), dan paling banyak 1.000.000.000,00. Pertanyaannya, mengapa sanksi hukum yang terdapat pada undang-undang Pilkada sangat berat, sementara pada undang-undang pemilu sangat ringan. Hal ini menunjukkan, suatu indikasi adanya conflik interest dari pembuat Undang-Undang, yaitu anggota DPR. Mereka sangat berkepentingan dalam memainkan politik curang ?
Perbedaan sanksi ini tentu akan membawa pada pengaruh efek jera yang ditimbulkan bagi si pelanggar dan rasa keadilan. Disini tampak materi perundang-undangan ada kesenjangan yang cukup signifikan. Hal ini tentu menjadi tanda tanya terhadap pendekatan, parameter yang digunakan dalam penyusunan RUU hingga menjadi UU. Pengaruh faktor lingkungan atau struktur kekuatan politik dominan tak terhindarkan. Fenomena ini, pernah dikemukakan oleh Ketua MPR, Bambang Soesastio, cost politics para caleg disponsori oleh para pemilik modal. Pengaruh konflik kepentingan strategis ekonomi politik para oligharki masuk melalui political transaction. Apalagi biaya politik pada pemilu 2024 semakin besar. Pengalaman pemilu 2019 hanya untuk membeli alat peraga mencapai 2 milyar rupiah. Hal ini diungkap oleh Habiburokhman, anggota Fraksi Gerindra, yang juga menjabat sebagai wakil ketua umum partai Gerindra. Dalam kaitan itu, jika dilihat praktek politik uang pada pemilu dan pilkada tahun 2024 yang semakin marak, jumlah denda masih sangat rendah. Mengingat biaya politik (cost politics) yang dikeluarkan oleh para kandidat sangat fantastis. Bisa mencapai Rp.20.000.000.000.00 untuk seorang caleg DPR pusat dan Pilkada Propinsi besar bisa mencapai Rp. 100.000.000.000.00- Rp.200.000.000.000,00. Cost politics ini hanya menduga, berapa biaya politik yang dikeluarkan oleh para caleg maupun partai politik tidak pernah bisa diuangkap secara transparan.
Membaca fenomena politik uang yang semakin marak, instrumen penegakan hukum, dalam hal ini peran Bawaslu belum mampu secara maksimal menyentuh betapa pengaruh politik uang semakin kuat. Hal ini terbaca pada komentar Ketua Bawaslu, Psl 280 yang mengatur politik uang, dikaitkan dengan momen sebelum masa kampanye. Dalam hal ini, menurut Ketua Bawaslu, harus ada perbaikan regulasi terkait Undang Undang No.7 Tahun 2017. ? Karena masa kampanye cuma 75 sangat singkat, sosialisasi panjang, aturannya malah tidak kuat, Baswalu berpendapat harus ada perbaikan, tentang aturan regulasi. Komentar lebih lanjut, “kami tidak bisa melakuan pemberian sanksi dan membuktikan satu perkara dan pemeberian sanksi jika aturannya tidak kuat”. Dugaan saya, bukan hanya sekedar menyangkut persoalan durasi waktu dan aturan regulasi yang tersedia, tetapi masifnya mesin politik uang yang bekerja diluar kontrol sistem pemilu.
Faktor kewenangan dan efektivitas Bawaslu.
Pemilu yang demokratis adalah pemilu yang bebas dari kecurangan. Upaya perbaikan khususnya dalam rangka mewujudkan pemilu bersih terus dilakukan. Kebijakan yang progresif tatkala, fungsi pengawas pemilu dipisahkan dari Panitia Penyenggara Pemilu (KPU) di tahun 2003, yaitu dengan lahirnya UU 12 Tahun 2003, tentang Pengawas Pemilu (Panwaslu). Kemudian Panwaslu berubah nama menjadi Bawaslu melalui Undang-Undang U No.22 Tahun 2007. Kewenangan utama Bawaslu meliputi : 1. Mengawasi tahapan pemilu. 2. Menerima Pengaduan. 3.Menangani kasus pelanggaran administratif, pelanggaran pidana pemilu dan kode etik. Dengan adanya perubahan undang-undang terkait fungsi pengawas pemilu, ada temuan hasil pengawas pemilu ada dugaan pelanggaran UU Pemilu sebagai berikut.
