kip lhok
Beranda / Analisis / Polemik Nomenklatur : Antara KIP Aceh dan KPU Aceh

Polemik Nomenklatur : Antara KIP Aceh dan KPU Aceh

Minggu, 16 Mei 2021 20:58 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : ARYOS NIVADA


ARYOS NIVADA

(Dosen FISIP USK dan Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif)


Perdebatan tentang nomenklatur nama lembaga di Aceh kembali mencuat paska pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia tentang Hasil Seleksi Penulisan Makalah Dan Perubahan Jadwal Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II.A).  Di dalam pengumuman tersebut, untuk wilayah Aceh tertulis nomenklatur KPU Provinsi Aceh. Padahal untuk Aceh selama ini posisi penyebutan penyelenggara Pemilu adalah Komisi Independen Pemilihan -disingkat KIP- Aceh.

Walhasil, sebutan KPU Aceh ini kemudian memicu perbincangan di masyarakat Aceh, yang menilai pusat tidak menghargai kekhususan Aceh dalam penyebutan nomenklatur kelembagaan yang sudah diatur dalam UUPA.  Sebutan KIP Aceh sendiri sudah tegas tertuang dalam Pasal 1 angka 12 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Ketua KIP Provinsi Aceh Samsul Bahri menanggapi polemik tersebut dengan mengatakan hal tersebut bisa saja terjadi murni karena unsur kesilapan teknis administrasi. Sebab  untuk surat-surat yang dikirimkan sebelumnya oleh KPU RI jelas tertulis Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh.

“Itu bisa saja terjadi kesilapan, sebelumnya surat-surat yang dikirimkan kepada kami tertulis KIP Aceh, bukan KPU. Bahkan setiap rapat-rapat dengan KPU RI, juga disebutkan KIP Aceh,” ujar Samsul Bahri sebagaimana dikutip dialeksis.com, Sabtu (15/5/2021).

Sejumlah kalangan kemudian mendesak parlemen Aceh beserta  pakar-pakar hukum agar  menyurati KPU RI dalam rangka memperjelas status nonmeklatur KIP Aceh itu.

Dikutip dari dialeksis.com, Ketua Jaringan Demokrasi (JADI) Kabupaten Nagan Raya Said Mudhar mengatakan bahwa hal ini (kerancuan nomenklatur) tidak dapat dibiarkan terus menerus. sebab persoalan sudah berlangsung lama. Cuma sebelumnya jarang ter-ekpos ke publik. Karena menyangkut hal sekretariat lebih kepada internal.

Pakar Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik  Mawardi Ismail  menambahkan, bahwa penyatuan KIP dan KPU sebagai penyelenggara Pilkada dan Pemilu di Aceh oleh Undang-undang No 11 tahun 2006 ternyata memang sejak awal menyisakan kendala praktis dan hal bersifat teknis. Terutama dalam soal administrasi keuangan. Sampai saat ini diketahui  proses  keuangan di KPPN masih menggunakan kop surat dan  stempel KPU bukan KIP Aceh.

Masih adanya kerancuan antara penyebutan antara KIP Aceh dan KPU Aceh ditenggarai karena faktor belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyebutan nama Aceh. Sehingga ditingkat pusat terkadang penyebutan nama Aceh masih ada yang menggunakan sebutan Nanggroe Aceh Darussalam. Memang secara hukum, selama belum ada PP tentang penyebutan nama Aceh dan gelar pejabat pemerintah, maka masih menggunakan nomenklatur NAD.

Bila merujuk Pasal 251 UUPA, dalam ayat 1 disebutkan Nama Aceh sebagai daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan gelar pejabat pemerintahan yang dipilih akan ditentukan oleh DPRA setelah pemilihan umum tahun 2009.

Kemudian ayat 2 disebutkan Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tetap digunakan sebagai nama provinsi. Lalu pada ayat (3) Nama dan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan usul dari DPRA dan Gubernur Aceh.


Eksistensi KIP Aceh berbeda dengan KPUD

Pada dasarnya KIP Aceh memang berbeda dengan KPUD di provinsi lain. Meski memiliki wewenang yang sama dalam penyelenggaraan pemilihan Presiden/Wakil Presiden, pemilihan anggota DPR/DPRA/DPRK dan DPD serta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, namun posisi keanggotaan dan seleksinya berbeda dengan KPUD di wilayah lain di Indonesia.

KIP Aceh beranggotakan 7 orang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, diseleksi oleh tim independen yang bersifat ad-hoc (yang dibentuk oleh parlemen lokal yaitu DPRA) dan menjabat selama lima tahun. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, komisioner KIP Aceh didukung oleh Kesekretariatan yang dipimpin oleh seorang Sekretaris, bertanggung jawab terhadap segala urusan administrasi maupun kebutuhan lainnya untuk mendukung kerja-kerja KIP Aceh.

Hemat penulis,  eksistensi nomenklatur KIP Aceh sebenarnya tidak perlu menunggu PP tentang penamaan Nama Aceh dan gelar pejabat pemerintahan di Aceh.