Berdasarkan temuan data pelanggaran Pemilu Pilres 2014; administrasi 668 kasus, kode etik 21 kasus, pidana hukum 49 kasus, totalnya 718. Masuk di tahun yang sama Pileg 2014 pelanggaran administrasi 7720, kode etik 37, pidana umum 660, sehingga total kasus 9.155. Masuk di Pemilu 2019 sangat mengejutkan dimana kasus pelanggaran kasus administrasi 16.134, kode etik 373, pidana umum 582, lain lain 1475, total terakumulasi pelanggaran sebanyak 18.364.
Membaca trend pelanggaran pemilu dari waktu ke waktu nampak semakin meningkat. Dampak politik uang yang sangat terstruktur, sistematis, dan masif mengakibatkan pemilih kehilangan otonominya, untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti kemampuan menilai jejak rekam, kinerja, program, janji kampanye karena kuatnya intervensi politik uang. Sementara disisi lain, ada berapa caleg karena kekuatan money politics, mereka tidak perlu turun kampanye ke dapil, tapi bisa terpilih dan melenggang kesenayan. Fakta seperti itu sudah rahasia umum, istilah yang beredar dilapangan “belanja” bagaimana usaha para oknum bisa mendapatkan suara dengan berbagai cara dengan kekuatan uang . Timbul pertanyaan, apakah faktor kewenangan dan fungsi pengawasan Bawaslu lemah, sehingga bisa ditembus dengan sangat mudah oleh para politisi busuk ?
Peran Partisipasi Masyarakat
Pelanggaran hukum pemilu dan pilkada dalam kontek politik uang dilihat dari partisipasi masyarakat atau pemilih masih rendah. Hal ini harus dikaji lebih dalam, apakah pelanggaran hukum berupa praktek politik uang hanya dilihat sebagai pelanggaran hukum dalam kontek sebatas pemilu. Apa makna dan nilai strategisnya dari praktek politik uang dilihat dari nilai-nilai atau belife value of political sytem yang mempengaruhi terbentuknya political culture ? Padangan atau political mindset individual atau masyarakat yang semestinya paralel dengan strategi pembangunan sistem politik, dan pembangunan demokrasi melalui peningkatan kualitas pemilu.
Tidak ada pemilu demokratis tanpa didukung oleh political compatance warga pemilih. Pemilu sebuah ajang pengambilan keputusan bagi warga negara, untuk bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menjatuhkan pilihan politik. Kompetensi pemilih ia tidak tumbuh sendiri. Sosialisasi politik atau pendidikan politik sebagai proses pembangunan partisipasi politik yang akan melahirkan sikap politik rasional sebagai bentuk kesadaran politik politik, dimana pemilu memiki nilai edukatif juga sebagai bentuk tanggung jawab warga negara dalam membangun demokrasi dan pemerintahan yang baik (good govarnace) dan pemerintahan yang bersih (Client Government).
Dari perspektif yang lebih luas dan integratf, maka peran partisipasi masyarakat sangat penting. Pemilu bukan peristiwa rutin lima tahunan tanpa makna pada dampak strategis pada kualitas demokrasi. Dan terwujudnya sistem demokrasi yang stabilitas dan maju. Dalam konteks itu, politik uang adalah bagian dari political corruption. Kejahatan politik yang sangat destruktif bagi kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat adalah mata rantai dari pratek korupsi merbaknya money politik. Oleh karenanya, sosialisasi politik atau pendidikan politik anti politik uang bagian dari usaha pemberatasan korupsi. Dengan demikian, usaha bawaslu dalam meningkatkan partisipasi politik warga atau pemilih, sosialisasi pengawasan pemilu adalah bagian dari kampanye pemberantasan korupsi. Konsep pengawasan pemilu dari peran serta masyarakat yang disosialisakan setiap lima tahunan, harus diarahkan pada kegiatan sosialisasi politik keseharian dengan melibatkan lembaga-lembaga pendidikan, partai politik, ormas dan lembaga strategis lainnya.