Mengapa? Sebab eksistensi KIP Aceh dikuatkan oleh  Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Nomor 6 Tahun 2018 tentang penyelenggara pemilihan umum dan pemilihan di Aceh, serta  dikuatkan pula dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Dalam Pasal 557 UU 7 Tahun 2017 huruf a disebutkan :  Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri atas (huruf a) Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan KPU.

Sehingga dengan legalitas dasar hukum yang sedemikian kuat, harusnya memang tidak perlu lagi ada penyebutan KPU Provinsi Aceh. Tidak ada lagi eksistensi dan kewenangan KPUD Aceh paska dikeluarkannya aturan diatas. Karena memang secara hukum yang berwenang dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan di Aceh adalah KIP Aceh, bukan KPUD Aceh.


Posisi KIP Aceh : Lembaga Khusus tapi Tak spesial

Disisi lain, posisi KIP Aceh juga unik. Sebagai bagian dari kelembagaan khusus yang dikuatkan eksistensinya dalam UUPA maupun diakui oleh regulasi nasional yaitu UU Pemilu, akan tetapi peran Pemerintah Aceh dalam hal penguatan kelembagaan amat minim diatur dalam regulasi terkait.

Bila DPRA berfungsi melakukan rekrutmen dan pengusulan  terhadap komposisi anggota KIP Aceh, Pemerintah Aceh hanya berfungsi meresmikan alias melantik anggota KIP terpilih. Akan halnya KPU hanya berfungsi sebagai tukang stempel alias yang mengeluarkan SK terhadap anggota KIP terpilih hasil seleksi DPRA.

Praktis begitu Anggota KIP terpilih, peran dan fungsi kontrol kemudian beralih kepada KPU RI. Hal ini memang wajar dikarenakan KIP sendiri merupakan bagian hirarkis dari KPU. Namun menjadi agak rancu karena apabila KIP adalah instansi vertikal yang sepenuhnya tunduk pada kontrol pusat, namun disatu sisi KIP sendiri merupakan salah satu lembaga di Aceh yang diatur secara khusus dalam UU khusus, yaitu UUPA.

Masih adanya ambiguitas akan eksistensi KIP di Aceh inilah yang menurut hemat penulis menimbulkan kerancuan baik dalam hal administrasi keuangan maupun penyebutan nomenklatur kelembagaan.

KIP Aceh adalah lembaga khusus yang menjadi lex specialist bagi Aceh, namun statusnya sama sekali tidak spesial. Baik di mata Aceh maupun dimata pusat, khususnya KPU RI.  

Idealnya, sebagai lembaga yang diatur secara khusus dalam UU khusus, Pemerintah Aceh sepatutnya juga diberikan peran dalam hal penguatan kelembagaan. Seperti adanya alokasi khusus yang dianggarkan secara rutin kepada KIP Aceh dalam rangka penguatan kelembagaan KIP Aceh sendiri.  

Selama ini telah lumrah bagi pemerintah Daerah untuk mengangarkan bantuan hibah atau bantuan sosial yang bersumber dari anggaran pendapatan daerah kepada instansi vertikal. Dasar hukum diantaranya Permendagri Nomor 123 Tahun 2018 tentang  Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Permendagri Nomor 123 Tahun 2018, disebutkan  : Hibah kepada pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a diberikan kepada satuan kerja dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang wilayah kerjanya berada dalam daerah yang bersangkutan.

Namun selama ini alokasi dana yang dianggarkan pemerintah Aceh hanya bersifat temporal, yaitu ketika ada hajatan Pilkada lima tahunan. Padahal eksistensi KIP Aceh sebagai garda pengawal iklim demokrasi di Aceh  harus terus dikuatkan dengan melakukan kerja-kerja penciptaan pendidikan pemilih berkelanjutan di Aceh. Terlebih, KIP itu sendiri adalah lembaga penyelenggara pemilu yang memang diatur secara khusus di Aceh. KIP sejauh ini memang murni mengandalkan APBN dalam melakukan kerja rutinnya.

Kondisi saat ini, KIP Aceh ibarat anak yang dilahirkan di rahim seorang perempuan di Aceh namun diurus dan dibesarkan oleh Perempuan lain di tanah Jawa. KIP Aceh dilahirkan dan diseleksi oleh parlemen lokal di Aceh, namun diurus dan dibesarkan oleh Pusat.

Sudah selayaknya KIP Aceh diperlakukan sebagai lembaga milik Aceh karena memang sudah diatur secara khusus dalam UUPA. Pemerintah Aceh perlu berperan lebih dengan mengurus dan menguatkan kelembagaan KIP Aceh, agar KIP Aceh tidak seratus persen mengharap dari pusat.  

Bagaimana mungkin disatu sisi, berharap KIP Aceh menguatkan kekhususan Aceh dalam hal tata kelola pemilu di Aceh, namun disisi lain Pemerintah Aceh sendiri seakan tidak menganggap lembaga ini ada ketika Aceh tidak dalam momentum pemilu.  Diluar momen pemilu, eksistensi KIP sayup sayup terdengar kiprahnya dalam mengawal demokrasi di tanah rencong. [ ]



Keyword:


Editor :
Teuku Pondek

riset-JSI
Komentar Anda