Kebijakan dan konsistensi Pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Upaya memperkuat pemberatasan korupsi merupakan jalan terjal. Pemerintah yang bersih akan membawa pengaruh pada lingkungan politik, termasuk pada penyelenggaraan pemilu. Salah satu isu yang menjadi sorotan publik, penguasa telah memperlemah peran KPK melalui revisi UU KPKterhambat, hal ini misalnya dengan melakukan revisi UU KPK. Dan juga sikap para politisi yang kurang mendukung terhadap pemberantasan korupsi, terkait pemilu curang. Misalnya, headline berita Indonesian Coruption, menyoal pernyataan Ketua Komisi III DPR RI : Bukti Konkret Praktik Politik Uang Merajalela. Bambang Wuryanto yang menyebutkan, bahwa RUU Pembatasan Uang Kartal menghalangi uapaya politisi mendulang suara dalam pemilu. Pernyataan Wuryanto, notabene Ketua Komisi III, ditenggarai menghalangi politisi mendulang suara dalam pemilihan legislatif. Praktek korupsi berdasarkan data KPK, sejak tahun 2004 sampai 2021, dari total 1231 perkara yang ditandangani, 791 diantaranya berkaitan dengan suap menyuap. Sebenarnya, dengan hadirnya RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, paktek suap menyuap pejabat publik dengan pihak lain tidak akan mudah dilakukan.
Mengutip pendapat Indonesia Corruption Watch nanggulangi korupsi pemilu dapat dilakukan dengan cara, Pertama, mempekeras sanksi praktek politik uang dan memperbaiki sistem penanganan praktik politik uang sehingga para intelektual dedernya dapat diproses hukum, tidak berhenti di pelaku lapangan. Kedua, dengan memperbailki sistem akuntabilitas pendanaan pemilu termasuk meningkatkan kualitas audit laporan dana kampanye peserta pemilu. Selain itu, DPR dan Pemerintah segera membahas RUU pemberantasan Transaksi Uang Kartal.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini, isu mahar politik kembali mencuat. Praktek inilah yang membuat biaya pilkada menjadi mahal dan menghasilkan pemimpin daerah berkualitas rendah. Dalam sejarah Indonesia cara-cara seperti itu, sudah lama terjadi dalam pemilihan kepala desa di Jawa. Koran-koran yang diterbit pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 banyak menyoroti praktik-praktiok kotor penyuapan dan jual beli suara dalam banyak kasus kepala desa.
Law enforcement pada soal penegakan hukum pemberantas korupsi tidak bersifat konvensional. Dimana, strategi penegakkan hukum harus menyasar dan menimbulkan efek jera terhadap para pejabat publik. Mengingat kejahatan politik atau political corruptive berawal dari pemilu. Jadi, jika seorang politisi atau pejabat publik dalam meraih kekuasaan berawal dari kecurangan pemilu menggunakan money politics atau buying vote tidak akan lahir pemimpin dan pemerintahan yang bersih (Client Government). Akibat yang ditimbulkan sangat sistemik, memiliki daya rusak terhada tatanan politik dan kepentingan strategis negara. Dapat melemahkan kedaulatan dan fungsi negara baik dalam hal melindungi warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat dampak political corruptive yang demikian hebat, sudah semestinya korupsi para pejabat harus diberikan sanksi berat, dijatuhkan hukuman mati, hukuman maksimal.
Penutup
Maraknya politik uang dari pemilu ke pemilu yang demikian terstruktur, sistematis dan masif, mengisyaratkan mesin politik uang bekerja melampaui jangkauan aturan main, prosedur demokrasi dan fungsi pengawasan pemilu melalui peran Bawaslu. Lingkungan atau faktor struktur ekonomi politik yang sangat berkepentingan untuk menguasai otoritas politik melalui lembaga-lembaga demokrasi pengambil keputusan sudah menjadi rahasia umum.
Komitmen pemberantasan korupsi oleh pemerintah berkuasa sangat berpengaruh dalam upaya menciptakan atmosfir penyelenggaraan pemilu yang bersih. Politik uang adalah bagian tak terpisahkan dari mesin korupsi sebagai bentuk penyimpangan kekuasaan (political corruption) yang ikut mempengaruhi pada rejim pemilu.
Solusi politik jangka panjang adalah, bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat melalui proses sosialisasi yang terus diperbaiki, dan melibatkan peranan kelompok-kelompok strategis di masyarakat dan lebaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga lainnya. Kampanye pemilu bersih harus menjadi bagian dari gerakan perlawanan terhadap pemberantasan korupsi. Slogan Bawaslu “bersama rakyat awasi pemilu, bersama bawaslu tegakkan keadilan pemilu” slogan ini sama artinya bersama rakyat melawan politik koruptif.
Penulis: Assoc. Prof. Dr.TB.Massa Djafar (Akademisi Ilmu Politik,Fisip UNAS, dan Politisi)